“Abah kok sakit. Meh mati to?” Tanya si K suatu hari ketika melihatku tiduran saja sepanjang hari.
Mendengar si K berkata seperti itu, ibu gelagapan dan berusaha menyuruh si K diam atau tidak membicarakan perihal kematianku lagi.
Aku tenang saja menjawab pertanyaan seputar kematian seperti itu dari si K. “Gpp to kalo aku mati. Kevin jangan sedih, ya. Yang nurut sama ibu. Jangan nakal” pesanku.
“Tapi kan aku takut di kamar sendirian” jawabnya sambil mengembik.
“Lha kan ada Hada. Nanti tambah besar bisa diajak main bareng to”
“Oh iyo…” Jawabnya kemudian tersenyum.
Aku dulu sebetulnya merasa diteror ketika si K bertanya tentang kematianku dengan bermacam-macam redaksi. Hampir setiap hari. Namun seiring berjalannya waktu, aku menjadi terbiasa.
Aku berusaha untuk tidak menyuruhnya diam saat membicarakan kematian. Sebaliknya aku berusaha mengelola hati agar tidak lagi takut mati.
Ketika si K bertanya seputar kematian seperti itu, aku berusaha memosisikan diri sebagai murid yang sedang ditempa hatinya oleh seorang mursyid.
Dulu, pikiran berkecamuk “kalau aku mati si K gimana, Hada gimana, Ayi gimana, dll..” namun setelah ditempa oleh pertanyaan kematian oleh si K bertubi-tubi Alhamdulillah menjadikan aku bisa lebih legowo membayangkan kematian datang kapan saja.
Alhamdulillah hampir 2 minggu Isoman tidak ada tamu anxiety sekalipun.