Solo dalam Kenangan

“Datanglah ke Bapak-Ibuku jika memang serius. Aku tidak mau pacaran.” aku mencari dalih agar dia mundur dan urung mengajakku ke jenjang serius.

Kukira ia akan mundur. Statusnya masih mahasiswa tingkat akhir, belum ada pekerjaan tetap. Namun aku salah sangka, ia menyanggupi untuk bertemu. Nyaliku langsung ciut, aku bertanya-tanya, apakah akan secepat ini?

Ia meminta ditemani ke UNS untuk survey tempat penelitian kandungan air sumur yang menjadi tema skripsinya. Aku menyanggupi karena aku akan memastikan apakah aku bisa membaca gerak bibirnya. Sungguh tidak lucu jika aku menikah dengan orang yang tidak bisa kubaca gerak bibirnya, seumur hidup itu lama.

Ini akan menjadi pertemuan kami yang pertama. Kami bertemu di Facebook. Kami sama-sama pengikut mbah Nyutz, penulis asal Jogja yang hobi nggasaki jomblo. Aku sama sekali tidak berekspektasi lebih karena ia datang dengan membawa cerita patah hati.

***

Aku sudah sampe di Terminal Tingkir.

Aku terlonjak membaca SMS-nya. Kami janjian ketemu di Terminal Tirtonadi, tetapi ternyata ia sampai di Tirtonadi saat shubuh. Bergegas aku mandi dan pamitan dengan Ibu, pagi adalah situasi paling crowded karena aku harus membantu Ibu masak untuk warung makan.

Kak Ahmad… mukanya penuh bopeng jerawat. Batik oversize membalut tubuhnya yang kurus. Belakangan aku tahu jika itu batik milik Bapaknya. Aku canggung. Kami memutuskan untuk langsung ke Solo.

Ia mempersilahkan aku untuk masuk ke bis lebih dulu. Bis penuh saat itu. Aku duduk di depan, kak Ahmad di belakang. Setelah penumpang sebelahku turun, ia bergegas pindah ke samping. Mengajakku ngobrol.

Beberapa kali aku kesulitan untuk memahami gerak bibirnya. Struktur giginya berantakan menyulitkanku untuk membaca.Kesabarannya untuk mengulang harus kuacungi jempol. Ia tidak mau menggunakan texting di hp.

Kakak belajar membaca bibirku, katanya.

Sebegitu seriusnya kah ia mendekatiku? Aku banyak bercerita tentang cita-citaku, kehidupan sehari-hariku dan bagaimana pandanganku tentang pernikahan. Sementara, lelaki ini banyak cerita tentang perjalanannya mencari perempuan untuk menjadi tambatan hatinya.

Perempuan-perempuan bermartabat, hafidzah, vokalis sholawat. Aku menciut seketika. Kusetel ekspektasiku agar tidak terlalu tinggi dan bersiap untuk gagal.

Aku sangat berhati-hati untuk mengeset hati. Tidak berani berharap lebih. Bersiap hanya berakhir menjadi sahabat. Apalah aku, seorang Hard of Hearing, perempuan berkebutuhan khusus keterbatasan Dengar.

***

Nalikane ing tirtonadi

Ngenteni tekane bis wayah wengi. 

Tanganmu tak kanthi. Kowe ngucap janji.

Lungo mesti bali. Rasane ngitung nganti lali.

-Tirtonadi, Didi Kempot-

Aku disini sekarang, mengunyah sepiring pecel dengan pria asing di depanku. Pria dengan tubuh ceking dan jerawat yang memenuhi muka coklatnya. Baju yang dikenakannya enggak stylish sama sekali. Kami berbincang di tengah lalu lalang orang di terminal Tirtonadi.

Ampun, susah benar membaca gerakan mulut pria satu ini. Susah payah aku mengikuti gerakannya. Geliginya tidak rapi. Cara bicaranya terlalu cepat. 

“Jadi, Njenengan sudah tanya ke Mbaknya itu?” aku memastikan sekali lagi.

Dereng. Mungkin minggu depan kula kepanggih.”

Aku geleng-geleng. Memainkan sendok di piring. Orang ini aneh. Percakapan kami bulan lalu diawali dengan curhatan tentang tunangannya. Betapa tidak jelasnya hubungannya sekarang. Ia meminta saran, bagaimana menghadapinya. 

“Ia susah dihubungi. Kalau ditanya mboten njawab. Menghindar.”

Jadi? Aku ketemu dengan tunangan orang sekarang? Sungguh tidak cetha. Tidak elegan. Tidak so sweet, dan aku tidak mau merusak hubungan orang lain. Pria ini datang dan berniat menemui Bapak-Ibu. Gusti Allah, ini Guyonan-Mu?

“Pokoknya, jangan ketemu dengan Bapak-Ibu, sebelum hubungan dengan Mbaknya ini jelas. Perempuan itu butuh kepastian. Jangan menggantung. Jika dia diam, Njenengan yang memutuskan. Tiwas ditunggu, jebule ditinggal nikah.”

Ia tertawa. Aku mendelik. Lepas makan, kami beriringan ke pool bis Safari. Aku berniat pulang sendirian, segera tidur dan melupakan pertemuan dengannya. 

“Hah? Mau nganter?” aku kembali memastikan.Tadi pagi ia nekat menungguku di terminal Tingkir Salatiga, sekarang ia akan mengantarkanku pulang naik bis? 

Ahmad, namanya. Ahmad Budairi namanya Facebook. Namun, di KTP dan identitas lainnya hanya tercantum Budairi. Tinggal di pelosok Bojonegoro, enam jam dari Salatiga.

Tubuhnya terlihat ringkih. Tinggi badannya hanya se pelipis kepalaku. Aku tertawa ketika teringat bayanganku tentang suami idaman dengan badan kekar yang nyaman untuk bersandar. Astaga! Lagian belum tentu Pria di sampingku ini jodohku, kan?

***

“Nduk, ada apa?” Yai mengubah posisi duduknya. Aku tak bisa menutupi keterkejutanku saat membaca mulut Yai selepas ngaji.

Mboten wonten napa-napa, Yai.” 

Aku berusaha menyembunyikan kegagapanku. Yai bertanya soal apakah gerangan? Apakah Yai bertanya tentang pertemuanku dengan pria dari Pelosok Bojonegoro? Tetapi, darimana Yai tahu jika aku bertemu dengan seorang pria yang kukenal dari Facebook?

Wis ana sing nembung, ta?”

“Dereng, cuma tadi ketemu dengan orang Bojonegoro, Yai.”

Yai memintaku untuk bercerita dengan detail. Aku grogi. Jatuh cinta? Kurasa tidak. Aku memainkan ujung jari-jemari. Salatiga yang sudah dingin rasanya semakin membeku. Kutarik nafas dalam-dalam, lalu bercerita semuanya kepada Yai, tanpa ada yang kututup-tutupi.

“Nduk… yen ana wong lanang apik, sholate apik, hasil istikharah e apik, aja disia-siake.” yai Nasrudin dhawuh dengan intonasi pelan dan hati-hati, nada yang beliau gunakan ketika beliau sangat serius. “Apalagi sampeyan, kondisine koyo ngono. Ora kabeh wong lanang siap nduwe bojo sing ora krungu.”

Aku menatap wajah yai. Beliau serius. Sangat serius. “Iki coba istikharah nganggo qur’an.”

Yai Nasrudin mengambil al-Qur’an, memintaku untuk membuka halaman dengan acak, lalu menghitung berapa jumlah syin dan kho’-nya, tanpa memberi tahu ikhtibarnya terlebih dahulu. Hatiku harap-harap cemas, lagi-lagi menyiapkan diri jika hasilnya buruk.

“Syin e telu. Kho’ ne pitu.” yai Nasrudin tersenyum, “Akeh kho’ ne, apik iki. Lanjut.”

Aku tergeragap. Tidak siap. Rasanya terlalu cepat. Bahkan di sisi lain hatiku berharap jika gagal saja, aku belum siap untuk merajut komitmen pernikahan. 

Nek iso ojo suwe-suwe, sebelum puasa!” 

Sebelum puasa? Ini bulan Januari, puasa diperkirakan Juli. “Empat bulan lagi?”

Dhawuh yai, Lanjut, Kak. Tapi, dianjurkan sebelum puasa. Cuma… satu lagi, tentang kurang pendengaranku, Njenengan harus matur keluarga. Jika Ibu keberatan, kula langsung mundur. Tidak usah lanjut.

Aku memilih untuk sakit di awal daripada tertolak dengan kondisiku saat rasa sayang itu telah tumbuh. Aku cerita ke Ibu dan Bapak, beliau berdua bukan orang tua yang menetapkan standar macam-macam tentang pasangan.

Lha kowe seneng ora, Nduk? Nek seneng, Ibu ndukung. Penting wonge apik, gelem sholat, gelem ngaji.

Aku menangis di pangkuannya, “Tapi aku takut, takut jika keluarganya keberatan. Tentang… aku yang budheg.”

***

Leave a Reply