Berhentilah Menyalahkan Korban Kejahatan

Budaya menyalahkan korban (victim blaming) masih kuat di Indonesia. Jangankan korban kejahatan orang lain,  lha wong kena musibah saja seringkali juga disalahkan, kok. Misal ketika seseorang kehilangan sesuatu maka akan disalahkan dan dianggap lalai atau kurang berhati-hati dalam menyimpan atau membawa barang.

Wanita paling banyak mengalami victim blaming di Indonesia. Misalnya orang yang menjadi korban perkosaan disalahkan karena tidak menutup aurat, korban penjambretan atau perampokan disalahkan karena membawa perhiasan mencolok, korban kekerasan fisik pasangan muda-mudi disalahkan karena berpacaran, korban penipuan belanja online disalahkan karena perilaku konsumtif, dan lain sebagainya.
Apakah semua korban perkosaan tidak menutup aurat? Apakah semua korban penjambretan atau perampokan membawa perhiasan mencolok? Apakah semua wanita berpacaran mengalami kekerasan fisik? Dan apakah alasan yang digunakan untuk menyalahkan korban memang bisa digeneralisir? Aku berani pasang badan untuk menjawab dengan lantang TIDAK!.
Pernahkah mendengar guru ngaji memerkosa muridnya? Itu tidak hanya terjadi sekali dan satu-satunya kasus. Itu satu contoh yang dapat digunakan untuk menjawab bahwa pasal yang dituduhkan untuk menyalahkan korban itu tidak bisa digeneralisir. Buktinya santriwati yang menutup aurat masih diperkosa oleh guru ngajinya.
Pagi ini, aku melihat komentar yang menurutku kurang tepat di Facebook pada sebuah threat tentang kejadian penjambretan yang terjadi di Semarang. Baru beberapa menit diposting di grup, sudah ada 3 komentar bernada mengguruo yang secara eksplisit bisa berarti menyalahkan korban penjambretan.
Komentar pertama

Komentar kedua

Komentar ketiga

Aku heran mengapa mereka komentar seperti itu padahal tidak tahu kejadiannya. Apakah ibu yang menjadi korban penjambretan benar-benar memakai perhiasan mencolok juga belum diketahui. Alih-alih mencaritahu bagaimana caranya ibu itu selamat dari penjambretan dan pelakunya bisa tertangkap agar bisa dijadikan pelajaran malah memgadakan ceramah agama.
Daripada menghakimi korban atau memberikan ceramah agama yang kesannya dipaksakan menurutku lebih baik memberi dukungan (support) kepada korban biar tidak trauma. Meskipun korban bukanlah orang yang membuat thread, aku yakin kalau membaca dukungan moril dari orang lain akan membuat perasaannya jauh lebih baik. Berbeda kalau mendapat ceramah agama yang kesannya tendensius malah akan menambah beban perasaan saja.

Leave a Reply