Haru suasana malam Idul Adha terasa di se antero kota Salatiga tadi malam, 04 Oktober 2014. Menjelang maghrib, suara takbir mulai terdengar mengalun bersahutan. Suara letusan kembang api pun tak mau ketinggalan, diiringi beberapa kali suara ledakkan mercon ukuran jumbo yang memekakkan telinga. Para muda mudi RT 01 Noborejo sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti lomba Drumblek yang diselenggarakan dalam rangka untuk memeriahkan malam Idul Adha di daerah Jagalan, Salatiga.
Kemeriahan hari raya dengan isi acara pawai, takbir keliling, lomba takbir keliling dengan musik tradisional dan semacamnya itu, dulu sempat kutentang. Aku kukuh mempertahankan prinsip “sok suci”ku. Mengatakan bahwa acara-acara tersebut tidak sesuai dengan syariat. Meriah secara lahiriyah, tidak meriah secara batiniyah apalagi ruhaniyah. Banyak larangan syariat dan madlorot pada acara tersebut, antara lain bercampurnya laki-laki dan perempuan non muhrim, unsur kemubadziran dengan menggunakan dandanan yang berlebihan, lampu hias, dan segala peralatan yang hanya mampu memeriahkan secara lahir termasuk penggunaan kembang api dan mercon. Belum lagi kemacetan yang ditimbulkan akibat acara tersebut. Itu beberapa alasan mengapa aku dulu menentang acara pemeriahan Idul Adha dengan cara pawai, lomba, dan takbir keliling.
Kakakku, dialah yang merubah sudut pandangku secara perlahan. Bertahun-tahun prinsip menentang acara tersebut ku pertahankan, akhirnya luluh dengan penjelasan-penjelasan lembut yang disampaikan kakak.
Kakak berkata, “Ibarat sekolah, ada tingkatan Paud, TK, SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi. Dalam hal agama pun demikian. Ada yang tingkatannya masih dasar, menengah, dan atas. Jangan memaksa orang yang masih di tingkat dasar langsung naik ke tingkat atas, itu sulit bahkan hampir mustahil. Biarkan mereka berproses sesuai kelasnya, sesuai kapasitasnya.”
Waktu itu, aku masih tetap kukuh dengan pendirianku dalam rangka menentang kegiatan takbir keliling yang diadakan oleh pemuda setempat di daerah tempat tinggalku. Namun, kakak terus memberi pengertian secara halus.
“Dakwah itu harus disesuaikan dengan orang yang akan didakwahi. Kalau kamu langsung mengajak mereka ke pelajaran tingkat atas, tentu mereka kesulitan karena belum siap. Takbir keliling itu sudah bagus. Minimal mereka mengingat Allah dalam kesempatan itu. Tidak masalah kalau acara itu masih belum sepenuhnya ideal menurut pandangan Islam. Yang penting ada tujuan untuk mengarah ke sana sedikit demi sedikit. Kalau kamu menentang acara tersebut, lalu kamu menghindar dan tidak mau tahu tentang acara tersebut, lantas siapa yang akan mengarahkan mereka, siapa yang membenahi acara yang menurutmu kurang Islami tersebut? Kalau kamu peduli, tentu kamu tidak akan menentang mereka. Tapi, mengarahkan mereka dengan mengajak mereka mengemas acara menjadi lebih baik seperti yang menurut pandanganmu lebih Islami itu”.
Penjelasan kakak itu membuatku berubah prinsip secara perlahan, hingga akhirnya aku bisa menerima dan bersedia membaur dengan acara-acara yang semula kuhindari tersebut. Hingga saat ini, ketika ada acara yang tidak ada unsur Islami sekalipun kuusahakan untuk hadir, sebagai bahan latihan untuk menghadapi tantangan zaman dan tantangan sosial yang dinamis ini.
Tadi malam, bersama Istriku, melihat acara lomba drumblek yang diselenggarakan di Jagalan sambil diskusi. Mengamati para peserta lomba, penonton, perangkat keamanan, pengguna jalan dan lain-lain. Berusaha menyelami perasaan masing-masing individu yang bersangkutan.
Masyarakat Salatiga benar-benar mempunyai jiwa Nasionalisme yang tinggi. Kesungguhan menjaga budaya daerah juga sangat tinggi. Ini terlihat dari kecenderungan pemakaian pakaian adat pada acara-acara lomba, aktivitas harian, dan pada upacara keagamaan sekalipun.
Takbir keliling yang dimeriahkan drumblek tadi malam menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Salatiga masih mempercayai pemerintah Indonesia. Meskipun ada beberapa golongan yang merayakan hari raya pada Sabtu kemarin, namun sebagian besar masih memilih ikut pada ketetapan pemerintah. Alhamdulillah.