Aku tidak melarang si K main game. Malahan aku seringkali menemaninya main. Ketika dia sedang kesulitan menyelesaikan level game, biasanya dia akan minta bantuan padaku. Tak peduli aku sedang sibuk atau tidak.
Tujuanku masuk ke dalam dunianya adalah agar bisa menjadi kawannya yang diajak berbagi suka maupun duka. Cara ini kurasa lebih efektif untuk membatasinya main game daripada hanya melarangnya ini itu tanpa terlibat aktif mengikuti kegiatannya.
Membatasi si K main game berdasarkan durasi waktu dan memproteksi HP dengan Google Family malah membuatku berjarak dengannya. Karena apa? Pas lagi seru-serunya main game atau nonton malah waktunya habis. Menyuruh anak berhenti main game atau nonton (secara paksa) pas lagi seru-serunya akan dianggap sebagai pengganggu bukan? Namun, dengan cara berkawan seperti ini, aku akan menunggu dia sampai menyelesaikan satu video atau satu level sambil mengondisikan psikologinya sebelum memintanya berhenti. Aku akan memberi isyarat “satu level lagi, ya” atau “satu video lagi, ya”. Saat dia menganggukkan kepala, aku akan mendekat dan menemaninya main game atau nonton video sambil mengomentari. Tujuannya untuk mengondisikan dia menyelesaikan permainan atau nontonnya dengan perasaan puas dan senang. Bukan malah tertekan dan jengkel.
Aku membatasinya maksimal 3 game saja yang boleh diinstall di HPku. Hanya di HPku saja yang boleh diinstall game. HP ibunya tidak boleh digunakan untuk main game. Itu kesepakatan kami. Kami bertiga akan bergantian main game kalau waktunya memungkinkan. Tujuannya untuk meningkatkan bonding di antara kami.
Karena aku sudah dianggap kawan bermain, si K mudah saja menerima penolakanku. Misal ketika dia sudah bosan dengan game tertentu dan mau download game baru otomatis dia harus menghapus salah satu game yang telah terinstall. Aku cukup bilang “aku masih suka game yang ini. diteruskan dulu levelnya, ya?”. Sejauh ini, dia selalu memenuhi permintaanku. Di sisi lain, karena dia sudah bosan memainkan game yang sudah ada maka waktu main gamenya cenderung berkurang.
Meskipun si K cenderung menurut jika diminta untuk tidak mengganti game yang ada dengan game baru, aku tetap harus waspada untuk memantau psikologisnya. Jangan sampai aku dianggap sebagai toksik yang mengganggu kebahagiaannya. Untuk itu, terkadang aku yang mengusulkan ganti game saat dia mulai tampak jenuh sebelum dia memintanya. Hal ini aku lakukan untuk mengirimkan sinyal kalau aku masih jadi kawan yang asyik. Tidak terlalu melarang dan juga tidak terlalu membebaskan.
Aku menyadari bahwa orang dewasa saja membutuhkan hiburan. Entah dengan naik gunung, berjemur di pantai, main sepak bola, membaca, main sosmed, dan lain sebagainya. Apalagi anak kecil. Tentu saja porsi hiburannya yang dibutuhkan jauh lebih banyak.
Aku berusaha menjauhkan sejauh-jauhnya pikiran membandingkan zaman si K dengan zaman “biyen” waktu aku masih kecil. Saat masih belum “usum” HP. Biar apa? Biar aku tidak merasa zaman kecilku lebih baik karena permainannya lebih bervareatif dan menyehatkan karena banyak gerak. Membandingan “anak zaman now” dengan “anak zaman old” bukanlah ide yang bagus bagiku.
Aku percaya setiap zaman memiliki tantangan yang berbeda-beda. Biarkan anak-anak itu berkarya dan berinteraksi dengan cara yang sesuai zamannya. Bukan malah memaksanya hidup di alam kenangan yang akan membuatnya bisa saja malah ketinggalan zaman.