Sepeda Baru

Kemarin, aku iseng lihat harga sepeda di marketplace FB. Ayi nyeletuk “modele gak iso ndelok duwit mandeg” katanya sambil tertawa. “Demi kesehatan gak apa-apa, lah” jawabku sambil nyengir. Dia pun mengusulkan kalau mau beli sepeda mending langsung lihat-lihat di toko sepeda. Singkat cerita aku menyetujui usulnya dan mengajaknya berangkat.

Sepeda merk United warna ungu bercampur pink ini adalah yang paling cocok berdasar fitur dan kualitas dibanding dengan 3 sepeda lain beda merk. Meskipun hanya memiliki satu jenis gear, harganya lebih mahal dibanding dengan 2 sepeda sejenis yang memiliki lebih dari satu gear (multi gear/multi speed).
Aku berembug dengan Ayi untuk memilih yang mana. Dia ragu dan malah bertanya balik padaku untuk memilih yang mana. Dari sisi finansial, agak kaget karena awalnya dia mengira harganya kisaran 1 jutaan ternyata dua kali lipatnya 😂. Ia juga bertanya mending beli yang ini atau yang bekas melihat harganya di luar ekspekstasinya.
“Uang 2 juta kalau digunakan untuk biaya perawatan kesehatan tentu sangat murah.” Jawabku. “Aku gak bisa servis sepeda. Kalau beli bekas nanti kalau butuh servis berkali-kali malah tekor seperti waktu beli sepeda motor” lanjutku. “Lagipula kalau sepeda ini awet paling tidak sampe setahun dan berguna untuk ngantar si K ke sekolah tentu jauh lebih bermanfaat daripada uang yang mengendap” tambahku.
Alasan utama beli sepeda sebenarnya lebih ke alasan untuk memaksa tubuh agar bergerak. Karena aku sudah kadung berprinsip ekonomis maka alasannya harus lebih dari satu dengan berpegang prinsip sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Jadi, aku berpikir selama ini antar jemput si K sekolah pakai sepeda motor. Kalau diganti menggunakan sepeda pancal tentu ada manfaat tambahan yang akan aku dapat yaitu kesehatan.
Singkat cerita aku memutuskan memilih sepeda warna ungu bercampur pink itu. Alasannya aku suka fiturnya dan Ayi suka warnanya. “Yakin gak apa-apa beli warna ini?” Tanya Ayi meyakinkan. “Aku ini sedang melawan anggapan publik bahwa warna ungu dan pink untuk wanita dan warna lain untuk pria. Aku tidak setuju dengan konsep seperti itu” jawabku. Mendengar jawabanku itu, dia tampak tersenyum. Sepertinya memang dari awal dia menginginkan sepeda itu namun terganjal karena berat di harga 😂.
Hari ini, si K sangat bersemangat ketika aku bilang akan kuantar ke sekolah menggunakan sepeda pancal. Dia berlari kegirangan untuk mempersiapkan diri.
Singkat cerita kami berangkat ke sekolah berboncengan naik sepeda. Aku sangat menikmatinya. Udaranya yang sejuk, pemandangan indah, dan jalanan yang lenggang menambah semangatku dalam mengayuh sepeda.
Tragedi terjadi saat tiba di jalanan menanjak dekat lapangan sepak bola setelah kantor kelurahan. Aku merasakan jantungku semakin berdetak semakin cepat dan nafasku memburu. Aku memelankan kayuhan untuk memberi kesempatan pada paru-paru bernafas dengan lega. Si k nyeletuk “kok lamaaa” katanya protes. Aku tidak menanggapinya karena fokus pada pernafasan.
Kedua kakiku terasa sangat lemas. Sepertinya suplai oksigen sudah sangat terbatas. Aku memaksakan terus mengayuh sepeda karena kurang sedikit lagi jalannya berganti menjadi turunan sampai ke sekolahnya si K. Mataku mulai berkunang-kunang di saat aku sudah sampai ke jalanan yang menurun. Aku mengambil nafas dalam-dalam sambil bersyukur.
Setibanya di sekolah, ternyata gerbangnya masih dikunci. Aku mengajak si K membeli minuman terlebih dulu. Ketika turun dari sepeda, aku merasakan kakiku sangat lemas sekali. Beberapa kali hampir jatuh karena mendadak seperti mati rasa. Aku butuh istirahat yang cukup untuk mengedarkan oksigen ke seluruh sistem. Aku duduk di depan warung sambil mengatur nafas dan minum sedikit air putih secara perlahan.
Aku harus memutuskan apakah tetap pulang dengan bersepeda atau minta dijemput mengingat kondisiku benar-benar lemas. Namun mendadak aku teringat kalau tidak memiliki paket data. 😂 Akhirnya aku memutuskan untuk pulang dengan bersepeda lagi. Toh jalan pulang lebih banyak turunannya.
Sesampainya di rumah, aku langsung mengirimkan sinyal SOS pada Ayi

Widi Utami

. Dia langsung paham apa yang harus dilakukan. Aku minta dibuatkan jus buah untuk mempercepat penyerapan nutrisi yang kubutuhkan. “Biasanya energi yang aku keluarkan sedikit demi sedikit. Lha ini langsung ambrol. Makanya wajar kalau tekor energi. Sedangkan pencernaanku belum bisa mengekstrak nutrisi dengan cepat. Kayaknya kalau jus buah bisa agak cepat diserapnya”.

===================================
Hari ini, aku menyadari seberapa jauh kemampuan fisikku dalam mengayuh sepeda. Tidak seperti dulu lagi karena belum terbiasa.
Dulu, saat sekolah Aliyah, aku berangkat ke sekolah bersepeda melintasi 3 desa dengan jalanan cenderung naik biasa saja. Saat ngambil sepeda untuk keperluan kuliah di tempatnya mbak

Umi Thoriq

di Krian malah kunaiki dari Krian (Sidoarjo) sampai Surabaya dan tidak ada masalah. Paling hanya capek saja. Ketika kuliah, aku bersepeda dari pondok Darul Arqom (belakang UIN Sunan Ampel Surabaya) sampai ke kampus Unesa Ketintang juga biasa saja.

Sekarang, aku harus berlatih lagi. Semoga semakin sehat dan produktif.

Leave a Reply