Biografi Tentang Ahmad Budairi

Budairi terlahir di sebuah desa yang bernama Pengkol, secara administratif masuk ke dalam wilayah kecamatan Tambakrejo, kabupaten Bojonegoro. Sejak kecil dia hidup di diantara keluarga yang sederhana. Ayahnya bernama Zainul Abidin adalah seorang petani yang sangat bertanggung jawab dan merupakan seorang yang pekerja keras. Ibunya bernama Siti Musyarofah merupakan sosok ibu yang yang sangat sabar, sederhana, dan penuh dengan kasih sayang. Mereka berdua sangat perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya meskipun kondisi perekonomian keluarga sangat pas-pasan. Mereka tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk bekerja membantu pekerjaan di sawah ataupun pekerjaan lainnya. Bagi mereka pendidikan anak lebih penting dan masalah ekonomi adalah tanggung jawab orang tua, jadi anak tidak perlu dilibatkan.
Sejak kecil Budairi adalah termasuk anak yang bandel dan nakal, sering bolos sekolah maupun bolos mengaji. Pada suatu hari sang ibu jengkel merayu Budairi untuk ikut mengaji karena setiap hari selalu mencari alasan agar dia bisa bebas dari kegiatan mengaji. Kadang beralasan sakit, kadang kecapekan, dan lain sebagainya. Ibu pun seakan membuat sayembara dengan berkata, “ Siapa pun yang bisa mengajak dan merubah Budairi agar mau ikut mengaji akan aku bayar berapapun dia mau”. Namun, meskipun sudah dibujuk oleh beberapa teman maupun ustadz, dia tidak pernah berubah.
Ketika masuk di SLTP, Budairi bertambah bandel dan nakal. Teman bergaulnya merupakan anak-anak yang suka mabuk-mabukan dan begadang di malam hari dengan agenda yang tidak jelas, namun dia tidak pernah ikut minum meskipun hanya setetes. Keadaan ini bertambah parah ketika dia telah duduk di kelas IX, kegiatan bolos sekolah bertambah parah. Kadang baru berangkat sekolah jam 9 pagi atau kalau berangkat jam 7 pagi, dia pulang jam 9 pagi. Kegiatan ini hampir setiap hari dia lakukan.
Ujian Nasional seakan tidak membuat Budairi gentar ataupun takut, minggu-minggu menjelang UNAS pun tidak pernah melakukan persiapan yang istimewa seperti teman-teman yang lainya. Benarlah kata pepatah, “ Man Jadda Wajada”, barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Budairi lulus dengan nilai yang minimalis, ketiga mata pelajaran yang diujikan semuanya hanya mendapat nilai 5, bila dijumlah, nilai NEM-nya  hanya 16. meskipun begitu dia tidak pernah merasa malu atau kecewa.
Lulus dari Mts Nurul Yaqin budairi sudah kehilangan mood untuk melanjutkan sekolah, orang tua pun tidak memaksa dia untuk melanjutkan mengingat perilaku anaknya ketika di SLTP yang semakin jauh dari harapan. Budairi pun terjun ke dunia kerja. Dia ikut menambang pasir secara manual dengan cara memikul dari sungai ke tempat penampungan pasir hingga suatu hari dia mendapat perlakuan yang diskriminatif. Aturan baru yang berlaku menyatakan perbedaan harga pasir per pikul antara orang dewasa dengan anak-anak. Dia merasa kecewa dan dirugikan dengan aturan tersebut. Akhirnya dia berinisiatif untuk menimbun pasir sebanyak-banyaknya untuk dijual dikemudian hari. Setelah pasirnya dianggap mencapai target, Budairi ikut terjun di bursa pasir, dia mengambil tempat tepat disebelah mantas bos yang melakukan diskriminatif. Spekulasinya pun berbuah hasil, dengan sedikit permainan harga dia mampu menjadi pesaing mantan bosnya. Akhirnya, hampir sampai satu periode komodidi pasir mantan bosnya tidak laku sama sekali.
Dua tahun berlalu dengan aktivitas yang hampir sama, hanya pasir yang menjadi teman hidup. Kejenuhan pun datang menghampiri Budairi. Di tengah-tengah kejenuhan tersebut Budairi meluapkan dengan membaca, kegiatan membaca semakin bertambah ketika tidak sengaja menemukan LKS bahasa Inggris yang dia gunakan waktu sekolah di Mts dulu. Hampir tiap malam dia membaca dan membuka kamus untuk memahami bahasa Inggris hingga suatu hari dia kesulitan mengartikan sebuah frasa “ Pay Attention”, dari situlah keinginan untuk melanjutkan sekolah muncul. Dia pun daftar di sekolah diniah[1] untuk mengobati kejenuhan, namun hanya 6 bulan dia keluar karena dia mendaftar sekolah di Aliyah[2], waktunya tidak memungkinkan kalau kedua pendidikan tersebut tetap dipertahankan.
Masa-masa awal menjadi siswa baru di Aliyah merupakan masa sulit bagi Budairi, dia harus bersosialisasi dengan teman-teman baru yang usianya lebih muda dari dia namun kemampuannya jauh melebihi kemampuannya. Di Aliyah dia menjadi pendiam, ketika tidak ada pelajaran, waktunya dia habiskan untuk membaca atau mengisi LKS. Sekali-kali juga dia sempatkan berkunjung ke perpus untuk meminjam buku non pelajaran. Usahanya pun berbuah hasil, di semester pertama dan kedua dia mendapat peringkat ke 3 dari 30 siswa yang duduk dikelas X.1. Ketika kenaikan kelas ke kelas 2 dia mengajukan beasiswa BBM ke pihak sekolah, dia pun diterima dan mendapat beasiswa sampai lulus. Prestasinya naik ketika kelas dua, hasil evaluasi belajar pada semester satu dan dua menyatakan dia mendapat peringkat 2 dari 30 siswa di kelas XI IPS 1.
Kenaikan kelas tidak menyurutkan semangatnya belajar, tidak hanya pelajaran di sekolah yang dia pelajari, namun juga pengabdian masyarakat. Dia menjadi penjaga masjid MAN Ngraho sekaligus pengajar TPA yang didirikan oleh MAN Ngraho. Selama dia mengabdi banyak tekanan dari masyarakat sekitar yang kontra dengan manajemen MAN Ngraho terutama kebijakan tentang Masjid dan TPA, karena pada waktu itu masyarakat belum begitu memahami agama.
Dia mempunyai target mendapatkan peringkat pertama dalam Ujian Akhir Madrasah, ternyata berhasil. Tanpa diduga dia juga mendapat peringkat pertama pelajaran komputer. Berdasarkan hasil ujian praktek, dia mendapat peringkat pertama dari seluruh siswa MAN Ngraho angkatan 2010.
Lulus dari MAN ngraho adalah masa-masa yang penuh dilema bagi Budairi. Akan kemana setelah lulus? Bekerja atau kuliah? Meskipun sudah mendaftar bidik misi dia tetap belum yakin atas keputusan tersebut, karena memang Jurusan geografi bukan minatnya yang sesungguhnya. Dia lebih berminat di bidang komputer, bahasa, dan agama.
Pengumuman seleksi bidik misi keluar namun dia tidak diterima, perasaan sedih bercampur bingung harus dia rasakan saat itu. Dia hanya bisa berandai-andai dan berdoa agar keputusan yang akan diambil pada kemudian hari tidak membuatnya menyesal.
Akhirnya dia ikut kakanya ke Krian – Sidoarjo untuk bekerja di pabrik. Satu minggu mencari kerja tapi belum membuahkan hasil. Dia selalu berusaha tawakal dan ihlas atas semua yang terjadi padanya. Setiap hari selalu dia usahakan untuk ikut sholat jama’ah di masjid hingga suatu hari dia ditawari menikah oleh seorang Imam masjid namun dia menolak karena masih ingin melanjutkan pendidikan.
Hampir dua minggu masa dilematis dia lalui dengan aktivitas yang hampir sama. Dia memutuskan untuk pulang kalau sampai dua minggu tidak mendapatkan pekerjaan. Dua hari sebelum deadline yang ditentukan dia mencoba melamar pekerjaan di PT. Sepanjang Jaya. Di pabrik itulah dia diterima dengan masa training selama tiga bulan. Dia ditempatkan di bagian Lab.
Setelah satu bulan berjalan dia berniat ingin melanjutkan setudi, lalu dia mendaftarkan diri di Unitara (Lembaga Pendidikan yang bernaung dibawah yayasan YPM Sidoarjo), dia mengambil jurusan D3 Teknik komputer. Satu minggu setelah mendaftar, dia mendapat telpon dari Pak Sugeng dari Unesa. Pak Sugeng menyampaikan bahwa Budairi diterima menjadi mahasiswa Unesa karena ada mahasiswa yang telah dinyatakan diterima mendapat beasiswa bidik misi namun dia tidak melakukan regristasi ulang.
Kabar itu menambah Budairi bingung. Mana yang harus dia pilih antara Unesa, Unitara dan bekerja di pabrik. Dia harus berusaha mengambil keputusan yang terbaik agar tidak terjadi penyesalan dikemudian hari. Dia minta pada Ibunya untuk membantu mendapatkan keputusan melalui sholat istikhoroh. Dia juga meminta pendapat pada Bapak dan Ibu gurunya di MAN Ngraho. Dia mengatakan pada gurunya tentang semua yang dialaminya termasuk keinginannya yang terpendam yaitu ingin masuk ke IAIN Sunan Ampel untuk memperdalam ilmu agama. Pak Trisnoto, guru ekonomi yang kebetulan lulusan dari IKIP Surabaya (IKIP adalah nama Universitas Negeri Surabaya sebelum dirubah menjadi Unesa) mengatakan, “ Sekarang ini sudah banyak da’i bertebaran dimana-mana, kalau kamu juga mendalami dakwah bisa-bisa ilmumu tidak begitu manfaat, kalau kamu ingin dakwah, di jurusan Geografi juga bisa, malah lebih bagus.” Kata-kata itulah yang akhirnya membuat mantab dan yakin Budairi untuk mengambil peluang beasiswa bidik misi.
Sebelum mengundurkan diri dari tempat kerja, dia ke Unitara untuk membatalkan pendaftaran sebagai mahasiswanya. Setelah dua minggu bekerja, dia mengundurkan diri. Gaji dan uang pesangon dari pabrik dia gunakan untuk membeli keperluan kuliah dan persediaan untuk biaya hidup sebelum biaya hidup dari pemerintah cair.
Awal-awal kehidupan di kampus adalah masa yang sulit untuk Budairi, rasa minder dan malu bercampur jadi satu sehingga membuatnya sulit untuk bersosialisasi dengan teman-teman barunya. Dia tidak punya satu pun kenalan dari daerah kelahirannya, seniornya dari MAN Ngraho yang kuliah di Unesa tidak ada yang dikenalnya. Dia pun mencoba untuk mengatasi masalahnya tersebut, untuk melatih dirinya bersosialisasi dia masuk organisasi. Pertama dia masuk UKKI, berapa bulan kemudian ikut IPNU, selain itu dia juga ikut beberapa organisasi yang lain. Setelah masalah sosialisasi teratasi dia pun berusaha fokus pada kuliah.
Setahun tinggal di asrama UKKI, dia akhirnya pindah ke Pondok Pesantren Darul Arqom Wonocolo setelah mengenal Ustadz Khoirul Anwar[3] ketika mengikuti acara kajian kitab Bidayatul Hidyah di sekretariat IPNU. Dia tertarik pada Ustadz Anwar karena penjelasannya yang sederhana dan mudah dipahami, selain itu dia juga ingin menghafalkan Al-Qur’an. Kebetulan di PP Darul Arqom menyelenggarakan program hafalan Qur’an.
Setahun tinggal di PP Darul Arqom, dia mengenal Jam’iyatul Huffadz Mahasiswa di Surabaya (JHMS),  organisasi yang menaungi mahasiswa penghafal Alqur’an di Surabaya. Dia pun mendaftarkan diri untuk menjadi anggota organisasi tersebut.
Dia selalu mengingat kata-kata Albert Einstein, “Ilmu Pengetahuan tanpa Agama Pincang, Agama tanpa Ilmu Pengetahuan Buta.” Karena itulah dia berusaha mencari keduanya dengan perhitungan yang matang.
Begitulah cuplikan singkat perjalanan Budairi. Dengan motto, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi orang lain dan yang paling bagus akhlaknya” dia berusaha mencari ilmu-ilmu yang dapat dia manfaatkan untuk mengabdi pada masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, meskipun ilmu tersebut melenceng dari jurusan Geografi. Dia menganggap di Surabaya ini hanyalah kulakan ilmu. Suatu saat nanti dia akan kembali ke desa. Oleh karena itu dia lebih mengutamakan ilmu yang dia anggap mudah diterima untuk masyarakat desa.


[1] Sekolah yang mempelajari  agama Islam secara intensif
[2] Jenjang pendidikan setingkat SMA, nama lengkapnya Madrasah Aliyah Negeri Ngraho
[3] Dosen di lingkungan Fakultas Ekonomi Unesa yang menjadi pembimbing PP Darul Arqom – Wonocolo

Leave a Reply