Saat menginjak semester tujuh, aku masih sempat mengerjakan proyek penelitian. Dari penyusunan proposal, penelitian hingga laporannya harus selesai dalam jangka waktu satu bulan. Aku menikah saat semester enam.
So, dengan sangat pede aku yakin jika skripsi selesai cepat. Apa bedanya dengan proyek hibah penelitian yang bisa selesai meski harus jungkir balik, dengan bantuan suami, tentu saja.
Menjelang semester delapan awal, judul skripsi sudah diajukan, dan aku pun telah menyusun proposal dengan bekal rujukan seadanya, yang penting mendapatkan dosen pembimbing terlebih dahulu, batinku.
Awal tahun ternyata terjadi jadwal kacau yang membuatku super duper malas melanjutkan proposal yang telah kususun, dari jadwal KKL yang tidak jelas juntrungnya hingga jadwal KKN yang super duper mepet dan membuatku hampir stres, apalagi aku didaulat untuk menjadi sekretaris KKL, begadang menyelesaikan laporan dan mengurus tetek bengek administrasi di balik kesibukanku sebagai Ibu Rumah Tangga tentu saja. Hello, jika kalian tahu pasti nggak akan tega membiarkanku mengerjakan semuanya sendirian. Sasaran keruwetan tentu saja suami sendiri, uring-uringan nggak jelas kepada beliau. Maaf, Abah. Hiks.
Aku memutuskan untuk melupakan skripsi sejenak.
Setelah KKL, dalam jangka waktu yang sangat mepet kami harus menyiapkan diri untuk KKN. Suami memutuskan untuk mengurus kuliahnya, dan kami LDR-an. Nyaris tiap hari aku mengalami homesick. Kangen Bapak, Ibu plus kangen suami. Nggak bisa telepon. Hanya bisa ngiri ketika teman-teman satu posko saling telepon. Huks.
Selesai KKN, kami disibukkan dengan orderan percetakan. Biasa, bulan Sya’ban adalah bulannya orang-orang hajatan. Lupakan dulu tentang skripsi. Benar-benar, chemistry mahasiswa single dan mahasiswa yang telah berkeluarga sangat jauh perbedaannya. Disaat teman-teman yang lain hanya memikirkan kos-perpustakaan, aku harus berfikir permasalahan yang lebih kompleks.
Tetapi itu konsekuensi atas keputusan yang kuambil, bukan?
Ramadhan datang.
Akhir Ramadhan adalah titik balik kehidupanku, dimana aku bukan lagi sebagai anak dari orang tua, menantu dari mertua, istri bagi suami, tetapi juga sebagai ibu bagi calon anak. Seminggu setelah tes dan dinyatakan positif hamil, aku mengalami flek dan mulai menjalani proses kehamilan yang bagi kebanyakan orang tidak biasa.
Minggu-minggu selanjutnya adalah ujian. Hasil ngaji tentang tawakal diuji. Setelah mengalami flek pada minggu ke tujuh dengan diagnosis, “belum ditemukan tanda-tanda kehidupan,”; hari-hariku lebih akrab dengan mual, muntah dan lemas. Nyaris semua makanan yang kumakan kumuntahkan lagi.
Lemas, rewel.Absen puasa di delapan hari terakhir bulan Ramadhan. Aku mengabaikan persiapan lebaran. Makan menjadi sesuatu yang sangat mewah. Mencuci dan urusan makanku yang rewel berada di tangan suami.
Di saat kondisiku seperti itu, mana sempat memikirkan skripsi?
Hal ini berlangsung hingga bulan kelima, suami tidak berani meninggalkanku dalam jangka waktu lama. Sakit adalah hal yang biasa. Berat badan berada di titik krisis. Bidan prihatin dengan kondisiku. Aku abai dengan semua hal, yang kupikirkan adalah bagaimana aku bisa makan agar janin di kandungan tetap sehat, itu saja.
Pun, aku abai ketika teman-teman wisuda, sementara aku belum melanjutkan proposal yang telah kususun.
Menginjak usia kandungan ke tujuh, aku baru memikirkan kelanjutkan skripsi. Tenagaku tidak lagi seperti dulu yang bisa begadang selama berhari-hari. Jangankan begadang, duduk lama saja sudah payah.
Mungkin ini yang akan menjadikan skripsiku lebih manis, dengan proses yang tidak biasa.