Ngopi adalah aktivitas yang menyenangkan meskipun terkadang hanya tinggal istilahnya saja. Contoh nyatanya begini: Ada teman ngajak ngopi di warung kopi akan tetapi setibanya di sana yang dipesan bukan kopi melainkan es jeruk atau lainnya. bagi sebagian orang, ngopi merupakan ritual wajib setiap pagi. Contoh nyatanya adalah teman bapakku yang mengaku akan merasa pusing sebelum meminum kopi di pagi hari. Bukan sembarang kopi yang diminum melainkan kopi buatannya mbah Kam, seorang tetangga yang membuka warung kopi. Kopi buatan istrinya tidak bisa mengobati pusing kepala karena belum meminum kopi.
Aku menyukai kopi akan tetapi bukanlah pecandu ngopi. Hanya saja aku suka ngobrol di Warung kopi. Saat masih kuliah dulu, aktivitas ngopi di warung kopi bisa sampai empat kali dalam sehari. Ya! meskipun saat itu yang dipesan bukan melulu kopi. Tapi istilah ngopi sudah sangat familiar dan mudah dipahami untuk menjelaskan posisiku saat tidak hadir di dalam sebuah perkuliahan.
Sebetulnya aku memiliki masalah klasik dengan kopi. Setiap meminum kopi, aku seringkali merasa lemas jika tidak segera minum air putih. Hal ini sangat berbeda dengan pak Du’i, tetanggaku yang menjadikan kopi sebagai penghilang rasa haus. Paling tidak, itu adalah salah satu kasiatnya. Aku malah sering merasa kehausan setelah meminum kopi.
Beberapa saat yang lalu, entah kenapa, aku selalu ingin ngopi di pagi hari. Aku meminta Widut, istriku untuk membelikanku secangkir kopi di warungnya mbah Ju, warung serba ada depan rumah yang juga menjual kopi. Aku minta pada Widut untuk menanyakan kopi apa yang digunakan mbah Ju kok rasanya enak. Widut mengantongi jawaban bahwa kopi yang digunakan untuk membuat minuman kopi itu sama dengan kopi serbuk yang dijualnya, kopi Kacamata, kopi khas Salatiga. Tapi kok rasanya bisa berbeda?
Ketika warung mbah Ju tutup dan hasrat ingin ngopiku muncul maka Widut membuatkanku kopi sendiri dengan serbuk kopi hitam yang dibelinya dari mbah Ju. Ia selalu menanyakan padaku mengenai kopi buatannya itu. Beberapa kali aku menjawab kurang pas dan dia tampak tidak tersinggung dengan jawabanku itu (entah sebenarnya bagaimana). Pada suatu ketika, rasa kopi yang dibuat Widut sangat mantap dan aku sangat menikmatinya. Ia berujar dan seakan-akan baru mengetahuinya kalau cara menyeduh kopi yang berbeda bisa menghasilkan rasa kopi yang berbeda pula. Rasa kopi itu tidak memulu bergantung pada takaran gula dan kopi sekaligus mereknya.
Kesimpulan Widut saat itu adalah: Selama ini, rasa kopinya kurasakan kurang pas karena ia kurang lama mengaduk kopi itu. Awalnya, ia menganggap asal gula, kopi, dan air bercampur maka itu sudah layak untuk disuguhkan tapi ternyata tidak benar anggapannya itu. Walhasil, pengalamannya menyeduh kopi itu bisa menghemat pengeluaran untuk beli kopi di warung. hehe