Aku tidak mengerti mengapa hal sepele seperti itu bisa kupikir sangat mendalam. Mengapa aku jadi memikirkan urusan orang lain begitu dalamnya?
Ceritanya begini.
Aku memiliki seorang guru agama yang sangat kuhormati sejak kecil. Beliau mengajarku semenjak aku duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyyah dan berlanjut di Madrasah Tsanawiyah. Aku paling suka diajar pelajaran Fikih olehnya. Aku memanggil beliau dengan panggilan pak Mus. Istri beliau, bu Lis, mengajarku bahasa Indonesia. Cara mengajarnya asyik. Aku masih ingat saat disuruh maju untuk menyanyikan lagu kebangsaan dengan menggunakan ketukan tangan untuk menyesuaikan tempo lagu. Beliau berdua adalah guru yang sangat aku idolakan. Menjadi role model dalam kehidupanku.
Hubunganku dengan pak Mus tidak berhenti di bangku Tsanawi. Aku juga pernah diajar oleh beliau di kelas diniyah. Ketika bulan ramadhan, beliau juga mengajar kitab di musholla. Aku masih ingat saat meminta khusus pada beliau untuk mengaji risalatul mahidl di musholla untuk mengisi kegiatan bulan ramadhan. Saat itu, aku masih punya power untuk memaksa teman laki-laki ikut ngaji. “Semua wajib ikut”, kataku pada mereka.
Pengalaman yang paling membekas adalah ketika beliau mengkaji kitab Wasiyatul Musthofa. Banyak ilmu yang disampaikan saat itu masih kuamalkan sampai saat ini. Salah satunya adalah mencuci piring menggunakan air mengalir. Beliau beralasan bahwa makanan adalah sumber energi. Kalau sumber energi itu bercampur dengan perkara najis maka akan berdampak buruk pada tubuh secara fisik maupun rohani. Untuk itu, demi kehati-hatian, mencuci piring sebisa mungkin menggunakan air mengalir pada bilasan terakhir. Bagi orang kota yang terbiasa pakai wastafel mungkin hal seperti ini dianggap biasa dan sepele. Tetapi, bagi orang desa yang tak punya wastafel tentu saja repot. Air mengalir itu berarti dari siraman gayung. Satu tangan memegang gayung untuk menyiram, tangan lainnya membersihkan alat makan. Kecuali membuat padasan khusus untuk mencuci.
Aku menjadi sangat kagum dengan kefaqihan pak Mus setiap kali menjelaskan hukum-hukum fikih yang njlimet menjadi terkesan sederhana dan mudah dipahami. Sampai-sampai banyak hal yang diam-diam kutiru dari beliau.
Aku dengan Ayi bersepakat memberi nama anak kedua kami (jika lahir perempuan) seperti nama anaknya pak Mus. Niat tabarukan atau ngalap berkah.
Dulu, nama anak pertamaku itu tabarukan dengan prof. Khoirul Anwar S.E, ME.i. Seorang alumni ponpes Langitan yang hafal Qur’an menjadi dosen di Unesa dan beberapa perguruan tinggi lainnya di Surabaya dan Madura. Aku mengenal beliau saat ikut organisasi IPNU dan kemudian ikut ngaji kitab dan setoran hafalan Qur’an pada beliau di pondok yang dikelolanya.
Untuk anak kedua, jika lahir perempuan, aku ingin bertabarukan kepada dua orang yang kuhormati sekaligus. Pertama adalah pengelola Kelompok Belajar Qoryah Thoyyibah dan kedua adalah pak Mus itu. Aku ingin menggabungkan kedua nama anak beliau itu menjadi nama anakku.
Namun….
Beberapa minggu lalu, aku merasa kecewa. Bukan kecewa biasa. Melainkan sangat kecewa.
Ketika ternyata pak Mus mengadakan walimah besar-besaran untuk merayakan pernikahan putri pertamanya. Bukan pernikahannya itu yang membuatku kecewa. Bukan karena dia yang menjadi pilihannya sehingga membuatku merana. Bukan!
Aku kecewa karena pesta itu diadakan di tengah carut marutnya wabah corona. Di saat banyak masyarakat yang terkena dampak secara ekonomi, kesehatan, maupun mental. Di saat anak-anak sekolah belum boleh berkumpul untuk belajar di sekolah. Di saat sebagian besar santri belum boleh dijenguk keluarganya. Di saat para nakes harus terpisah oleh keluarganya karena tuntutan.
Aku tak habis pikir. Anak yang dinikahkan itu adalah seorang nakes. Tapi kenapa tega merayakan pesta di saat teman sejawat atau seprofesinya masih berjibaku menyelamatkan nyawa orang lain. Sedangkan suaminya itu adalah perangkat desa, Carik/Sekdes yang baru diangkat beberapa waktu yang lalu. “Pernihakan adalah hak segala bangsa. Demikian pula pestanya. Tapi hambok disesuaikan sikonnya”, gerutuku pada Ayi.
Tidak sedang musim pandemi saja, kehidupan orang desa sudah susah. Apalagi saat musim kemarau seperti ini. Tapi walau bagaimanapun, meskipun sebetulnya sangat gelo, aku tetap transfer untuk ibu biar tetap bisa ikut nyumbang. Kata ibu, dulu, pak Mus nyumbangnya saat ibu punya gawe agak lumayan jadi harus dikembalikan dengan agak lumayan juga.
Aku tidak menyaksikan sendiri kemegahan pesta pernikahan itu. Hanya melihat dari foto yang beredar di timelineku serta dari cerita ibuku yang penuh dengan ketakjuban itu. Untuk ukuran orang desa sudah sangat mewah.
Aku merasakan pilu sepilu-pilunya. Apa hal yang menjadi dasar pak Mus berani mengambil keputusan seperti itu? Ibarot mana yang digunakan? Aku ingin menanyakan hal ini langsung pada beliau. Tetapi, aku takut. Takut dianggap mencampuri urusan orang lain.
Semoga tak banyak yang membaca tulisan ini. Semoga aku segera sembuh dari kekecewaan ini dan dari penyakit lainnya. Amin.