Begadang semalam suntuk untuk menyusun tugas hingga membuat mata kriyip-kriyip, nafsu makan semakin tinggi, nyandu kopi, hingga mandi ala bebek agar kuliah tak terlambat?
Sering. Untungnya, kausalitas banyak tugas nggak doyan makan tidak berlaku untukku. (Tapi kok nggak gemuk-gemuk?) :v
Lalu, bagaimana jika tiba-tiba teman sekelompok mengabari bahwa makalah sudah selesai, padahal kita tidak berperan sama sekali?
Aku terkejut. Campur aduk. Senang karena teman sekelompok begitu rajin. Lega karena tak usah begadang. Tenang karena tak usah rebutan lepingu dengan suami. Sekaligus kebat-kebit, bagaimana jika makalahnya amburadul?
Wednesday come.
Ketika presentasi tiba, menit ke lima baik-baik saja.
Menit ke sepuluh saat bagianku untuk mempresentasikan, aku membaca dengan tersendat-sendat, menyadari sesuatu yang ganjil. Sembari membaca, aku menelisik lebih jauh. Mengingat-ingat apa yang ada di slide presentasi dengan yang ada di makalah. Slide presentasi dan makalah berbeda, tak menggambarkan isi makalah.
Deg!
Aku menahan degup jantung dengan mengetuk-ngetukkan bolpoin. Mencari pengalihan agar gugup tak terlalu kentara. Aku melewati dengan baik-baik saja, tetapi degup jantung tak kunjung mereda, malah semakin berpacu cepat.
Pertanyaan-pertanyaan mengalir. Aku memilih diam. Diam dan memperhatikan. Diam dan berfikir untuk mencari kalimat terbaik untuk meralat isi makalah. Diam. Hingga teman-teman mendesakku untuk segera berbicara.
Aku menarik nafas dalam-dalam, menuturkan dengan intonasi yang sangat pelan, “Maaf, di makalah kami kurang lengkap, seharusnya…. bla bla bla.”
“Di slide presentasi kami seharusnya diperjelas, begini, menemukan phi, menggunakan benang untuk menentukan keliling lingkaran, lalu… bla… bla…”
Aku mencoba meralat dengan menggunakan spidol di papan. Dan, hei! Siapa bilang presentasi bisa tuntas dengan slide power point belaka?
Tibalah giliran bu Dosen untuk mengkritisi isi makalah. Untungnya beliau terlalu baik. Beliau hanya menyuruh kami mengedit bagian-bagian tertentu yang mencurigakan, mencari referensi yang lebih baik, meminta kami untuk menjelaskan dengan kalimat yang lebih lugas, dan mengedit total isi kegiatan inti sesuai dengan pendekatan Discovery Learning yang kami gunakan.
Aku lega.
Setidaknya bu Dosen tidak langsung menghakimi di depanku, “Apakah ini copy paste?”
Jika itu yang beliau lakukan, habislah kami macam kepiting panggang.
Aku tertawa untuk melepaskan ketegangan ketika kuliah berakhir, menyikut teman sekelompok, “Lain kali kalau mau copy paste hati-hati, yang cerdas, dong!”
Ah, cukuplah ini yang pertama dan terakhir kalinya. Aku super kapok. Jera. Cukup tahu diri bagaimana susahnya menyusun makalah. Jika guru-guruku tahu soal ini, barangkali beliau sudah berduka lantaran aku tak menghargai ilmu.
Aku sudah cukup menahan malu saat kuliah tadi, tak perlu mengulang-ulang kembali. Malunya melebihi ketika aku ditanya dan tak bisa menjawab. Untuk kasus tak bisa menjawab suatu pertanyaan, cukuplah berujar, “Maaf, saya juga belum tahu. Barangkali nanti ibu Dosen bisa menjelaskan kepada kita dengan detail.”
Masih untung ini bukan sidang skripsi, atau seminar atau acara pubkik lainnya. Cukup ini. Cukup. Tak perlu mengulang, bahkan di media sosial sekali pun. Robbuna terlalu sayang kepadaku, rupanya. Memberi cubitan ketika aku belum terlalu jauh melangkah di jalur yang salah.
Mohon maaf untuk yang kami salahgunakan makalahnya.