Gerimis Dua Tahun Lalu

Seharian gerimis menemani. Dingin semakin terasa tanpa tawamu, berkelebat kenangan pada gerimis dua tahun lalu.
Kau masih saja keras kepala. 
Kubilang, aku akan menunggumu di terminal kota Bengawan. Aku sudah terbiasa menikmati perjalanan sendirian. Nyatanya, tetiba kabarmu membuatku tersentak; bis hijau mengantarmu ke terminal kota dingin; kotaku. Berteman payung bening di tangan, gerimis menemani pertemuan pertama. 
Aku ingat, saat itu aku terlambat dan kita bergegas menuju bis hijau, menuju kota bengawan. Menyambangi kampus hijau untuk bertanya tentang segala pernik penelitian tugas akhir; yang masih saja belum tunai sampai sekarang.
Perbincangan terjeda lantaran aku dan kau duduk di bangku yang berbeda. Diam-diam aku tertawa, bangku kosong di sebelah tersisa satu, tetapi kau memilih duduk di belakang. Lalu, ketika dua bangku di sebelah kosong, bergegas kau pindah ke depan. Berjarak satu bangku, tentu saja. 
Perbincangan pertama itu, kau tahu? aku sungguh kesulitan menerjemahkan gerakan mulutmu. Beberapa kali memintamu mengulang. Hingga akhirnya aku memilih untuk terus bercerita, agar tak lagi membuatmu lelah mengulang. Tetapi, kau tetap saja mengimbangi ceritaku, meski aku berulang kali memintamu mengulang ucapan.
Kau mengulang dengan sabar, yang membuatku diam-diam berdoa, jika kelak Allah Menggariskan kaulah takdirku, caramu menghadapiku tetap sama, dalam sayangmu, dalam marahmu, dalam kecewamu. Dan, ya, itu bukan sekedar kepura-puraan; sampai kini kau tak pernah sekalipun naik pitam jika aku tak mengerti ucapmu.
Gerimis selalu saja memanggil memoriku tentangmu.
Kau mengantarku pulang sampai terminal kotaku, menempuh jalur yang sama untuk kembali ke kampungmu.
Dalam kalutku, aku masih ragu lantaran aku masih kesulitan memahami gerak bibirmu. Kau, dengan gaya unikmu, meyakinkanku bahwa ini hanya persoalan waktu.
Gerimis ini memanggil-manggil rindu yang ingin kupendam, agar kau disana tak perlu khawatir. Tetapi, sungguh, aku tak mampu. Lembaran statistik yang harus kuselesaikan sebelum anak kita lahir, tak mampu mengalihkan panggilan gerimis kali ini.
Gerimis dua tahun lalu.
Tiga jeda waktu.
Satu rasa yang sama; rindu.

Leave a Reply