Cukup Sampai di Sini

Aku tak menyangka kisah cintaku akan menjadi begini. Orang yang selama ini menjadi penyemangatku tiba-tiba menghilang begitu saja. Sudah beberapa hari, kedua nomor yang dimilikinya kuhubungi tak mendapat respon. Sesekali panggilanku bisa tersambung tapi tak pernah diangkat olehnya. Aku menjadi penasaran sebetulnya apa yang terjadi padanya.

Hari ini, aku pun segera meluncur untuk menemuinya. Sepulang kuliah, aku langsung menuju terminal untuk menumpang bus menuju ke kotanya. Sesampainya di sana, aku menemuinya yang kebetulan sedang berada di rumah bersama dua anak kecil.

Aku lihat matanya sembab, “kamu habis menangis?” tanyaku saat dia menyuguhkan minuman untukku. Dia tersenyum kecut sambil mempersilahkanku untuk menikmati suguhan yang disajikannya.
Selama aku berada di sana, dia tak banyak bicara. Malahan kulihat beberapa kali meneteskan air mata. Dua anak kecil yang sedari tadi bermain di ruang sebelah menghampiri kami. Salah satunya meminta uang. “Ini anakku” katanya singkat sesaat sebelum dia beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil uang.

“Yang itu juga?” tanyaku sambil menunjuk salah satu anak yang tampaknya usianya lebih muda. “Bukan. Itu anaknya mas. Lagi ditinggal pergi ke acara pondok” katanya sambil membuka tas yang diambil dari lemari tak jauh dari tempat kami duduk. Kulihat dia tampak energik dan ceria saat bergaul dengan kedua anak kecil itu. Namun ketika mereka pergi, dia mulai kehilangan senyumannya lagi dan kembali berwajah muram.

“Setiap orang punya kisahnya masing-masing, to?” tanyanya memecah keheningan. Setelah itu, dia menceritakan kisahnya yang selama ini tak pernah kuketahui. Ternyata dia adalah seorang janda yang memiliki satu anak. Dia dulu menikah karena dijodohkan orang tua saat masih bersekolah di tingkat SLTA.

“Aku sebetulnya tak mempermasalahkan semua itu. Aku akan menerimamu apa adanya. Tapi kenapa kamu malah menghindar dariku? Kenapa ditelpon tak diangkat? Kukirim WA tak dibalas? Apakah salah ketika aku mengetahunya malah dari orang lain?” tanyaku bertubi-tubi setelah dia menyelesaikan ceritanya.

Dia hanya menangis dan seakan tak mampu menjawab pertanyaanku. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya dan bagaimana perasaannya. Aku hanya bisa menduga-duga kalau dia terlalu merasa bersalah karena telah menutupi status dan kisahnya selama hampir kurang lebih setahun.
Di sisi lain, aku juga menerka-nerka ada hal lain yang terjadi. Selama ini, memang dia mengaku ada yang menentang kedekatan kami. Salah satunya adalah mas Adib yang anaknya main di sini tadi. “Apakah dia dipaksa dijodohkan dengan orang lain lagi?” batinku. Dia beberapa kali sempat cerita mau dikenalkan temannya mas Adib tapi menolak.

Lebih dari satu jam kami bersama tapi banyak pertanyaanku yang tak terjawab. Mungkin memang beginilah cara Allah mencegah dua insan manusia yang tidak sekufu saling mengikat diri dengan janji suci. Dia seorang hamilatul Qur’an dan terlahir dari keluarga ndalem pondok yang cukup besar di kotanya. Karirnya menjadi guru cukup cemerlang dan sedang menempuh magister pendidikan matematika di kampus favorit dengan beasiswa penuh dari pemerintah. Sedangkan aku hanya remah rengginang di dalam kaleng Kong Guan yang berada di sebelah pernak-penik jajanan hari raya.

Aku memutuskan untuk mengakhiri kisahnya sampai di sini. Aku bukan tipe orang yang suka menghindari masalah. Aku lebih suka membicarakannya untuk mencari jalan keluar bersama. Aku bukan tipe orang yang suka menghindari masalah. Aku lebih suka membicarakannya untuk mencari jalan keluar bersama.

Aku pun pulang dengan perasaan gundah gulana.

Leave a Reply