Para pengelola industri hiburan seakan berlomba membuat audisi atau perlombaan yang mengarah pada ranah edukasi. Termasuk audisi da’i ataupun ustadz. Namun, audisi-audisi tersebut berhenti hanya pada sebatas hiburan, minim nilai edukasi, tidak bisa mengobati penyakit yang telah menjangkit bangsa ini, bangsa kita, bangsa Indonesia.
Jumlah da’i/ustadz semakin bertambah, namun angka kriminalitas juga terus bertambah. Hal ini menunjukkan bahwa audisi da’i tidak berpengaruh pada tatanan sosial. Ibarat orang sakit, suatu hiburan hanya akan menenangkan pikiran, ia tetap membutuhkan obat agar bisa segera sembuh dari penyakitnya.
Masyarakat Indonesia sangatlah beragam, sebagian dari mereka memang cenderung eskapis. Melihat tayangan tv bukanlah untuk menambah wawasan, namun hanya sekedar mencari hiburan. Mereka lah yang menjadi sasaran para pengelola Industri hiburan yang serakah untuk dijadikan konsumen dari produk sampah yang dibuatnya.
Audisi da’i lebih banyak mencetak da’i yang cenderung menghibur, bukan da’i yang bisa mengobati penyakit masyarakat. Karena, da’i dadakan tersebut sangat sedikit yang wawasan agamanya luas. banyak yang hanya membaca/memaknai Qur’an melalui terjemahan, memaknai hadits secara tekstual saja, menyikapi penyakit dan penyimpangan sosial hanya sebatas formalitas. Tidak ada tanggung jawab atau beban dari ucapan yang telah disampaikan, tidak ada tindak lanjut dari wacana-wacana yang disampaikan. Sehingga, wacana-wacana kebaikan yang diilustrasikan selama ceramah akan bubar dan buyar beberapa menit setelah ceramah selesai. Tidak membekas di dalam hati pendengar, apalagi sampai mengobati hati.
Semoga kemasan-kemasan audisi dai atau audisi lainnya lebih diperhatikan. Tidak hanya mengikuti top rating demi mendapat iklan yang melimpah.