Sejahterakan Ta’mir untuk Kejayaan Islam

Pak Walidi | Ta'mir Musholla An-Nur

Siapa yang tidak kenal dengan istilah ta’mir? Setiap orang Indonesia yang beragama Islam hampir semuanya mengetahui apa dan siapa itu ta’mir dengan beragam persepsi dan asumsi. Sekarang mari kita tanyakan pada diri masing-masing. Ketika kata TA’MIR disebut, apa yang kita pikirkan terkait kata tersebut? Beragam jawaban akan bermunculan tentunya dengan latar belakang pengalaman dan kenyataan yang pernah ditemui masing-masing.

Sebagian masyarakat Indonesia masih kurang peduli dengan kontribusi ta’mir. Seringkali ta’mir menjadi bahan olokan bahkan terkadang dijadikan kambing hitam ketika musholla atau masjid yang diurusnya mendapat masalah. Misalnya masalah zakat Fitrah. Ketika masyarakat di lingkungan setempat sepakat menjadikan ta’mir sebagai amil zakat, tentunya mereka juga harus percaya mengenai cara pengumpulan dan pembagiannya. Siapa pun yang akan mendapat bagian (mustahik) zakat tentunya sudah dipertimbangkan oleh ta’mir. Namun, tidak selalu demikian. Orang-orang yang tak kebagian, terkadang malah tidak terima dan menyalahkan ta’mir dengan menganggapnya tidak adil. Jika yang tidak terima ini agak banyak dan sebagian di antara mereka memiliki pengaruh di masyarakat, maka ta’mir akan semakin terpojok. Di saat seperti ini, biasanya orang-orang yang awalnya pro dengan ta’mir akan mengaku sebaliknya. I don't know smile

Tanggung jawab seorang ta’mir tidaklah ringan. Ia harus mengurusi masalah terkait kelancaran ibadah yang dilakukan di mushola atau masjid yang menjadi tanggungannya. Mulai pagi, ia harus bangun lebih awal ia pun tak bisa pulang lebih cepat setelah ibadah dilakukan karena harus merapikan peralatan/perlengkapan ibadah yang digunakan para jama’ah. Ketika pembangunan musholla/masjid, ia yang paling menghabiskan waktu untuk memonitor pembangunan. Terkadang sampai urusan maisyah untuk keluarga terabaikan.

Satu contoh kegiatan ta’mir musholla yang bisa dijadikan bahan renungan. Seorang ta’mir Musholla An-Nur di daerah Klampeyan Salatiga, beliau mulai beraktivitas di musholla pada pukul 03.30 (khusus ramadhan) untuk membangunkan warga agar segera bangun sahur. Pukul 04.15  atau saat imsak, beliau mulai mengumandangkan sholawat tarhim. Bukan memainkan mp3 sholawat tarhim lalu ditinggal tidur. Tapi beliau membaca sendiri dengan lagu sebisanya. Setelah itu adzan subuh. Usai adzan subuh ketika jama’ah belum ada yang datang, beliau kembali mengingatkan melalui pujian/sholawatan. Beliau pun juga menjadi imam sholat ketika jamaah yang biasanya jadi imam tak hadir untuk sholat shubuh. Di waktu sholat yang lain pun sering seperti itu, beliau adzan, iqomah, dan menjadi imam sholat. Dan setiap setelah sholat, beliau akan merapikan peralatan sholat dan membersihkan kotoran-kotoran yang hadir karena aktivitas jamaah.

Orang-orang yang belum pernah menjadi ta’mir akan mengira kalau menjadi ta’mir itu pekerjaan ringan atau sepele. Hanya adzan, membersihkan halaman, lantai, menyalakan lampu dan lain sebagainya. Namun, mereka itu jika disuruh mencoba menjadi ta’mir selama 3 bulan saja belum tentu ada yang mau meskipun dijanjikan akan digaji sesuai pekerjaannya. Mereka pun juga akan keberatan jika diminta untuk mengumpulkan dana kemudian diberikan kepada ta’mir. Paling banyak malah menjelekkan ta’mir, “ta’mir mata duitan, gak ihlas, dll.”. namun, jika dimintai uang untuk membangun musholla atau masjid cukup gampang. Padahal! bangunan musholla atau masjid itu tak bisa merayu masyarakat untuk ikut sholat berjama’ah seperti yang dilakukan para ta’mir.

Leave a Reply