Medio 2012, ketika saya harus menjalani serangkaian pemeriksaan telinga di Bekasi, saya sama sekali tidak berani menggunakan moda transportasi kereta api seorang diri. Uni Eva, saudara yang tinggal di Bekasi, harus membersamai saya karena khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Informasi di stasiun tentang keberangkatan kereta, tujuan kereta, serta informasi lain yang berupa informasi suara menjadi alasan utama keluarga saya untuk tidak mengijinkan saya menggunakan fasilitas stasiun seorang diri.
Memang, saya yang seorang deaf, difable dengan ketunarunguan, nyaris harus didampingi ketika berurusan dengan layanan publik. Bandara, stasiun, kantor pemerintahan, bank, puskesmas, masih belum maksimal dalam menyediakan informasi visual.
Kesulitan dalam memanfaatkan layanan publik ternyata tidak hanya saya, penderita deaf, yang mengalami. Beberapa kali, sahabat-sahabat difable bercerita tentang kesulitan mereka tentang fasilitas publik hingga menyulitkan tekad mereka untuk mandiri dan berusaha seminimal mungkin merepotkan orang lain.
Seorang sahabat difabel dengan gangguan polio, sehingga harus beraktivitas dengan menggunakan kursi roda, mengeluh tentang tanjakan di Perpusda Kota Salatiga yang terlalu curam, padahal tanjakan tersebut disediakan sebagai akses masuk bagi pengguna kursi roda. Belum selesai kekhawatirannya tentang banyaknya energi yang terkuras untuk melewati akses khusus tersebut, sahabat saya kembali mengkhawatirkan letak koleksi buku yang berada di lantai 2, sementara tidak terdapat akses bagi pengguna kursi roda.
Beliau kembali menuturkan, betapa banyak rintangan yang harus ia tempuh semenjak keluar dari pintu rumah. Dari trotoar yang tidak ramah bagi pengguna kursi roda hingga ketiadaan angkutan umum yang siap memfasilitasi penumpang dengan kebutuhan khusus.
Pun dengan sahabat difable yang memiliki kebutuhan khusus lain, mereka juga mengalami kesulitan sehingga harus didampingi ketika memanfaatkan fasilitas publik.
Perhatian pemerintah terhadap akses penyandang difable telah termaktub dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PerMen PU) no 30 tahun 2006. Sayangnya, implementasi dalam pembangunan masih minim. Padahal, data dari WHO terdapat 15% kelompok difable hidup di Indonesia.
Maka, saya mewakili rekan-rekan difable, ingin menyampaikan kepada Balitbang PUPR agar kembali meninjau PerMen 30/ 2006 tersebut. Mencantumkan kemudahan akses difable ke dalam panduan pembangunan infrastruktur ke depan serta mengawasi secara serius proyek pengadaan fasilitas umum, sehingga tidak terjadi pembangunan yang hanya sekedar kepantasan belaka sebagaimana yang terjadi di Perpusda Kota Salatiga.
Balitbang PUPR hendaknya mendukung tercapainya infrastruktur ramah difable dengan memberdayakan arsitek yang peka dengan kebutuhan difable, memperketat pengawasan pengadaan infrastruktur terkait aksesbilitas difable sebagaimana ketatnya pengawasan terkait bahan penyusun infrastruktur.