Nama : Lailatul Mufidah
NIM : A51209019
Dosen : Drs. Warsiman, M.Pd.
Tugas Bahasa Indonesia
Kisah Akhir Hayat Tiga Sahabat Dalam Doa Sang Guru
Dahulu di sebuah pondok terdapat tiga sekawan, yang mana mereka selalu bersama-sama dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Mereka adalah Ibnu Husairi, Abu Said, dan Syeh Abdul Qadir Al-jailani. Ibnu Husairi adalah orang yang paling pintar diantara kedua sahabatnya tadi, tetapi dia tidak mempunyai akhlak berilmu tapi tidak berakhlak, sedangkan Abu Said adalah orang yang mempunyai sedikit ilmu, dan akhlaknya pun juga sedikit, tetapi berbeda dengan seorang yang bernama Abdul Qodir al-Jailani, beliau mengerti dengan ilmu, beliau juga seorang yang mempunyai akhlakul karimah. Akhlak beliau inilah yang paling hebat diantara kedua sahabatnya tadi.
Pada suatu hari ketiga sekawan ini ingin merencanakan sesuatu, mereka ingin berkunjung atau sowan ke rumah gurunya, tetapi mereka mempunyai niat yang berbeda-beda. Ibnu husairi mempunyai niat akan menguji kemampuan gurunya, karena dia merasa paling pintar diantara kedua sahabatnya, niatan itu pun terbesit oleh Abu Said, tetapi Syeh Abdul Qodir tidak setuju dengan mereka berdua. Dikarenakan akhlak beliau yang menonjol, beliau tau mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang akan dilakukan dan mana yang tidak, kemudian Syeh Abdul Qodir berkata, “Aku tidak setuju dengan rencana kalian, karena itu tidak baik. Aku berencana kalau nanti aku sowan kepada guruku, aku ingin berjabat tangan dengan beliau, dan langkahku akan aku niati shodaqoh serta niat untuk mencari barokah tabarrukan kepada sang guru”.
Akhirnya mereka pun pergi ke rumah gurunya. Ketika mereka sampai di rumah sang guru, kejanggalan dialami oleh Ibnu Husairi. Sebelum ia mengetuk pintu rumah sang guru, badannya mulai gemetar seakan-akan ada aura yang membuat dia seperti itu sampai-sampai ia merasa akan pingsan. Mungkin dari niat awal yang sudah salah tadi yang membuatnya seperti itu. Tiba-tiba terdengar olehnya suara tanpa rupa, itu adalah suara sang guru. Suara itu berkata, “Hai Ibnu Husairi… niatmu sekarang tidaklah baik, maka lihatlah esok! Benar kau akan mempunyai banyak santri, kau juga pintar, tetapi kau akan mati dalam keadaan tidak membawa iman. Begitu juga denganmu Abu Said…kau akan mempunyai santri yang banyak, tetapi esok kau akan tertipu dan terpedaya oleh harta dan dunia”. Suara berseru lain kepada Syeh Abdul Qodir Al-jailani. “Hai kau Abdul Qodir…ingatlah! Esok kau akan menjadi orang yang alim dan banyak pula santrimu, ketika kau meninggal pun banyak orang muslim yang terus-menerus mendoakanmu”.
Selang beberapa tahun, apa yang diucapkan sang guru menjadi hal yang nyata bagi ketiga muridnya. Ibnu Husairi yang dulu merasa dirinya orang yang paling pintar, sangat sayang jika diakhir hayatnya ia mati di tempat sampah dengan lidah menjulur ke depan, hal semacam itu terjadi karena do’a sang guru. Dia tergila-gila oleh gadis cantik yang beragama Nasrani, kemudian ia murtad keluar dari agama islam. Begitupun dengan kehidupan Abu Said, hidupnya selalu merasa kekurangan harta karena ia selalu merasa rugi dalam masalah apapun. Akhirnya ia mengusir seluruh santrinya dikarenakan ia tidak mempunyai biaya untuk membangun pondok. Berbeda sekali dengan Syeh Abdul Qodir Al-jailani. Beliau menjadi orang yang alim, dan semenjak beliau wafat sampai sekarang pun orang muslim selalu mendoakan beliau dalam kisah manaqibnya. Itu semua karena kemuliaan akhlak beliau serta kebijaksanaannya.