Geomorfologi | Bentuklahan Ekohidrolik

Oleh :
Nugroho Hari Purnomo

Abstrak
Konsep ekohidrolik mulai disadari peranannya setelah terjadinya degradasi sungai sebagai akibat dari program pembangunan sungai yang didasari pemahaman hidraulik murni, sementara ekohidrolik berdasarkan pada pemahaman kombinasi ekologi dan hidrolik. Kajian deskriptif dengan metode studi literatur berdasarkan pendekatan analisis terapan bentuklahan ini bertujuan untuk membahas kedudukan bentuklahan dalam kajian ekohidrolik.
Bentuklahan merupakan unsur kenampakan bentanglahan dengan komposisi material yang merupakan hasil dari suatu genetik dan proses yang bekerja di atas struktur geologi dan litologi serta topografi tertentu. Secara geografis bentuklahan merupakan tempat keberadaan material dan tempat proses berlangsung. Untuk pengelolaan sungai, secara umum bentuklahan asal proses fluvial dan bentuklahan asal proses marin memiliki peran penting, meskipun bentuklahan lainnya di beberapa wilayah juga berperan.
Ekohidrolik merupakan konsep pengelolaan sungai yang berpangkal dari paradigma sungai sebagai sistem alamiah yang kompleks dan teratur. Bentuklahan sebagai bagian dari sistem alamiah yang merekam genetik, proses, dan material perkembangan bentanglahan. Dengan demikian konsep ekohidrolik harus mempertimbangkan bentuklahan dalam kajian dan terapannya.
Kata kunci : bentuklahan, ekohidrolik
PENDAHULUAN
Konsep ekohidrolik merupakan konsep pembangunan sungai integratif yang berwawasan lingkungan (Maryono, 2003). Konsep ini mulai disadari peranannya setelah terjadinya degradasi sungai yang mengakibatkan dampak bagi kehidupan manusia dan penurunan kualitas lingkungan. Peningkatan degradasi sungai sebagai akibat dari program pembangunan sungai yang didasari pemahaman hidraulik murni, sementara ekohidrolik berdasarkan pada pemahaman kombinasi ekologi dan hidraulik.
Secara kronologi, pembangunan sungai diawali pada abad 17 di negara-negara Eropa dengan program utama pelurusan sungai. Program pelurusan sungai memiliki tujuan sebagai berikut : (1) mengurangi banjir di tempat tersebut, (2) perluasan areal pertanian, (3) kebersihan kawasan, (4) navigasi transportasi sungai, dan (5) pembangunan hydropower plan. Program tersebut didasarkan pada kajian sungai secara parsial & lokal karena belum diketahui pengaruh akibat perubahan sungai dalam jangka waktu yang panjang.
Pertengahan abad ke 20 sampai akhir abad 20 muncul kesadaran akan dampak pembangunan dan kesadaran akan keselarasan dengan lingkungan. Kesadaran muncul setelah sering terjadinya perpindahan banjir dari wilayah yang ditangani ke wilayah lainnya terutama di bagian hilir, hancurnya ekologi sungai, erosi tebing sungai, dan sedimentasi. Kesadaran berdasarkan pada pemahaman sungai sebagai sistem yang kompleks dan teratur. Semenjak tahun 1980 mulai dikenal adanya program restorasi sungai. Restorasi sungai merupakan upaya merubah alur sungai yang pernah dibangun atau diluruskan menjadi sungai alami kembali yang dikenal dengan renaturalisasi sungai.
Konsep ekohidrolik memasukan unsur alamiah sebagai bagian penting dalam kajian sungai. Bentuklahan sebagai komponen alamiah merupakan bagian tidak terpisahkan dalam ekohidrolik. Tulisan ini merupakan kajian deskriptif dengan metode studi literatur membahas kedudukan bentuklahan dalam kajian ekohidrolik. Pendekatan analisis berdasarkan terapan bentuklahan untuk aktivitas manusia terutama permukiman dalam kontribusinya terhadap pengelolaan sungai sebagai upaya untuk mengurangi bencana banjir. Banjir merupakan proses geomorfologi alamiah, akan tetapi keberadan kehidupan manusia sepanjang sungai menjadikan banjir bukan sekedar masalah alamiah tetapi juga masalah sosial ekonomi.
GEOMORFOLOGI DAN BENTUKLAHAN
Garis besar pengertian geomorfologi menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
1.    studi tentang bentuklahan (Loback, 1954);
2.    ilmu pengetahuan tentang bentuklahan (Thombury, 1970);
3.    studi tentang asal mula terbentuknya, proses perkembangan, dan komposisi material bentuklahan (Cook and Dornkamp, 1990);
4.    studi bentuklahan, proses, dan hubungan keduanya dalam susunan keruangan (Zuidam and Cancelado, 1978);
5.    ilmu yang mempelajari bentuklahan sebagai pembentuk permukaan bumi, baik di atas maupun di bawah permukaan air laut, yang menekankan pada asal mula terbentuknya dan perkembangan yang akan datang dalam hubungannya dengan lingkungan (Verstappen, 1983).
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa bentuklahan merupakan obyek dalam kajian geomorfologi. Pengertian bentuklahan menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
1.    setiap unsur bentanglahan yang dicirikan oleh ekspresi permukaan yang jelas, struktur internal atau kedua-duanya dan menjadi pembeda yang mencolok fisiografi suatu daerah (Howard dan Spok 1940 dalam Sunarto, 2004)
2.    kenampakan medan yang terbentuk oleh proses alami, memiliki komposisi tertentu, memiliki julat karakteristik fisikal dan visul tertentu dimanapun medan tersebut terjadi (Way, 1973)
3.    suatu kenampakan permukaan bumi dengan karakteristik bentuk khusus, yang perkembangannya dikaitkan dengan dominasi proses dan struktur tertentu (Faniran and Jeje, 1985)
4.    konfigurasi permukaan bumi yang memiliki kenampakan morfologi khas, yang dicirikan oleh beberapa sifat fisik materail, dan merupakan hasil proses geomorfik yang dominan (Sharma, 1986 dalam Sunarto, 2004)
5.    kenampakan permukan bumi yang memiliki bentuk dan asal mula yang berbeda antara yang satu dengan yang lainya (Hamblin, 1992)
6.    kenampakan fisik permukaan bumi yang mempunyai bentuk mencirikan suatu proses tertentu yang dihasilkan oleh sebab alami (Bates and Jacson, 1985 dalam Sunarto, 2004)
7.    merupakan kenampakan permukaan bumi yang terjadi akibat genesis tertentu, sehingga menimbulkan bentuk khas yang dicirikan oleh sifat fisik material akibat proses alami yang dominan, dan dalam perkembangannya dapat dikaitkan dengan struktur tertentu (Sunarto, 2004).
Dapat ditegaskan bahwa bentuklahan merupakan unsur kenampakan bentanglahan dengan komposisi material yang merupakan hasil dari suatu proses yang bekerja di atas struktur geologi dan litologi serta topografi tertentu. Penegasan tersebut memberikan informasi bahwa penentu bentuklahan adalah struktur geologi dan litologinya, topografi, proses permukaan yang bekerja, dan material penyusunnya. Struktur geologi dan litologi serta topografi merupakan hasil kerja energi dari dalam bumi berupa tektonisme dan volkanisme, sedangkan proses di permukaan merupakan hasil kerja energi di permukaan seperti air, angin, gelombang, sehingga kedua tenaga tersebut akan mengakibatkan pelapukan permukaan bumi yang menghasilkan material dengan komposisi tertentu.
Secara geografis bentuklahan merupakan tempat keberadaan material dan tempat proses berlangsung. Proses tertentu yang telah bekerja dalam waktu lama menghasilkan unsur-unsur yang menyusun karakteristik bentuklahan. Informasi suatu proses masa lalu dapat direkontruksi dari unsur-unsur yang menyusun karakteristik bentuklahan. Bentuklahan merekam kejadian masa lalu sehingga dapat untuk memprediksi perkembangan karakteristik di masa yang akan datang. Rekontruksi dan prediksi perkembangan bentuklahan ini sangat penting karena pada suatu tempat bisa terjadi pengulangan peristiwa yang sama meskipun intensitasnya berbeda, misalnya kejadian banjir dalam waktu tertentu akan terulang kembali pada waktu berikutnya,  hal ini sesuai dengan konsep uniformitarisma.
Karakteristik dan sifat bentuklahan ditentukan oleh proses yang yang berlangsung. Proses dapat terjadi pada awal pembentukan bentuklahan dan juga akan tetap terjadi setelah terbentuknya. Bentuklahan berdasarkan asal prosesnya dibedakan menjadi sembilan, masing-masing masih dapat dirinci kedalam bentuklahan yang spesifik dengan tatanama yang baku. Rincian asal proses bentuklahan adalah bentuklahan asal proses volkanik, struktural, kipas aluvial, fluvial, marin,  solusional,  eolin,  organik, dan glasial (Verstappen, 1983).
Untuk pengelolaan sungai dan pengendalian banjir, identifikasi bentuklahan yang rawan banjir merupakan kegiatan pertama yang harus dilakukan. Dari sembilan bentuklahan, yang memiliki kaitan dengan banjir adalah bentuklahan asal proses fluvial dan bentuklahan asal proses marin, meskipun bentuklahan lainnya secara tidak langsung dapat juga berperan.. Karakteristik wilayah meliputi kelerengan, stratifigrafi, komposisi material, prilaku alamiah air secara keruangan, proses alami sekarang dan masa lalu, dan tutupan atau penggunaan lahan dapat dikenali dari bentuklahan.
KONSEP EKOHIDROLIK
Konsep ekohidrolik berdasarkan pada pemahaman sungai sebagai sistem kompleks dan teratur (Maryono, 2003). Sistem kompleks memahami sungai terdiri dari banyak komponen, dimana komponen-komponen tersebut saling berhubungan dan berpengaruh dalam suatu sistem yang sinergis, mampu menghasilkan sistem kerja dan produk yang efisien. Salah satu bentuk kekomplekan dapat dilihat dari bentuk alur dan percabangan sungai yang tersusun dari orde-orde berbeda dengan bentuk mengikuti pola random.
Sistem teratur memahami bahwa semua komponen penyusun sungai memiliki karakter yang terkendali secara alamih yang berlaku universal. Dasar ketraturan adalah bahwa sungai memiliki kecenderungan karakteristik alamiah tertentu, apabila dilakukan rekayasa teknik, maka dalam perkembangan lanjutnya sungai akan kembali ke karakteristik alamiahnya. Beberapa bentuk keteraturan tersebut diuraikan di bawah ini.
1.    Alur sungai dipengaruhi oleh kemiringan memanjang dasar sungai dan fluktuasi debit sungai.
2.    Pulau sungai atau gosong sungai selalu bentuk & geometri stream line.
3.    Sedimen & konfigurasi dasar sungai berdasar prisip pada semakin tinggi slope semakin kasar material dasarnya.
4.    Komposisi material dasar sungai dan tebing sungai terkait dengan faktor hidraulik.
5.    Kekuatan aliran sebanding kekuatan vegetasi, maka konfigurasi vegetasi terpengaruh oleh formasi arus.
6.    Jenis ikan dipengaruhi oleh kecepatan air, tingkat sedimentasi, suhu, morfologi, vegetasi tepi dan dasar sungai.
Dalam aplikasinya ekohidrolik merupakan konsep pembangunan sungai integratif yang berwawasan lingkungan. Maksudnya adalah pembangunan sungai harus memperhatikan faktor biotik (seluruh mahluk hidup-ekologi) dan abiotik (seluruh komponen fisik hidrolik) yang ada di wilayah sungai tersebut. Pada sisi spasial  harus mempertimbangan Daerah Aliran Sungai (DAS), Wilayah Sungai (WS), Sepadan Sungai (SS), dan Badan Sungai (BS) merupakan kesatuan ekosistem yang terintegrasi. Sementara itu aktivitas terapan konsep ekohidrolik adalah mempertahankan prilaku sungai seperti prilaku alamiahnya dan mengembalikan sungai seperti karakteristik atau prilaku alamiahnya. Beberapa bentuk aktivitasnya diantaranya adalah restorasi sungai, revitalisasi sungai, dan  renaturalisasi sungai. Aktivitas tersebut dimaksudkan untuk mengubah paradigma pengelolaan air di sungai darai penanggulangan banjir konvensional yang hanya memindahkan banjir ke bagian hulu, menjadi paradigma mendistribusikan banjir lokal yang besar menjadi banjir kecil-kecil di sepanjang sungai.
Apabila disederhanakan, hal yang penting dalam konsep kajian ekohidrolik adalah adanya interaksi antara komponen hidrologi dengan faktor fisik seperti topografi dan material sedimen, faktor biotis seperti konfigurasi vegetasi dan jenis ikan, serta pandangan sungai sebagai suatu sistem antar ruang. Dengan demikian ekohidrolik merupakan konsep pengelolaan sungai yang tidak semata-mata berpedoman pada data hidrologi, tetapi perlu dipertimbangkan data ekologi dan data kewilayahan.
BENTUKLAHAN BANJIR DALAM KAJIAN EKOHIDROLIK
Ekohidrolik merupakan konsep pengelolaan sungai berdasarkan pertimbangan faktor hidrologi, ekologi, dan wilayah, sementara bentuklahan merupakan unsur kenampakan bentanglahan dengan informasi yang terkandung adalah genesis, material, dan proses. Dengan demikian bentuklahan dapat merupakan salah satu topik bahasan dalam kajian ekohidrolik.
Bentuklahan banjir yaitu fluvial dan marin, sebagai salah satu unsur bentanglahan permukaan bumi, dapat dijadikan sebagai kerangka atau unit analisis dalam terapan konsep ekohidrolik. Bentuklahan banjir adalah sebagai tempat berlangsungnya proses hidrologi alamiah dan rekayasa. Ekohidrolik merupakan konsep yang dikembangkan oleh aktivitas manusia dalam rangka keberlanjutan eksistensinya di permukaan bumi. Eksistensi manusia di permukaan bumi tercermin dalam bentuk penggunaan lahan, sehingga ekohidrolik merupakan bagian dari penggunaan lahan. Secara skematis hubungan antara bentuklahan dengan penggunaan lahan disajikan pada Gambar 1.
clip_image002
Gambar 1. Urutan Lapisan Permukaan Bumi
Pengembangan konsep ekohidrolik harus memahami karakteristik alamiah bentanglahan yang secara berlapis yang didasari oleh bentuklahan, lapis di atasnya adalah medan, lahan, dan penggunaan lahan. Medan merupakan wilayah tertentu di atas permukaan bumi yang dikontrol oleh interaksi karakteristik fisik (Worosuprodjo,1996). Lahan merupakan suatu wilayah tertentu di atas permukaan bumi, khususnya meliputi semua benda penyusun biosfer yang dapat diangap bersifat menetap atau berpindah di atas atau di bawah wilayah tersebut, meliputi atmosfer, tanah, batuan induk, topografi, air, tumbuh-tumbuhan, dan binatang, serta akibat-akibat aktivitas manusia di masa lalu atau sekarang, yang semuanya memiliki pengaruh nyata terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada masa sekarang maupun pada masa mendatang (Notohadikusumo, 2002). Penggunaan lahan merupakan segala macam campur tangan manusia baik secara menetap maupun berpindah-pindah terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan baik material maupun spiritual ataupun kebutuhan keduanya (Malingreau, 1982).
Bentuklahan menjadi dasar dalam perkembangan medan, lahan, dan penggunaan lahan. Akan tetapi dinamika yang intensif pada penggunaan lahan juga mengakibatkan perubahan pada lahan, medan maupun bentuklahan.  telah merubah Apabila Masing-masing lapisan permukaan bumi tersebut saling berinteraksi tergantung, sementara perkembangan lahan akan tergantung oleh medan, dan perkembangan penggunaan lahan akan tergantung pada lahan. Ketergantungan tersebut menunjukkan bahwa bentanglahan juga merupakan sistem yang kompleks. Kajian terhadap komplksitas bentanglahan untuk memahami karakteristik masing-masing lapisan beserta unsurnya pada sistem sungai merupakan awal dari tahapan dalam kajian ekohidrolik.
Rekayasa hidrologi memerlukan pemahaman yang lengkap tentang lapisan-lapisan bentanglahan. Ketidaklengkapan pemahaman terhadap lapisan dan unsur-unsur bentanglahan akan menjadikan rekayasa teknik hanya bersifat sementara karena sifat keteraturan sungai yang cenderung kembali ke bentuk alamiah. Dinamika banjir sebenarnya merupakan bentuk pencapaian keseimbangan alamiah sistem sungai. Rekayasa teknik paling tepat dalam konsep ekohidrolik adalah yang memperhatikan kenampakan dan prilaku alamiah yang berlangsung di sistem sungai.
BENTUKLAHAN PROSES FLUVIAL
Bentuklahan asal proses fluvial terbentuk oleh proses dan energi pergerakan air permukaan yang secara visual berupa aliran sungai. Bentuklahan tersebut memiliki ciri yang dapat diidentifikasi dari pola keruangan khas berupa aliran memanjang serta material yang terendapkan sepanjang sisi-sisinya. Karakteristik bentuklahan fluvial terbentuk secara alamiah melalui proses hidrologi yang berlangsung dalam kurun waktu yang tertentu di sungai. Proses tersebut dikontrol oleh kondisi unsur-unsur bentanglahan yang berkembang pada wilayah tersebut, sehingga karakteristik lingkungan akan menentukan proses hidrologi yang terjadi dan menghasilkan bentuklahan yang spesifik. Spesifikasi dan karakteristik bentuklahan fluvial yang dapat dijumpai disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelompok Bentuklahan Asal Proses Fluvial
No
Nama
Karakteristik Utama
1
Dataran aluvial
Relief berbentuk datar yang luas di sisi aliran sungai yang terbentuk oleh material hasil luapan sungai pada masa lalu
2
Dataran banjir
Relief berbentuk datar di sisi aliran sungai yang terbentuk oleh material hasil luapan sungai yang masih sering tergenangi apabila terjadi luapan, akan tetapi genangan hanya bersifat sementara
3
Tanggul alam
Penghalang sepanjang sungai, merupakan deposit material yang diluapkan oleh aliran air sungai
4
Teras deposisional
Bentuk undakan sepanjang sungai akibat penyempitan alur yang dialiri air dengan material  berupa endapan yang dibawa oleh aliran air
5
Teras batuan dasar
Bentuk undakan sepanjang sungai akibat penyempitan alur yang dialiri air dengan material  berupa batuan dasar karena material deposisionalnya telah larut terbawa air
6
Rawa belakang sungai
Wilayah yang terletak di balik tanggul sungai dengan ketinggian hampir sejajar dengan sungai sehingga apabila sungai meluap mudah tergenangi dan genangan bertahan cukup lama
7
Kipas aluvial
Aliran sungai dengan bentuk menyebar dari suatu ujung tunggal, merupakan kondisi peralihan dari aliran yang sempit ke wilayah yang lebih luas
8
Gosong sungai
Pulau-pulau yang terletak di tengah aliran sungai dengan material kasar
9
Meander terpenggal
Cekungan membelok, bekas sungai yang terpenggal akibat terjadinya pelurusan sungai
10
Dasar sungai mati
Cekungan memanjang, bekas sungai yang tidak dialiri air lagi
Sumber : Oya (2001) dengan penambahan
Ketidakmampuan wilayah untuk segera mengatuskan air yang berasal dari wilayah di atasnya atau dari tingginya curah hujan pada wilayah tersebut akan menimbulkan banjir. Tipe banjir tersebut dapat dibedakan menjadi banjir kiriman dan bajir lokal. Banjir kiriman merupakan banjir yang disebabkan oleh peningkatan debit sungai yang melampaui kapasitas saluran atau badan sungai. Sementara banjir lokal disebabkan oleh tingginya intensitas hujan dan tidak terdapat atau tidak berfungsinya saluran drainase yang ada.
Identifikasi bentuklahan fluvial yang rawan terhadap banjir dan perhitungan data hidrologi seperti debit puncak, perhitungan kapasitas saluran dan lainnya sangat diperlukan untuk pengembangan wilayah. Bentuklahan dataran aluvial (Gambar 2), yang terbentuk oleh endapan dengan areal yang luas, pada umumnya merupakan wilayah yang tidak rawan banjir karena material endapannya mudah meloloskan air dan wilayahnya cukup datar. Wilayah yang banjir biasanya hanya sisi yang berdekatan dengan alur sungai. Pada wilayah seacam ini, pengelolaan dengan menetapkan zona sepadan aliran sungai dapat diterapkan. 
Bentuklahan dataran banjir (Gambar 3) terbentuk oleh proses banjir secara periodik, perlu dipertimbangkan apabila akan dikembangkan menjadi wilayah permukiman. Pertimbangan teknis dengan pembangunan drainase yang baik merupakan bentuk adaptasi manusia pada bentuklahan ini. Sementara apabila akan dikembangkan permukiman pada bentuklahan tanggul alam dan rawa belakang (Gambar 4), maka permukiman dapat ditempatkan pada tanggul alam dan diperlukan drainase yang menghubungkan antara rawa belakang dengan aliran sungai sungai. Hal ini untuk menghindari terjadinya banjir genangan.
Untuk pengembangan wilayah pada bentuklahan teras aluvial (Gambar 5), teras paling bawah dihindari untuk permukiman. Penggunaan untuk pertanian yang mempertimbangkan periode banjir dapat diterapkan pada teras paling bawah terutama pada teras dengan material deposisional. Areal terbangun dapat ditempatkan pada teras di bagian atasnya. Sementara untuk wilayah kipas aluvial (Gambar 6), harus dihindari adanya permukiman. Pada wilayah ini terjadi perubahan topografi yang mencolok dari berbukit ke dataran, biasanya terletak pada tekuk lereng, sehingga terjadi gerakan air yang cukup kuat. Di beberapa tempat wilayah ini sering dikembangkan menjadi obyek wisata, sehingga perlu sekali dipahami karakter debit puncaknya serta menghindari bangunan permanen untuk meminimalkan korban dan kerugian akibat bencana.

Permukaan banjir di rawa belakang sungai akibat luapan air sungai melampau tanggul alam

 

clip_image003

Bentuklahan meander terpengal dan sungai mati dihindari untuk permukiman, karena sifatnya yang terisolasi dapat menimbulkan banjir genangan. Pada sisi lingkungan dimungkinkan limbah perumahan akan terkonsentrasi pada bentuklahan tersebut. Demikian juga untuk pertaniaan intensif, dimungkinkan limbah bahan kimia dari perlakuan pemupukan akan terakumulasi di bentuklahan ini. Pada sisi lain bentuklahan meander terpengal dan sungai mati tersebut berpotensi sebagai habitat nyamuk demam berdarah. Pemanfaatan bentuklahan ini lebih tepat untuk usaha perikanan.
BENTUKLAHAN PROSES MARIN
Bentuklahan proses marin akan memiliki kaitan dengan banjir pada wilayah pesisir yang dekat dengan muara sungai. Bentuklahan asal proses marin juga dikonrol oleh kondisi unsur-unsur bentanglahan yang berkembang pada wilayah tersebut serta didukung proses dan energi yang ada di wilayah pesisir terutama gelombang, pasang surut, dan angin. Wilayah pesisir ini merupakan wilayah pertemuan antara proses fluvial dan proses marin, sehingga kajian banjir pada wilayah pesisir harus memperhatikan kedua proses tersebut. Spesifikasi dan karakteristik bentuklahan marin tersebut disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kelompok Bentuklahan Asal Proses Marin dan Kombinasi Marin Fluvial
No
Nama
Ciri Utama
1
Gisik
Berupa pasir lepas hasil sedimentasi, deposisi, dan abrasi,  terpengaruh oleh pasang surut
2
Betinggisik
Berupa pasir lepas hasil deposisi dan ablasi, berbentuk cembung memanjang sepanjang pantai
3
Ledok antar Betinggisik (swale)
Berupa pasir lepas hasil sedimentasi, berbentuk cembung memanjang dibatasi oleh betinggisik
Dataran aluvial pantai
Merupakan daerah pengendapan material yang diangkut oleh air sungai dan air laut
Dataran banjir pantai
Merupakan daerah pengendapan material proses sedimentasi yang berulang setiap kali banjir
4
Laguna
Air laut diantara betinggisik dengan daratan utama, terdapat outlet yang menghubungkan dengan laut, sehingga masih terjadi sirkulasi air laut
5
Laguna mati
Air laut diantara betinggisik dengan daratan utama, tidak terdapat outlet yang menghubungkan dengan laut
6
Teras pantai
Dataran berundak-undak di tepi laut yang terbentuk oleh abrasi atau pengangkatan
7
Rawa payau
Perairan rawa yang airnya payau dengan kandungan bahan organik yang tinggi
8
Rawa belakang delta
Rawa yang terletak dibelakang tanggul sungai pada wilayah delta
9
Dataran delta
Dataran yang terbentuk oleh endapan material pada wilayah delta
10
Hasil sedimentasi beruapa endapan lumpur yang di endapkan di wilayah pasang surut
11
Delta
Deposisional pada muara sungai yang mendapatkan pengaruh dari sistem di laut sehingga terbentuk tipe-tipe delta hasil interaksi fluvial dan marin
Sumber : Oya (2001) dengan penambahan
Pada dasarnya kejadian banjir pada kota-kota di wilayah pantai disebabkan karena kedudukan dan perkembangan kota yang terletak pada bentuklahan akibat proses banjir. Banjir dikontrol oleh interaksi antara sistem sungai dengan sistem laut sehingga terjadi banjir yang telah berulang kali dalam kurun waktu panjang. Tipe banjir di wilayah ini meliputi banjir kiriman, banjir rob, dan banjir genangan (Yusuf, 2005). Banjir rob disebabkan oleh tingginya pasang surut air laut yang melanda wilayah pinggiran laut.
Wilayah-wilayah dengan genetika proses fluvial dan marin, secara alamiah telah terkandung kerentanan terhadap banjir. Pada saat terjadi arus urbanisasi sepanjang sungai dari hulu ke hilir dan di sepanjang tepi pantai, maka sistem hidrologi alamiah pada bentuklahan marin akan terpengaruh. Pembangunan sistem hidrologi sebagai bagian dari proses urbanisasi yang tidak memperhatikan sistem hidrologi alamiah berdasarkan bentuklahan akan menambah tingkat kerawanan terhadap banjir.
Identifikasi bentuklahan marin yang rawan terhadap banjir dan perhitungan data hidrologi pesisir sangat diperlukan untuk pengembangan wilayah. Berdasarkan pada kelompok bentuklahan asal marin tersebut, maka secara umum yang dapat dikembangkan sebagai kawasan terbangun adalah gisik, beting gisik (Gambar 7), dataran aluvial pantai, dataran delta, dan teras pantai (Gambar 8). Bentuklahan tersebut relatif aman dari genangan air meskipun tetap diperlukan adanya rekayasa teknik untuk pengaliran dan pengatusan.
Pada bentuklahan lainnya dapat dikembangkan ke berbagai aktivitas yang tetap mempertahankan kondisi alamiahnya dengan mempertimbangkan kondisi sirkulasi air. Bentuklahan laguna (Gambar 9a) yang terjadi sirkulasi antara  air laut dengan air di dalam laguna dapat dikembangkan sebagai loksi wisata air atau budidaya perairan. Sementara untuk bentuklahan yang tingkat sirkulasi airnya rendah seperti laguna mati (Gambar 9b), rawa payau, rawa belakang delta lebih tepat untuk budidaya perairan.  Untuk pantai Rataan lumpur pemanfatan untuk konservasi dengan penanaman Mangrove dapat memiliki nilai ekologis yang sangat tinggi dibandingkan pemanfaatan lainnya.
clip_image004
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini adalah sebagai berikut :
1.    Ekohidrolik merupakan konsep yang berkembang pada kajian hidrologi setelah disadari bahwa pengelolaan sungai dengan pertimbangan hidrologi murni tidak menyelesaikan masalah secara tuntas, tetapi hanya pemindahan lokasi masalah hidrologi. Penanganan sungai harus secara integral dari hulu ke hilir dan mempertimbangkan semua aspek sungai termasuk komponen ekologi.
2.    Konsep ekohidrolik berkembang berdasarkan pemahaman bahwa sistem sungai bersifat kompleks dan teratur yang terkendali secara alamih. Sungai akan selalu berkembang kembali ke karakteristik alamiahnya setiap dilakukan rekayasa teknik.
3.    Bentuklahan merupakan unsur kenampakan bentanglahan dengan komposisi material yang merupakan hasil dari suatu genetik dan proses yang bekerja di atas struktur geologi dan litologi serta topografi tertentu. Secara geografis bentuklahan merupakan tempat keberadaan material dan tempat proses berlangsung.
4.    Ekohidrolik merupakan konsep yang dikembangkan oleh aktivitas manusia dalam rangka keberlanjutan eksistensinya di permukaan bumi. Eksistensi manusia di permukaan bumi tercermin dalam bentuk penggunaan lahan, sehingga ekohidrolik merupakan bagian dari penggunaan lahan. Penggunaan lahan merupakan lapis permukaan bumi yang dikontrol bentuklahan.
DAFTAR PUSTAKA
Cooke, R.U. and J.C. Dornkamp., 1990. Geomorphology in Environmental Management. A New Introduction, edisi kedua. Claredon Press, Oxford
Faniran, A. And L.K. Jeje, 1985. Humid Tropikal Geomorphology. Longman Group LTD, Essex
Hamblin, W. K.,1992. Earth Dynamic System (Edition 6). Mac. Millan Publication Co., New York
Loback, A.K. 1954. Geomorphology An Introduction. Willey, London
Malingreau, 1982. A Land Cover / Land Use Classification for Indonesia. PUSPICS Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Maryono, A., 2003. Pembangunan Sungai Dampak dan restorasi Sungai. Magister Sistem Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Notohadikusumo,  T., 2002. Dampak pada Tanah, Lahan, dan Tataruang. Kursus Dasar-Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta; Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada
Oya, M., 2001. Applied Geomorphology for Mitigation of Natural Hazards. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht
Thornbury, W.D.1970. Principles of Geomorphology. Willey, London
Verstappen, H. Th. 1983. Applied Geomorphology. Amsterdam; Elsevier
Zuidam & Zuidam Cancelado, 1978. Terrain Analiysis Using Aerial Photograph. ITC, Enschede
Sunarto, 2004. Peruabahan Fenomena Geomorfik Daerah Kepesisiran di Sekeliling Gunungaapi Muria Jawa Tengah. Desertasi. Tidak dipublikasikan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Worosuprodjo, S., 1996. Analisis Medan Untuk Evaluasi Sumberdaya Lahan. Pelatihan Evaluasi Sumberdaya Lahan Angkatan VI. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Yusuf, Y., 2005. Anatomi Banjir Kota Pantai. Prespektif Geografi. Pustaka Caraka, Surakarta

Leave a Reply