Di lereng gunung Wilis, Panglima Besar Sudirman dan pasukannya terkepung serdadu Belanda. Hampir tak ada celah meloloskan diri. Panglima tiba-tiba mencabut cundrik, keris kecil pemberian seorang kiai di Pacitan, dan mengarahkannya ke langit. Tak berapa lama, awan hitam bergulung-gulung, petir dan angin menghantam-hantam. Hujan lebat pun turun dan membuyarkan kesolidan pengepungan Belanda. Pasukan Soedirman selamat.
Dalam waktu lain, Soedirman bersama pasukannya melewati Pacitan. Mereka kelaparan karena bekal habis dan tak menemukan makanan selama berhari-hari. Mau minta ke warga desa, mereka khawatir ada mata-mata Belanda. Saat istirahat, seorang penduduk menghampiri mereka dan minta air suwuk untuk kesembuhan istri lurah.
Sang generalissimo (panglima besar) mengambil air dari sumur, lalu meniupkan doa. Ajaib, istri lurah yang terbaring payah itu bisa bangun setelah minum. Pak lurah mempersilahkan mereka istirahat dan menjamu pasukan sepuasnya. Barulah setelah itu, Soedirman, yang selalu menyamar, memperkenalkan diri.
Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, putra bungsu jenderal besar itu, pernah mendengar sebuah kisah dari seorang santri Ponpes Krapyak, Yogyakarta, bahwa gurunya yang ikut gerilya bersama Soedirman, melihat sang jenderal yang dalam kondisi sakit masih sering berpuasa sunnah itu menjatuhkan pesawat Belanda dengan hanya meniupkan bubuk merica!
—
Disarikan dari Tempo, laporan khusus "Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir", edisi 12-18 Nopember 2012, hlm. 87.
Lahul fatihah
Sumber: https://www.facebook.com/avisaaurora.baldatina/posts/170212706488957