Usai meeting maraton seharian penuh, tadi malam, aku mengajak Ayi ngobrol ringan untuk menurunkan tensi otakku. Aku membutuhkan hal itu untuk membuat tubuh dan otak sama-sama siap untuk diajak tidur. Bukan hanya tubuhnya saja yang tidur sedangkan otaknya masih berkelana bebas tak tentu arah sehingga menyebabkan ketindihan atau bahasa sononya disebut sleep paralysis.
Topik pembicaraannya adalah seputar pengorbanan. “Kita itu kadang tidak bisa membedakan mana kewajiban dan mana pengorbanan”. Kataku memulai pembicaraan.
“Misalnya aku setiap hari kerja berangkat pagi pulang malam. Setiap hari lembur. Terus aku bilang kalau semua itu adalah pengorbanan untuk keluarga. Itu gak benar. Wong kewajiban kok dianggap pengorbanan.” Kataku mulai serius. “Apakah kalau kita sholat setiap hari atau sebulan puasa ramadhan kemudian bisa mengatakan kalau itu merupakan pengorbanan kita pada Allah? Lambemu.” Lanjutku bercanda. Kami tertawa bersama.
“Apakah kamu merasa telah berkorban untuk ibu? Membelikan perlengkapan dapur atau hal lainnya itu kamu anggap sebagai pengorbanan? Kalau iya berarti kurang ajar banget.”
Anak yang memenuhi kebutuhan dasar orang tuanya bukanlah termasuk berbakti pada orang tua (birrul walidain) menurut habib Novel. Bukan pula termasuk pengorbanan. Itu merupakan kewajiban anak kepada orang tua. Apalagi kalau hanya sekedar membantu meringankan pekerjaan orang tua. “Sebisa mungkin kita jangan menganggap telah berkorban pada orang tua”, kataku.
Demikian pula perlakuan pada anak. Memenuhi kebutuhan dasar, membelikan mainan, mendidik, menyekolahkan, dan beragam pemenuhan kebutuhan anak seringkali juga dianggap sebagai pengorbanan orang tua pada anak. Sehingga jika kelak anaknya kurang peduli pada orang tua maka ‘pengorbanan’ itu akan diungkit-ungkit. “Tak rewangi nibo nangi gawe gedekno banjur saiki wis gede ora iling karo aku”.
Kepada saudara pun seringkali merasa telah berkorban. Contoh paling kecilnya adalah merasa selalu ngalah kalau ada konflik.
Ayi tanya. Untuk hal ini aturannya bagaimana. “Apakah berlaku yang waras ngalah?”
“Anggap saja semuanya waras”. Tidak perlu mencari mana yang lebih waras. Mengalah itu sendiri adalah aturan. Kita diatur agar mengalah kalau terjadi konflik”. Jawabku.
Suka mengalah (jawa: ngalahan) bukanlah sebuah pengorbanan melainkan bagian dari aturan yang ditetapkan. Baginda Nabi mengajarkan begitu. Bayangkan saja kalau aturannya dibalik menjadi semua orang harus menangan maka apa yang akan terjadi? Ya mungkin saja populasi manusia sudah tidak ada lagi di muka bumi ini.
Begitulah cara kami menikmati hidup. Ngobrol 2 jam lebih untuk membahas hal-hal ringan sudah membuat kami bahagia.