Istriku Seorang Tuna Rungu

Aku terkejut ketika buka FB mendapati istriku membuat status tentang keputusasaannya untuk berikhtiar mencari penyembuh gangguan pendengaran yang dialaminya. Kok tiba-tiba dia bisa membuat status seperti itu memangnya ada apa? Apa yang terjadi? Apakah telinganya sedang terasa sakit? Ataukah ada sesuatu yang dikhawatirkannya atau ditakutkannya?

Jujur saja, selama aku menikahinya, porsi untuk membicarakan pendengarannya sangat minim. Aku tidak mau menyinggung masalah itu lagi. Bagiku, aku menerimanya apa adanya. Pendengarannya ‘normal’ atau tidak bukanlah masalah bagiku. Meskipun tidak tertulis, masalah pendengaran ini seperti konvensi final yang tidak perlu dibahas lagi.

Widi Utami & Kevin

Widi Utami & Kevin

Aku sering bilang padanya Aku sendiri lebih suka mengajari istriku untuk menerima dirinya sendiri sebelum berusaha untuk diterima orang lain. Oleh sebab itu, apa yang aku tekankan padanya adalah olah rasa dan olah hati untuk menerima takdir. Bukankah orang yang memiliki pendengaran ‘normal’ tapi kurang mendapat tempat di masyarakat jumlahnya banyak?

“aku sudah menerimamu apa adanya. Tapi jika kamu tidak menerima dirimu sendiri lalu apa gunanya aku? Seakan-akan kamu tidak menghargaiku yang telah bersedia menjadi telinga untukmu”

Istriku Seorang Tuna Rungu adalah kalimat yang tak pernah malu kuucapkan kepada orang-orang yang baru kami kenal. Aku memberitahu mereka untuk menjaga istriku dari prasangka buruk “cantik-cantik tapi sombong. Dipanggil tidak mau menjawab, sekedar menoleh, atau tersenyum” atau pada redaksi lain yang pernah kudengar sendiri “ayu-ayu diceluk kok mingkem wae” atau redaksi lain yang pernah kudengar “kelihatannya melihat tapi ditanya kok gak mau jawab“.

Sebetulnya aku pun sudah berkali-kali memintanya untuk tidak membahas masalah pendengaran itu di depan publik kalau memang tidak diperlukan. Aku tidak ingin istriku menjadikan ‘tuna rungu’ yang disandangnya itu menjadi ladang untuk dieksploitasi. Aku tidak ingin istriku berusaha mencari simpati, iba, belas kasihan dan sejenisnya untuk mendongkrak karirnya. Aku ingin karir yang diukirnya itu benar-benar karena perjuangannya bukan dari belas kasihan orang lain.

Aku berusaha menjadi suami yang bergaya kerja leader, bukan bos. Kami saling berbagi tugas untuk menjalankan roda pemerintahan di dalam rumah tangga. Ada kalanya aku yang nyuci piring dan istriku yang memasak, ada kalanya aku yang menyapu lantai dan istriku yang mencuci baju, dan hal-hal lainnya yang bisa dilakukan akan dilakukan bersama-sama ataupun bergantian.

Sakit adalah hal yang biasa bagi organisme yang masih hidup. Termasuk sakit yang menimpa kami. Jika istriku sakit maka aku akan memeriksa keadaannya terlebih dahulu setelah itu baru menanyainya apakah perlu ke dokter? Untuk memutuskan pergi ke dokter atau tidak, kami harus adu argumen terlebih dahulu. Namun kalau level sakitnya sudah sampai mengganggu roda pemerintahan ya mau tidak mau harus segera dibawa ke dokter. Tidak ada argumen lagi yang boleh masuk. Pokoknya harus ke dokter.

Tuna Rungu yang disandang istriku itu, berdasar kesepakatan di dalam rumah tangga kami bukan dianggap sebagai penyakit. Selama ini, masalah pendengaran tidak mengganggu jalannya roda pemerintahan di dalam rumah tangga. Lalu mengapa harus diributkan atau dibahas? “Ketemu pirang perkoro mbahas sing ora dadi masalah?”. 

Berbeda lagi dengan sakit seperti yang baru saja dialaminya yaitu diare dan gatal-gatal seluruh tubuhnya beberapa hari yang lalu. Itu sudah mencapai level menghawatirkan. Aku sudah mengajaknya ke dokter beberapa kali. Hanya saja setelah beradu argumen ternyata dia tetap memutuskan untuk tidak dibawa ke dokter dengan alasan apa yang terjadi hanya efek detoks setelah menjalani pola makan ngawur beberapa hari dan kembali lagi ke pola makan FC.

Sejujurnya, aku juga ingin membersamainya dengan pendengaran yang ‘normal’ sebagaimana orang-orang secara umum. Aku juga pengen telpon-telponan dengannya, gantian sema’an membaca Al-Qur’an bil ghoib atau bin nadzor, mendengarkan ia menyanyikan qasidah-qasidah, menyanyikan lagu untuknya sambil memainkan gitar atau alat musik yang kukuasai. Tapi itu bukan agenda prioritas apalagi tujuan. Kalau bisa dicapai ya dicapai saja dengan mengalirnya takdir.

Bukankah setiap orang laki-laki menginginkan istri yang sempurna? Di sanalah aku melihat kesempurnaan itu. Istriku adalah wujud kesempurnaan dalam bentuk yang dapat aku cerna dengan panca indera. Keindahan, kasih sayang, kemampuan mengatur, dan beragam refleksi sifat dari yang Maha Kekal ada pada dirinya. Toh kalau ada satu atau dua sifat yang tidak dimilikinya tidak lantas menggugurkan kesempurnaannya.

Ada maqolah yang mengatakan “barang siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya”. Aku menganggap unsur diri di situ meliputi istri. Namanya manusia diciptakan berpasangan bearti keutuhan atau kesempurnaan nafs (diri) akan terjadi setelah mereka dipasangkan. Maka dari itu, mengenal istri lebih dalam adalah bagian dari langkah untuk mengenal Tuhan.

Jadi, biarkan saja pendengaran itu seperti itu. Toh kalau Allah mau memberi pendengaran tak perlu meminta ijin atau memberitahu terlebih dahulu.

Aku hanya ingin mengajak istriku untuk mengguncang Arsy dengan kisah cinta kami yang super seru untuk ditayangkan di sana kepada penduduk langit. Biarkan penduduk bumi menggunjing pendengarannya asalkan penduduk langit gusar dan tak sabar untuk segera jumpa fans dengan kami.

Itu lah harapanku. Semoga Allah meridhoi apa yang telah kami lakukan dan usahakan.

1 thought on “Istriku Seorang Tuna Rungu”

Leave a Reply