Aku adalah anak paling nakal dari empat bersaudara. Ketika aku masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyyah (MI), aku hampir tak pernah mengerjakan PR sendiri. Ibu dan mbak Umi Thoriq serta kakak pertamaku lah yang bahu-membahu mengerjakan PR itu. Seringkali, aku bangun kesiangan dan baru bilang kalau memiliki PR yang jumlahnya cukup banyak. Karena kedua kakakku sudah berangkat sekolah maka ibu lah yang mengerjakannya sambil menyiapkan sarapan, menyiapkan air untuk mandi, menyiapkan baju, serta memilihkan buku pelajaran hari itu.
Ketika memasuki tingkat SLTP, kenakalanku semakin menjadi. Aku sering bolos sekolah. Kalaupun tidak bolos sekolah, aku seringkali berangkat sekolah pukul 9. Kalau di buku absensi sudah dapat A maka akan aku tipp-ex dan kuganti dengan titik. Setelah puas bermain di sekolah biasanya aku pulang lagi. Jangan tanya masalah nilai ulangan atau semester. Sudah pasti banyak yang merah. Untungnya saja aku sekolah di luar negeri sehingga aturan tentang DO tidaklah ketat. Walhasil aku lulus SLTP dengan nilai 16 koma sekian dari 3 mata pelajaran yang diujikan saat itu. Itu pun hasil nyontek teman sebelah.
Di dalam urusan pendidikan agama, aku tak kalah nakalnya. Aku paling sulit disuruh pergi mengaji ke musholla tidak seperti kedua kakakku dan teman-teman sebayaku waktu itu. Ibuku sampai berkata “Sopo wae sing iso ngajak Bud ngaji tak bayar sak njaluke (siapa saja yang bisa mengajak Bud mengaji akan kubayar berapa pun yang diminta)”. Hal itu disampaikan saat teman-teman senior lulusan pondok yang biasa mengajar mengaji di musholla sedang main ke rumah. Meskipun tidak mewah, rumah orang tua dijadikan tempat berkumpul teman-teman sehabis mengaji di musholla. Hal itu disebabkan sumur peninggalan nenek yang terletak di depan rumah digunakan untuk bersuci mulai dari mandi, mencuci, atau wudlu oleh masyarakat sekitar. Ketika menunggu antrian itu lah mereka berkumpul di rumah. Saat itu, para tetangga memang belum memiliki sumur masing-masing.
Tidak hanya nakal dan bandel dalam urusan pendidikan. Aku orang yang sangat keras kepala. Jika minta sesuatu tidak dituruti maka aku akan mengamuk sekuat tenaga. Tikar, tanaman, batu pengganjal lagur (pondasi rumah terbuat dari kayu atau bambu), dan apa pun yang ada di sekitarku akan aku rusak.
Bayangkan! Betapa menderitanya ibu memiliki anak sepertiku saat itu. Hebatnya beliau tak pernah sekalipun mencubit, menjewer, apalagi sampai memukulku. Berkata kasar pun sangat dihindari. Kalaupun suaranya meninggi saat marah, itu wajar belaka. Manusiawi. Beliau selalu beralasan merasa kasihan kalau sampai main tangan kepada anak. Sudah begitu sayangnya padaku, dewasa ini, aku malah sering menyalahkan beliau, “gara-gara ibu terlalu memanjakanku malah membuatku tak bisa apa-apa”.
Titik balikku terjadi gara-gara hal sepele. Buku LKS bahasa Inggris saat sekolah di SLTP membuatku tertarik untuk membukanya kembali setelah 2 tahun berlalu lulus dari sana. Bermodal kamus yang sampul dan beberapa lembar halamannya hilang (kamus pinjam tetangga) itu aku berusaha memahami kalimat yang ada di dalamnya. Aku menuliskan arti kata yang tidak kupahami di bawah kata bahasa Inggris seperti memaknai kitab kuning dengan makna gandul. “Pay attention” adalah kata yang membuatku merasa butuh sekolah lagi. Kata itu sering muncul tapi jika dimaknai sesuai kamus kok jadi gak nyambung dengan kalimat. Pay artinya membayar sedangkan Attention artinya perhatian.
Aku merajuk pada ibu. Aku mengutarakan niatku ingin sekolah lagi. Wajar belaka kalau ibu meragukan niatku setelah melihat track recordku di dua jenjang sekolah sebelumnya. Tapi yang namanya ibu tetap saja tak bisa menolak keinginan anaknya. Beliau semacam berjudi dengan nasib dengan cara meminjam uang kepada salah satu kerabat yang memiliki usaha foto copy untuk mendaftarkanku sekolah. Selama 3 tahun menempuh pendidikan di SLTA, aku membuktiian kesungguhan tekadku untuk belajar dan selalu mendapat juara. Aku selalu mendapat peringkat antara 1 dan 2 dan maksimal 3 (seingatku cuma sekali dapat peringkat 3). Senyum ibu mulai mengembang meskipun hutangnya bertambah banyak untuk membiayai sekolahku.
Uforia menjangkitku setelah lulus dari SLTA. Apalagi aku diterima salah satu PTN bergengsi di Surabaya melalui jalur prestasi. Aku merasa hebat, pintar, dan sok yes (jawa: kemaki). Ibuku pun kena imbasnya lagi. Aku sering menyalahkan ini dan itu. Kalau beliau membantah maka aku akan berkata “apa gunanya aku disekolahkan kalau ibu gak mau diingatkan jika salah. Ilmuku tiada gunanya”. Aku sering mengulang-ulang kalimat itu jika merasa ada perlawanan.
Kini, aku sadar betapa luar biasanya ibuku dan betapa kurang ajarnya kelakuanku. Aku bersyukur tidak dicoret dari KK jauh-jauh hari kala puncak kenakalanku berkobar. Alu dicoret dari KK setelah dipaksa pindah Salatiga oleh keluarga baruku. Itu pun diiringi derai air mata ibuku.
Aku sering mengenang kenakalanku itu dengan ibu. Kami akan tertawa bersama mengingat masa lalu yang begitu suramnya. Ibu akan menceritakan perasaannya saat menghadapiku waktu itu. Aku akan menimpali “maka dari itu, kalau Kevin ngambek dan merajuk sehebat apa pun, aku akan senyum-senyum saja. Itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kenakalanku”. Tawa kami pun akan kembali meledak.
Saat jauh dari ibu seperti ini, satu jam telpon dengannya rasanya sangat kurang. Aku biasanya minta tambahan waktu kalau benar-benar lagi kangen.
Suatu hari, di dalam telpon panjang, aku bertanya pada ibu “Mak, alhamdulillah saiki uripku wis kepenak. Aku iso ngewangi nyekolahno adik. Iso bantu ngirimi mak’e nek butuh duwik. Aku pengen takok (Mak, alhamdulillah sekarang hidupku sudah enak. Aku bisa membantu sekolah adik. Bisa bantu mengirimi ibu saat butuh uang. Aku ingin bertanya)”.
“Takok opo? (tanya apa?)”, Tanya ibu santai.
“Sakjane mak’e kuwi kepingin aku dadi opo, to? Pengen aku dadi kyai, guru, pejabat, opo presiden ngono? (Sebetulnya ibu itu ingin aku jadi apa? Apakah ingin aku jadi kyai, guru, pejabat, atau presiden gitu?”. Mendengar pertanyaanku itu ibu malah tertawa.
“Aku gur pengin ndelok anak-anakku podo kepenak uripe, keturutan karepe, lancar usahane. Masio nang kono-kono podo sehat kabeh (Aku hanya ingin melihat anak-anakku hidup enak, tercapai keinginannya, lancar usahanya. Meskipun jauh di mata semoga selalu sehat semuanya)” jawab ibu setelah tawanya mereda.
“Aku serius, mak! Aku pengen berbakti. Aku ngeroso salahku akih karo mak’e. Gawe susah terus. Aku pengin nyenengno mak’e. Mangkane aku takon ben mak’e seneng sakjane pengen aku dadi opo? (Aku serius, bu. Aku ingin berbakti. Aku merasa salahku sangat banyak pada ibu. Aku ingin membahagiakan ibu. Oleh sebab itu, aku bertanya ibu ingin aku jadi apa biar bahagia)”. Jawabku sambil memelas dalam telpon.
“Aku saiki wis seneng. Kowe ora usah dadi opo-opo penting karepe keturutan, awake sehat, sholate sregep wis marai atiku ayem. Ndelok kowe saiki iso tangi esuk wes gawe aku seneng, kok (Aku sudah bahagia. Kamu gak usah jadi apa-apa yang penting keinginamu terkabul, sehat, dan sholatnya rajin sudah membuat hatiku tenteram, kok”. Jawab ibu dengan mantab.
Aku pun akhirnya tidak tahu profesi apa ya yang sekiranya bisa membuat ibu bahagia dan bangga sebagai penebus rasa bersalahku.
Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk ibu di sisa-sisa usia yang Allah berikan pada kami ini. Setiap bakda sholat, doa pertama yang kupanjatkan adalah untuk orang tua. Aku rela tidak memanjatkan doa yang lain asal doa satu itu tidak terlewatkan setiap habis sholat. Demi menebus rasa bersalahku. Apakah itu cukup? Entahlah.
Terimakasih, mak. I love you. Aku kangen tapi ora duwe sangu gawe mudik. 😭😭😭😭
Ckckck.. Mugi-mugi rejekinya banyak ya biar iso gawe mudik Bjn.