Disini senang, disana senang.
Dimana-mana hatiku senang. Syalalala…lalala.
Di kursi senang, lesehan senang
Dimana-mana hatiku senang.
Kerupuk sambal, hatiku riang
Makan apapun hatiku senang.
Siapa yang tidak kenal bait pertama tulisan ini? Lagu bernada riang yang selalu menemani hari-hari saat di bangku taman kanak-kanak. Lagu itulah yang menggambarkan keriangan adik-adik sore ini. Keriangan yang menular dengan cepat, membuat semua penghuni rumah mungil ini ikut tersenyum riang.
Mereka belajar, membawa buku kemana-mana. Menulis lesehan di lantai. Membaca sembari selonjoran di kursi. Berlarian kesana-kemari dengan tangan memegang pensil . Buku berserakan. Di bawah rak, di lantai kayu, di ruang tamu, di atas karpet… dan di kursi.
Ketika dek Tegar memulai untuk memakan kerupuk yang tersedia di meja raung tamu, adik-adik yang lain mengikuti. Apalagi setelah dek Tegar membawa saus sambal, semakin riuh. Ramai saling berebutan untuk mencolek kerupuk ke saus sambal. Menulis sembari ber-hah-huh lantaran kepedasan.
Tetapi semua itu tak lantas menghambat belajar. Kecepatan menulis tergolong cepat. Sampai-sampai aku kewalahan untuk membendung keinginan mereka untuk menulis, lagi dan lagi… Ketika tulisan huruf hijaiyah mereka salah, aku memintanya untuk mengulang kembali. Tak ada keluhan. Bahkan mereka tertawa riang sembari menghapus tulisan yang salah.
“Iki koyo gancu, gawe mikul bagor!” teriak Gullam yang disambut tertawaan adik-adik yang lain ketika melihat tulisan huruf lam milik Fajar. Ini seperti gancu yang digunakan untuk memikul karung, teriaknya.
Aku mengamati mereka dengan hati campur-aduk. Mereka seolah-olah berkata kepadaku, bahwa mereka tak butuh tempat mewah dan aturan seabreg hanya untuk belajar. Bahwa mereka bisa belajar dimanapun yang mereka mau tanpa mengganggu kegiatan belajarnya.
Dimana-mana hatiku senang.
Keriangan itu lenyap manakala mereka berpamitan pulang, menyisakan hati yang merindukan celotehan riangnya.
02 Oktober 2014