Ketika Kami Salah Mengartikan Kebaikanmu

Sore itu, aku marah. Ndremimil nggak karu-karuan. Apa pasal? Suami tak mau mengangkatkan telepon. Satu pun beliau tidak berkenan. Bukankah beliau sudah paham jika aku tidak bisa mengangkat telepon, kenapa untuk urusan satu ini susah benar? Suami dan istri harusnya saling melengkapi, bukan begitu?
Aku memasang tampang judes. Ketika suami mendekat, aku melengos. Seharusnya beliau memahami kekuranganku dengan membantu mengangkat telepon yang masuk ke nomor handphone-ku. Jauh sebelum beliau melamar, aku sudah menuturkan dengan detail tentang keadaanku yang mengalami tunarungu parsial.
Maghrib menjelang, aku masih terkungkung kemarahan. Suami memutuskan untuk keluar tanpa pamit. Aku mencoba untuk tidak peduli.
Imajinasiku semakin liar. Menebak-nebak tak tentu arah.
Apa beliau tidak mau memahami keadaanku yang tunarungu?
Apa beliau terbebani mempunyai istri yang tunarungu?
Aku tergugu.
Ternyata tidak mudah. Terbayang tentang teman-teman tunarungu yang rerata memilih pasangan sesama tunarungu. Bahkan, dulu sebelum menikah, salah seorang teman tunarungu terkejut karena calon suami memiliki pendengaran normal. Seolah dia berkata, kamu yakin?
Petang telah lewat. Suami belum juga pulang. Terbesit kekhawatiran. Mencoba mengirimkan selarik pesan. Satu-dua jam belum terbalas. Pikiranku semakin tak terkendali. Diliputi berbagai prasangka. Beliau tidak mau membantuku yang tidak bisa menerima telepon. Beliau membatasi pergaulanku,sehingga tak satu pun telepon yang masuk beliau berkenan mengangkat. 
Pukul sembilan suami pulang. Tentu saja aku tidak membukakan pintu, karena aku tidak mendengar ketukan atau panggilan. Seumur-umur aku belum pernah melakukan adegan romantis membukakan pintu rumah untuk suami seperti di film-film itu. Kecuali sengaja menunggu dengan cara mengintip dari kaca jendela. 
“Maaf, Kak.” ujarku ketika suami sudah duduk.Kepalaku menunduk.

Suami menepuk bahuku, pertanda aku harus memandang wajahnya agar bisa membaca mulutnya.

“A-na a-pa ma-u?” Ada apa tadi? aku membaca mulutnya dengan setengah menahan geram.

“Kok kakak nggak mau angkat telepon? kan Ayi nggak bisa ngangkat telepon…” Aku menumpahkan semua yang kurasakan.

Suami tersenyum.
Ha? Orang lagi marah, malah tersenyum?

“Oalah, Yi… Yi.” beliau menggeleng-gelengkan kepala. Aku menajamkan mata, membaca mulut beliau dengan lekat.

Sengaja. Mana ada sahabat yang tidak bisa memahami kekurangan sahabatnya? 

Hening.
Suami membiarkan aku tenggelam dalam lamunanku sendiri. Perasaan bersalah menyelimuti. Ternyata prasangkaku terlalu jauh. Ya, mudah saja, jika ada orang yang ngotot telepon padahal sudah tahu tentang kekuranganku, ia tereliminasi dari kategori sahabat.

Apakah ini yang pertama kali?
Tidak. Itu hanya satu chapter dari ratusan bahkan ribuan chapter lain. Kejadian tentang kesalah pahaman berulang kali terulang. Tidak hanya dengan suami. Nyaris dengan semua orang aku pernah tersinggung hal-hal yang menyerempet ke-ketunarunguan.

Orang berbicara keras, aku menduga ia menghina.
Orang berbicara lamban, aku menuduhnya tak paham keadaan.
Orang berbicara sedikit menekan, aku menghakiminya marah karena aku tidak paham dengan apa yang kuucapkan.

Rumit, kan?
Memang. Aku sendiri sedang berlatih agar tidak terlalu mudah untuk berprasangka.

Ada yang pernah bingung dengan perilaku penyandang difable sepertiku?

Tak bisa dipungkiri. Aku yang terlahir difable saat menekuni psikologi anak luar biasa saja garuk-garuk kepala. Semua jenis difable yang kupelajari memiliki ciri psikis yang sama: mudah tersinggung. Maka, tak heran jika sering terjadi kesalahpamahan pada difable. Niatnya baik, tanggapannya na’udzubillah jauhnya. Hahaha.

Ketika Kami Salah Mengartikan Kebaikanmu

Kami Perlu Ketekunan Komunikasi

Menjadi penyandang difable bukan perkara mudah. Kami harus menghadapi lingkungan yang seringkali diskriminatif, masih harus menghadapi diri sendiri yang selalu saja bertanya: kenapa aku begini? Apa maksud Tuhan Menciptakan aku lain dengan yang lain?
Maka, jangan tinggalkan kami jika kalian merasa lelah karena tanggapan kami tentang kebaikan kalian sangat berbeda.

Sebab kami harus menang melawan pertanyaan dari diri sendiri sebelum mampu menerjemahkan dan memahami perlakuan kalian kepada kami. 

Jelaskan tentang maksud perlakuan tersebut dengan lembut dan empatik. Jika kami masih saja tersinggung, tolong, jangan menyerah.Mungkin waktu yang dipilih kurang tepat. Dont give up, please.

Aih, aku terasa sedang membujuk kalian agar memahami kondisi kami para penyandang difable ketika niat baik kalian diterjemahkan berbeda, bahkan sangat bertolak belakang. Hahahaha.

Dengarkan Saja ketika Kami Bercerita

Hanya orang-orang tertentu yang bisa memahami kami, maka dengarkan saja ketika kami memilihmu sebagai tempat untuk bercerita. Itu artinya kamu adalah orang spesial.

 Ejekan, bully-an adalah hal yang biasa dijumpai dalam keseharian. Barangkali penyandang diffable rata-rata terlihat diam dan kuat di luar, tetapi sejatinya kami butuh tempat untuk bercerita lebih banyak. Apalagi penyandang deaf yang hanya bisa berkomunikasi dengan orang-orang tertentu. Pada dasarnya kami membutuhkan tempat untuk mengeluarkan uneg-uneg. Konon, mengeluarkan uneg-uneg adalah salah satu bentuk terapi jiwa yang bisa mengurai tekanan batin. Hanya mendengarkan saja kalian telah membantu kami agar tidak semakin depresi.

Jangan Memberi Saran jika Tidak Diminta

Hal yang paling menyebalkan adalah ketika ada orang yang tetiba memberikan petuah bijak seolah apa yang kami sandang adalah hal yang ringan. Rasa-rasanya ingin teriak, hellow, seandainya lu yang ngalami apa elu kuat?
Apatah lagi jika ditambahi komentar-komentar, “Pakai alat bantu dengar dong, blah blah blah… masa alat bantu dengar nggak membantu sih? blah blah blah…
Sudah, elu coba aja sendiri ini alat bantu dengar yang sudah menghabiskan isi dompet Ibu dan kesabaranku. Hahaha.
Please, jika bukan ahlinya, jangan komentar macam-macam. Barangkali kita belum tahu sejauh mana usaha yang telah dilakukan. Masih mending jika yang dikomentarin adalah WiDut yang sedikit-sedikit curcol di blog, jika orang yang dikomentarin tipikal pemendam perasaan? Alih-alih menambah semangat orang yang bersangkutan, justru semakin menambah depresi. Teman-teman yang sering curhat, rerata depresi karena komentar orang. Bahkan ada yang mencoba meniru adegan sayat-sayat pergelangan tangan dengan silet. Nah, lho… Kalau ada sesuatu, kan serem. 

Terimakasih untuk Kalian yang Tak Menyerah

Terimakasih untuk kalian yang tak menyerah dengan berbagai kesalahpahamanku tentang maksud baik kalian. Terus menjalin cerita yang berwarna meski kesalahpahaman seringkali menghiasi. Tetap menyayangi meski aku pernah marah tak karu-karuan karena terlalu jauh berprasangka.

Big hug.

Kalian, punya cerita tentang kebaikan yang disalah artikan? Yuk, cerita tentang β€œKebaikan Tak Selalu Baik di Mata Orang Lain yang diadakan oleh Mak Noorma. Anyway, Barakallahu fii umrik, Mak. Semoga semakin berkah semuanya, berkah nge-blognya, berkah umurnya, berkah keluarganya.

13 thoughts on “Ketika Kami Salah Mengartikan Kebaikanmu”

  1. Big hug untuk mbak Widut. Berbaik sangka pulalah kepada sahabat yang menelepon, mungkin saja bukan dia yg menelepon tapi anaknya yang masih batita karena bermain dengan hp ibunya. ~Balada HP juga sering diutak-atik Han~

    Reply
  2. Mba Widuuuut, peluuukk…

    Ngga tau harus komen apa, Mba.. Sabar, udah pasti Mba Widut sering dengar. Dan kata sabar memang gampang banget diucapkan oleh mereka yang tidak mengalami. Tapi apa lagi, kayaknya cuma sabar aja yang bisa menyelesaikan semuanya. Sabar dan berprasangka baik, seperti yang Mba Rani katakan di atas.

    Yang pasti, banyak orang yang sayang Mba Widut lah.. Just the way you are… πŸ™‚ :*

    Reply
  3. sebagai manusia biasa, kita memang harus banyak belajar. gak cuma mba widut yg belajar utk tdk mudah tersinggung, kita pun yg memiliki pendengaran, harus bisa menjaga hati agar tak mudah tersinggung pula

    Reply
  4. Hihii, di kasus itu si penelepon sudah ndremimil via sms, mbak Ran. Jadi ya bukan faktor ketidaksengajaan. Tapi tetep positive thinking ajalah. :v

    Big Hug.

    Reply

Leave a Reply