Aku seringkali merasa heran dengan perilaku wanita, terutama istriku sendiri. Setiap hari, aku bekerja di rumah dan selalu bertemu dengannya. Ketika ada waktu luang, aku sering mengajaknya keluar (jalan-jalan) meskipun hanya ke taman kota yang tak perlu mengeluarkan uang untuk jajan. Intinya, quality time itu selalu tersedia untuknya meskipun ya sekenanya saja. Tapi kok tetap saja ia sambat kalau sering merasa kangen padaku. Ciyee… ciyeee..
Dokumentasi jalan-jalan di sekitar Tuntang, kabupaten Semarang |
Malam hari, usai sholat isya, ritual sambat kangen itu sering dilakukannya. Padahal! Seharian itu, aku juga selalu di rumah dan berkali-kali bertemu dengannya. Tidak hanya bertemu melainkan juga mengobrol ringan atau main-main dengan si K bareng meskipun sebentar. Tapi kok tetap saja ia bilang kangen padaku. Sebetulnya isyarat apa to itu? Aku pun jadi bertanya-tanya sebetulnya sebanyak apa sih perhatian yang dibutuhkan wanita? Lha wong aku yang setiap hari di rumah saja membuatnya seperti itu lalu bagaimana dengan wanita yang ditinggal kerja suaminya di luar rumah atau bahkan sampai LDR-an sampai berbulan-bulan baru bisa ketemu? Sedalam apa perasaan kangennya itu?
Perilaku itu, sambat kangen itu, sebetulnya sering membuatku jengkel. Bagaimana tidak jengkel jika sedang dikejar deadline malah ia sambat kangen dan tidak mau ditinggal meskipun hanya di kamar sebelah saja. Aku merasa kok doi seperti kurang syukur saja. Dibandingkan dengan teman-teman yang sering berinteraksi di dunia nyata maupun dunia maya, sebetulnya kehidupan kami jelas terasa sangat ideal dan dan diidamkan banyak orang. Siapa sih yang gak suka kerja hanya duduk-duduk di rumah saja? Siapa sih yang gak pengen bisa libur kerja kapan saja? Siapa sih yang tidak ingin bisa jalan-jalan malah mendapat bayaran? Siapa sih yang tidak ingin foto selfie saja dibayar? Update status Facebook, Instagram, Twitter, nulis di blog dibayar? Siapa yang tidak ingin itu semua? Kehidupan kami seperti itu.
sumber: giphy |
Tapi bagaimana pun, meskipun jengkel, aku tidak pernah mengabaikan hal itu. Aku tetap memikirkan kok bisa fenomena seperti itu muncul. Aku pun kemudian membuka arsip-arsip pengetahuanku mengenai psikologi wanita yang dulu pernah kupelajari secara serius. Hasilnya membuatku dapat menyimpulkan bahwa pertemuan demi pertemuan yang terjadi setiap hari itu bukanlah pertemuan yang heart to heart. Hanya pertemuan formil saja seperti bertemunya rekan kerja yang satu dengan rekan kerja lainnya. Ketika bertemu ya bertanya sekadarnya atau ngobrol sekadarnya saja. membahas apa saja yang terlintas di kepala bukan apa yang dirasa dalam hati. Mungkin itulah penyebabnya meskipun setiap hari bertemu denganku tetapi ia masih merasa kesepian.
Aku mencoba melakukan kilas balik ke beberapa kejadian demi kejadian lampau yang bagiku sudah bisa menjadi pengerat hubungan dan penawar rindu seperti mengajaknya jalan-jalan atau sekedar makan di warung lesehan pinggir jalan. Kenapa hal itu tidak cukup baginya sebagaimana aku merasa cukup? Dari sini aku menarik kesimpulan seperti ini: Mungkin meskipun kita saat itu memang mengususkan waktu untuk jalan bareng akan tetapi kami memiliki urusan masing-masing dan fokus ke urusan masing-masing. Tanya jawab ya seputar urusan masing-masing dan karir masing-masing. Jarang sekali kok membahas menggunakan kata ganti kita tapi lebih cenderung ke kata ganti aku. Intinya saat itu adalah kita masih berupa dua entitas yang berbeda. Belum bisa membaur satu sama lain. kalaupun menggunakan kata ganti kami, itu pun demi ambisi masing-masing dan tidak ada kaitannya dengan perasaan antara satu dengan yang lain. Misalnya ambisi membangun A, B, C dan seterusnya.
sumber: giphy |
Perenungan lebih dalam membawaku berpikir bahwa ternyata frekuensi pertemuan itu tidak menjamin suatu hubungan yang harmonis. Komunikasi yang intensif juga tidak menjamin kebutuhan batin terpenuhi. Perlu adanya saling memahami kebutuhan masing-masing. Resep dan dosis yang diberikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan itu.
Jujur saja, aku belum bisa memetakan apa yang seharusnya dilakukan. Untuk itu lah aku menulis karena melalui tulisanlah komunikasi efektif bisa kami lakukan. Penyampaian ide, perasaan, dan beragam kebutuhan lainnya sangat efektif disampaikan melalui tulisan. Kecuali pembahasan urusan ranjang, saling sentil dan marah lewat tulisan terasa sangat menyenangkan. Apa karena kami terbiasa berkomunikasi lewat tulisan sehingga meskipun dekat terasa seperti berjauhan? Allahu a’lam.