Belakangan ini banyak hal yang membuat resah. Wabah yang belum menemukan titik terang kapan usai dengan gelombang yang menerjang di segala lini kehidupan. Diperparah dengan prediksi, ramalan dan spekulasi yang bertebaran membuatku bertanya-tanya, sudah separah ini kah? Sampai kapan kemungkinan hidup di dunia?
Sudah sangat dekatkah titi mangsa kiamat?
Apakah Sabdo Palon nyata adanya? Semengerikan apa?
Rasa-rasanya, energi terkuras habis hanya untuk membaca prediksi, spekulasi dan… ratusan pendapat dari pakar scientist hingga pakar metafisika.
Lelah fisik sekaligus psikis. Produktifitas kerja menurun drastis. Emosi berantakan. Jangan tanya tentang optimisme, susah payah aku menggenggamnya, susah payah aku membangunnya satu persatu, begitu baca berita enggak enak langsung ambyar seketika. Sampai kapan, Rabb?
Se-hopeless itu kah? Rasa-rasanya bayang kematian sangat dekat. Malaikat maut seperti membayang-bayang pada setiap kota yang statusnya berubah menjadi warna merah.
Diam-diam aku menyimak kajian kapan pandemi ini akan berakhir. Dari yang teringan sampai yang terburuk. Apakah dengan membaca ini membuatku merasa lebih baik? Tidak… Justru semakin hari semakin resah, bangun tidur langsung teringat betapa dunia sedang kacau karena pandemi ini.
Resah. Khawatir. Ketakutan. Cemas. Melebur menjadi satu. Mencari pegangan, apakah ada satu berita yang bisa membuatku berpikir positive dan optimis? Sayangnya, keadaan dunia memang sedang tidak baik-baik saja.
Aku mengakuinya.
Saat urusan pekerjaan abah K sudah selesai dan beliau tidak lagi sibuk dengan kordinasi daring tim kantor, aku mendekatinya. Mengutarakan kekhawatiranku. Bercerita tentang berita, opini hingga ramalan yang kubaca dari media sosial dan berbagai portal berita.
Aku terkejut dengan reaksinya. Sepersekian detik, aku menyetujui ucapannya. Toh, apa yang terjadi esok hari atau beberapa menit ke depan saja kita tidak tahu sekalipun tidak ada pandemi Covid-19 ini kan?
Kami berbincang dengan ringan. Hatiku jauh lebih baik setelah mengutarakan kekhawatiranku. Ada hal-hal di luar sana yang kita tidak bisa mengaturnya. Kapan pandemi ini berakhir. Sikap orang-orang yang masa bodoh. Pandemi yang ditunggangi kepentingan politik. Saling serang opini tentang pandemi yang membuat masyarakat awam semakin kebingungan.
Namun, kita masih mempunyai hal-hal yang bisa kita genggam. Kecemasan yang bisa kita bentengi dengan tidak mengakses berita dan opini secara terus-menerus. Cukup mengakses berita sekedarnya untuk memperketat proteksi keluarga dengan prosedur yang dianjurkan oleh pihak terkait.
Juga… .
Memberikan yang terbaik untuk anak dan pasangan. Mencintai mereka dengan sepenuh hati yang kita bisa. Menghabiskan waktu bersama dengan kegiatan seru tanpa melanggar prosedur pencegahan wabah. Memasak masakan sehat pembangun imun yang kita bisa. Menyajikannya dengan penuh suka-cita dan doa-doa untuk kesehatan keluarga.
Mengisi waktu dengan ibadah terbaik. Menjadikan #dirumahaja sebagai sarana untuk merenungi diri betapa lemahnya kita sebagai hamba Tuhan. Betapa tidak berdayanya manusia di muka bumi. Menabung bekal untuk kehidupan yang kekal sebaik-baiknya.
Memupuk hubungan antar manusia dengan lebih baik dan tulus. Bertanya kabar. Saling bantu melawan covid-19 semampu kita. Mendoakan tenaga medis dan siapapun yang berjuang dalam pandemi ini.
Memang kita tidak tahu sampai kapan. Memang kita tidak tahu sepanjang apa perjalanan di dunia. Memang dunia ini sedang tidak baik-baik saja. Setidaknya, kita bisa memilih untuk berhenti mengkhawatirkan sampai kapan dan memilih untuk mengisi waktu dengan kegiatan terbaik.
Setidaknya, jika pandemi ini sudah berakhir, kita sudah punya bekal untuk kembali berjuang di jeda waktu #dirumahaja. Ilmu yang semakin bertambah. Bonding keluarga yang semakin menguat setelah bertahun-tahun disibukkan dengan urusan dunia. Ibadah yang semakin baik. Kualitas diri yang melesat.
Salam untuk kamu dimanapun berada. Semoga sehat walafiat sekeluarga. Salam hormat dan terimakasih untuk kamu dan keluarga yang berjuang saat pandemi ini berlangsung, semoga Tuhan Melindungi kita semua.
Sudah sangat dekatkah titi mangsa kiamat?
Apakah Sabdo Palon nyata adanya? Semengerikan apa?
Rasa-rasanya, energi terkuras habis hanya untuk membaca prediksi, spekulasi dan… ratusan pendapat dari pakar scientist hingga pakar metafisika.
Lelah fisik sekaligus psikis. Produktifitas kerja menurun drastis. Emosi berantakan. Jangan tanya tentang optimisme, susah payah aku menggenggamnya, susah payah aku membangunnya satu persatu, begitu baca berita enggak enak langsung ambyar seketika. Sampai kapan, Rabb?
Se-hopeless itu kah? Rasa-rasanya bayang kematian sangat dekat. Malaikat maut seperti membayang-bayang pada setiap kota yang statusnya berubah menjadi warna merah.
Diam-diam aku menyimak kajian kapan pandemi ini akan berakhir. Dari yang teringan sampai yang terburuk. Apakah dengan membaca ini membuatku merasa lebih baik? Tidak… Justru semakin hari semakin resah, bangun tidur langsung teringat betapa dunia sedang kacau karena pandemi ini.
Resah. Khawatir. Ketakutan. Cemas. Melebur menjadi satu. Mencari pegangan, apakah ada satu berita yang bisa membuatku berpikir positive dan optimis? Sayangnya, keadaan dunia memang sedang tidak baik-baik saja.
Aku mengakuinya.
Saat urusan pekerjaan abah K sudah selesai dan beliau tidak lagi sibuk dengan kordinasi daring tim kantor, aku mendekatinya. Mengutarakan kekhawatiranku. Bercerita tentang berita, opini hingga ramalan yang kubaca dari media sosial dan berbagai portal berita.
“Bukannya memang malaikat maut sedekat itu?”
Aku terkejut dengan reaksinya. Sepersekian detik, aku menyetujui ucapannya. Toh, apa yang terjadi esok hari atau beberapa menit ke depan saja kita tidak tahu sekalipun tidak ada pandemi Covid-19 ini kan?
Kami berbincang dengan ringan. Hatiku jauh lebih baik setelah mengutarakan kekhawatiranku. Ada hal-hal di luar sana yang kita tidak bisa mengaturnya. Kapan pandemi ini berakhir. Sikap orang-orang yang masa bodoh. Pandemi yang ditunggangi kepentingan politik. Saling serang opini tentang pandemi yang membuat masyarakat awam semakin kebingungan.
Namun, kita masih mempunyai hal-hal yang bisa kita genggam. Kecemasan yang bisa kita bentengi dengan tidak mengakses berita dan opini secara terus-menerus. Cukup mengakses berita sekedarnya untuk memperketat proteksi keluarga dengan prosedur yang dianjurkan oleh pihak terkait.
Juga… .
Menikmati waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya, meskipun kita tidak tahu kapan titi mangsa-nya.
Memberikan yang terbaik untuk anak dan pasangan. Mencintai mereka dengan sepenuh hati yang kita bisa. Menghabiskan waktu bersama dengan kegiatan seru tanpa melanggar prosedur pencegahan wabah. Memasak masakan sehat pembangun imun yang kita bisa. Menyajikannya dengan penuh suka-cita dan doa-doa untuk kesehatan keluarga.
Mengisi waktu dengan ibadah terbaik. Menjadikan #dirumahaja sebagai sarana untuk merenungi diri betapa lemahnya kita sebagai hamba Tuhan. Betapa tidak berdayanya manusia di muka bumi. Menabung bekal untuk kehidupan yang kekal sebaik-baiknya.
Memupuk hubungan antar manusia dengan lebih baik dan tulus. Bertanya kabar. Saling bantu melawan covid-19 semampu kita. Mendoakan tenaga medis dan siapapun yang berjuang dalam pandemi ini.
Memang kita tidak tahu sampai kapan. Memang kita tidak tahu sepanjang apa perjalanan di dunia. Memang dunia ini sedang tidak baik-baik saja. Setidaknya, kita bisa memilih untuk berhenti mengkhawatirkan sampai kapan dan memilih untuk mengisi waktu dengan kegiatan terbaik.
Setidaknya, jika pandemi ini sudah berakhir, kita sudah punya bekal untuk kembali berjuang di jeda waktu #dirumahaja. Ilmu yang semakin bertambah. Bonding keluarga yang semakin menguat setelah bertahun-tahun disibukkan dengan urusan dunia. Ibadah yang semakin baik. Kualitas diri yang melesat.
Salam untuk kamu dimanapun berada. Semoga sehat walafiat sekeluarga. Salam hormat dan terimakasih untuk kamu dan keluarga yang berjuang saat pandemi ini berlangsung, semoga Tuhan Melindungi kita semua.