Aku bukanlah orangtua yang baik untuk ukuran pengagum teori pop seputar parenting. Sederet buku tentang parenting hanya sebatas kukagumi belaka dan berlalu begitu saja. Nyatanya aku masih suka sewenang-wenang menerapkan aturan untuk anak.
Salah satu aturan itu adalah: dilarang pipis sembarangan. Sejak Kevin belum bisa pipis sendiri, dia memang biasa dilarikan ke WC setiap kali ketahuan mau pipis. Usaha ini bukannya tidak mendapat tantangan. Orang tuaku maupun mertua sudah terbiasa memipiskan anak atau cucu-cucunya (tatur/nyatur) di samping tempat tidur, depan rumah, atau tempat strategis lainnya. Walhasil, usaha kami sering dianggap menambah keruwetan belaka. Tapi kami tetap bergeming. “Lebih repot lagi kalau setiap mau sholat mandi atau mengguyur setengah badan dulu.”, pikirku waktu itu.
Saat Kevin bisa pipis sendiri seperti saat ini, aturan yang sudah kami tanamkan sejak dini itu telah mendarah daging dengannya. Budhe atau keluarga lainnya yang sedang mengajak Kevin dan saat itu sambat pengin pipis geleng-geleng kepala karena tidak mau disuruh pipis di depan rumah atau di mana saja selain di kamar mandi atau WC.
Saat terjadi gawat darurat. Misalnya saat traveling ke destinasi wisata yang tidak tersedia WC umum di situ, Kevin lebih memilih menahan pipis daripada disuruh pipis di selokan atau di tempat lainnya meskipun aku sudah mengijinkannya karena kasihan. Walhasil! Kami harus buru-buru nyari masjid atau pom bensin terdekat.
Seperti misalnya yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Setelah berhari-hari sibuk sepaneng mengurusi pekerjaan, aku merasa bersalah telah mengabaikan Kevin beberapa kali. Malam itu, aku pun memberinya kejutan dengan mengajaknya main ke pasar malam. Permainan pertama yang ia tuju adalah apolo. Setelah beberapa kali putaran, dia minta turun. Selanjutnya, dia merengek minta main pancing-pancingan ikan. Aku pun menurutinya. Baru sekitar 2 menit memegang alat pancing, tangan kiri Kevin memegangi tietiednya sambil menggeliat-menggeliat. Tandanya ia menahan pipis. Kami harus bergerak cepat untuk memintanya pipis dulu agar tidak ngompol di keramaian. Apesnya! Di lokasi pasar malam tidak ada WC yang disediakan dan dia tudak mau pipis di sembarang tempat meskipun aku mengijinkan. Walhasil kami melarikan diri secepatnya untuk mencari WC terdekat.
Untung saja aku sudah hafal daerah situ. Ibadah pipis itu pun akhirnya dilaksanakan di masjid terdekat kedua dari lokasi pasar malam. Masjid terdekat pertama sedang ramai pengajian. Daripada ribet ngurusi birokrasi parkir yang malah akan menghambat ritual pipis aku lebih memilih ke masjid terdekat kedua yang jaraknya tak lebih jauh dari jarak tempuh sai antara bukit Shaffa dan Marwah.