Sekolah Tawakal: 0-9 Weeks

Tespack positif? Senang? Bahagia? Pasti. Apatah lagi setelah penantian setahun lamanya dengan pertanyaan rempong yang mewarnai sehari-hari setelah menikah, “Sudah isi?”.

Tetapi tunggu, dua hari setelah tes, ada bercak darah di celana dalam. What its? Flek dengan darah kecoklatan seperti haid pada hari-hari terakhir. Kroscek sana-sini, jawaban lebih banyak yang mengkhawatirkan daripada yang membuat hati nyaman. Meluncur ke bidan, bidan tidak bisa memastikan, diberi rujukan ke spesialis obgyn. Hiks.

“Belum ada tanda-tanda kehidupan.” Tutur dokter spesialis obgyn ketika melihat layar USG.

Dag dig dug jedug. Kabar gembira tiga hari sebelumnya ternyata adalah awal dari perjalanan baru, sekolah tawakal. Dokter menyarankan agar kembali lagi dua minggu mendatang dengan memberikan secarik kertas resep obat yang harus ditebus di apotik.

Flek masih berlanjut hingga hari ke lima. Dua hari lagi lebaran Idul Fitri. Suami berencana mudik ke Bojonegoro, dan aku? Apa harus ditinggal sementara keadaan kacau balau. Akhirnya suami mengajak mudik, sepanjang perjalanan aku harus ngemil buah agar tidak muntah. Nggak puasa. EGP dilihat orang-orang di jalan raya. Heuuuu.

Lebaran Idul Fitri

Aku menikmati malam takbir dengan tubuh luar biasa…. muntah parah dan tulang pegal-pegal. Merepotkan keluarga. Malam takbir yang seharusnya diisi dengan temu kangen, aku malah merepotkan mereka untuk merawatku. Suami baru pergi ke mushola setelah aku tertidur lelap.

Pagi Idul Fitri, aku memaksakan diri agar terlihat sehat untuk sekedar silaturahim dengan saudara dan tetangga. Berjalan dengan membawa ransel berisi air minum, bekal buah-buahan dan tisu. Jarang berbicara karena ludah begitu encer, sedikit-dikit meludah. Sesekali pamit ke kamar mandi untuk muntah. Rewel ngajak pulang ketika tubuh rasanya tidak bisa dikompromi lagi. 🙂

Hari kedua lebaran kondisi semakin drop. Mual-muntah sepanjang hari. Tubuh lemas. Sensitif dengan bau bumbu dan beberapa masakan. Hari-hari lebaran diisi dengan tidur di kamar. Suami repot bolak-balik merawat dan menjumpai sanak saudara yang bertandang ke rumah. Jadilah lebaran kami lebih banyak diisi dengan ikhtiar agar aku kembali sehat.

Ketika tiba waktunya untuk kontrol ke spesialis obgyn, tubuhku masih sangat lemah untuk diajak pulang ke Salatiga. Aku merasa tak sanggup untuk menikmati perjalanan minimal 6 jam. Suami memutuskan untuk periksa ke bidan desa.

“Di test pack lagi aja ya, Mbak?” Ujar bu Bidan dengan raut wajah yang khawatir setelah melihat berat badanku turun 2 kg dan lingkar lenganku hanya 21 cm. Indikasi kurang gizi.
Aku mengangguk lemah. Mempersiapkan diri untuk test pack ulang.

“Ini dua garis. Masih positif…” suara bu Bidan menggantung, “tetapi garis yang satu samar. Indikasi kandungannya lemah. Harus hati-hati.”

Duhai, hari-hari yang penuh doa dan pengharapan. Membisikkan kehidupan yang dititipkan untuk kuat dan sehat. Menggantungkan diri sepenuhnya kepada Robbuna tentang kehidupan yang dititipkan dan mengabaikan suara-suara sumbang yang bertebaran.

Leave a Reply