Hujan selalu mengingatkan tentangnya. Pertemuan pertama yang berteman rintik hujan satu setengah tahun silam. Ketika aku menyanggupi permintaanya untuk menemani ke Solo, berteman payung bening. Perbincangan di sepanjang perjalanan, saat pertama kalinya aku jatuh cinta pada cara menghadapi keistimewaanku dengan senyum dan kesabarannya. Diam-diam aku berdoa, agar kelak jika ia menjadi bagian dari hidupku, caranya ini mengabadi dalam keseharian. Dalam canda-tawanya, dalam sayang-jengkelnya, dalam kesederhanaan cintanya, dalam kemarahannya…
Kenanganku semakin larut dalam rintik air hujan. Semenjak pertemuan pertama, hingga liku Lelaki November menjadi bagian hidupku, rintik hujan acapkali mengakrabi. Aroma tanah yang membaur dengan rintik hujan, memancing otakku untuk memutar memori tentangnya, tentang aku dan lelaki Novemberku.
Lelaki November yang membuat hatiku luluh dengan caranya agar aku mampu memahami ucapannya. Yang selalu mengingatkanku tentang aku dan Mahkota untuk Emak… Tak sekalipun ia membentak, apatah lagi marah lantaran aku tak mampu memahami ucapannya… Mencintai dengan caranya sendiri, meski acapkali aku mencandainya dengan definisi romantis ala fanspage yang berseliweran di beranda.
Lelaki yang kupercayakan kepadanya untuk menjadi ayah dari anak-anak… terimakasihku…
Selamat Menjejak Bilangan Baru, Abah…
Terimakasih atas segala hal…
atas senyum dan kesabaran saat aku sakit dan harus beristirahat dalam hitungan bulan…
atas kerelaanmu merawatku dan menyembunyikan segala lelah…
atas ‘diam’ yang menenangkan, dan perkataan yang menyejukkan, bahwa sekarang adalah bagian dari tirakat… yang mampu membuatku abai dengan dengungan di luar sana…
Selamat Bertambah Usia, Kakak…
Terimakasihku atas setiap kepingan Kenangan…