Ubudiyah | Halal Bi Halal Dalam Perspektif

Ubudiyah | Halal Bi Halal Dalam Perspektif
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (١٩٩)
jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)
عَنْ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ :أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu: bahwa Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “barangsiapa lebih suka untuk dibentangkan rizqinya, dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menyambung silaturrahmi”. (HR. Bukhori: 5527)
Ada sementara kalangan yang enggan menamakan dengan istilah Halal bi Halal, dikarenakan menurut mereka, istilah itu secara gramatikal bahasa Arab tidak benar. Bahkan ada sementara kalangan yang menentang kegiatan ini apabila isinya adalah kegiatan saling memaafkan. Alasannya; mengkhususkan maaf hanya pada Hari Raya Idul Fitri itu tidak dibenarkan secara syariat, bahkan ada yang lebih ekstrim menyebut kegiatan ini bid’ah, tidak ada di zaman Nabi.
Namun demikian, semua hampir sepakat bahkan menyadari bahwa tujuan Halal bi Halal adalah mengharmoniskan hubungan kekerabatan dan persaudaraan. Kegiatan ini juga bisa menjadi sarana yang efektif untuk menghemat waktu, tenaga bahkan biaya. Tulisan sederhana ini akan sedikit menelisik kembali esensi Halal bi Halal dalam berbagai perspektif.
Dalam kamus besar Indonesia, Halal bi Halal diartikan sebagai hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di suatu tempat oleh sekelompok orang. Menurut ensiklopedi Indonesia 1978, menyebutkan bahwa Halal bi Halal berasal dari bahasa Arab yang tidak berdasarkan gramatikalnya yang benar sebagai pengganti istilah silaturahim.
Sangat sulit untuk menentukan awal mula tradisi Halal bi halal ini digelar. Drs. H. Ibnu Jarir menulis bahwa sejarah dimulainya Halal bi Halal ada banyak versi. Menurut sumber yang dekat dengan keraton Surakarta, kegiatan ini mula-mula dugelar oleh KGPAA Mangkunegara I, yang mashur dipanggil Pangeran Sumbernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, fikiran, dan biaya, maka setelah sholat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Pada perkembangannya, kegiatan ini ditiru oleh ormas-ormas islam dengan nama Halal bi Halal. Kemudian ditiru juga oleh instansi-instansi tertentu. Kegiatan ini mulai ramai berkembang setelah pasca-kemerdekaan RI. Dan biasanya dilaksanakan tidak hanya pada tanggal 1 Syawal saja, melainkan dengan hari-hari berikutnya yang masih hangat dengan nuansa Idul Fitri.
Jika ditinjau secara etimologis bahasa Arab, hemat penulis, istilah Halal bi Halal tidaklah patut disalahkan. Meskipun istilah ini asli made in Indonesia dan tidak dikenal di dunia Arab, apalagi di dunia Islam lainnya, namu tidaklah meniscayakan istilah ini tidak benar secara Arabic.
Dalam ilmu bahasa Arab sering dijumpai teori izmar (sisipan spekulatif pada kalimat). Setidaknya ada dua cara agar istilah Halal bi Halal ini benar secara bahasa dengan pendekatan teori tersebut.
Pertama, Halal bi Halal menjadi: thalabu halal bi thariqin halal; mencari kehalalan dengan cara yang halal. Kedua, Halal yujza’u bi halal; kehalalan dibalas dengan kehalalan. Untuk yang kedua ini hampir sepadan dengan redaksi ayat Al-Qur’an saat berbicara hukum qishas:
أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ
“Bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi. (QS Al-Maidah 45).
Dalam redaksi ayat tersebut, mufassir biasanya memahaminya dengan teori izhmar, menjadi:
أَنَّ النَّفْسَ (تُقْتَلُ)  بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ (تُفْقَءُ) بِالْعَيْنِ…… الى اخر
Hanya bedanya Halal bi Halal berbicara dalam konteks positif, sedangkan redaksi ayat tersebut dalam konteks negatif. Bersambung…
Sumber: Buletin dakwah masjid At-Takhobar
Jalan Ketintang 154 Surabaya

Leave a Reply