Menyesuaikan Frekuensi dengan Pasangan Butuh Waktu & Kesabaran

Aku dan Ayi bukanlah pasangan suami istri yang melalui proses pacaran. Waktu itu, kami saling mengenal beberapa saat, janji ketemu sekali setelah itu minta pendapat kiai dan orang tua ternyata malah disuruh segera menikah saja. Prosesnya hanya beberapa bulan saja. Karena bagiku hal itu prosesnya terlalu cepat, aku mengajak Ayi untuk menunda promil selama setahun pertama. “Kita promil setelah setahun menikah saja, lah. Biar gak dikira kreditan alias nyicil buat anak sebelum ijab-qabul sah dilakukan”.

Lha mau gimana lagi? Wong proses menuju pernikahannya itu sederhana banget tanpa melibatkan banyak pihak atau menggunakan adat yang berlaku di daerah kami masing-masing. Pokoknya kedua belah pihak sepakat ya sudah dinikahkan saja. Disamping itu, aku dan Ayi juga sama-sama masih belum lulus kuliah. Seperti buru-buru dinikahkan saja biar gak ketahuan kalau hamil hasil kreditan 😂.

Duo Sejoli dengan Segudang Perbedaan

Karena baru mengenal sebentar, tentu saja kami belum betul-betul saling mengenal karakter masing-masing. Namun di sini-lah ternyata asyiknya menikah dengan orang yang belum begitu dikenal. Banyak kejutan-kejutan yang asyik dan menarik. “Oh ternyata dia begini, to? Oh ternyata dia suka ini? Oh ternyata dia tidak menyukai ini, dll.”.

Aku semakin menyadari kalau kami memiliki banyak perbedaan setelah menikah. Mulai dari perbedaan selera masakan antara gaya Jawa Timuran utamanya Bojonegoro dengan Salatiga, pola tidur, bahasa, tongkrongan, bahkan sampai cara pandang terhadap masalah pun banyak perbedaan.

Salah satu perbedaan yang sering memicu perkelahian adalah aku tipikal orang yang cenderung suka investasi sedangkan ayi lebih cenderung suka saving atau menabung untuk menjaga rasa aman. Aku pernah memutuskan membantu investasi  modal usaha untuk jualan bakwan kawi, menambah modal usaha seseorang sampai belasan juta, membelikan kambing untuk usaha produktif. Itu yang kelihatan bentuk usahanya. Ada juga yang investasi tak berwujud benda (intangible) seperti beli domain, hosting, dan sederet tools untuk membangun aset digital lainnya yang juga sampai jutaan rupiah.

Di satu sisi, hidup kami sangat prihatin. Di sisi yang lain, aku jorjoran untuk investasi. Di sisi lainnya lagi Ayi ingin hidup nyaman dengan banyak menabung. Kami sering bertengkar karena investasi yang kulakukan tidak semuanya berhasil. Lebih banyak yang gagal malahan. 😂

Menyamakan Frekuensi

Aku sejak awal tidak ada niatan untuk mengubah Ayi menjadi sepertiku. Tidak! “Kalau kamu cuma manut-manut saja apa mauku apa bedanya aku nikah sama boneka atau robot?” Kataku. Aku lebih suka ada penolakan, perdebatan, konflik kecil-kecil. Karena dari situ, kami ternyata bisa belajar berkembang bareng.

Frekuensi bersama yang kami bangun bukan untuk melebur dua orang yang berbeda menjadi sama. Bukan. Frekuensi itu dibangun bertujuan untuk memudahkan usaha saling memahami batas masing-masing. Kami menyepakati ada titik sensitif masing-masing yang tidak boleh desentuh atau diganggu satu sama lain.

Contohnya begini. Aku memiliki titik sensitif ketika membantu keluargaku Bojonegoro lalu diungkit-ungkit atau dipermasalahkan. Itu akibatnya akan fatal. Oleh sebab itu, perihal membantu itu tidak perlu diungkit. Ayi juga memiliki titik sensitif sendiri yang harus aku hormati.

Kami juga sepakat di dalam rumah tangga ini jangan sampai ada salah satu pihak yang merasa menjadi orang yang paling berkorban atau menjadi pahlawan. Apapun yang terjadi jangan pernah mengungkit-ungkit kebaikan yang pernah dilakukan untuk menyerang saat sedang marah atau bertengkar. “Udah kubela-belain kerja dari pagi sampe malem, begini-begitu, blabla..blabla.. kamu malah begono” atau semacamnya yang lebih ekstrim.

Di samping itu, ada frekuensi-frekuensi lainnya yang kami bangun untuk memudahkan komunikasi. Kesalahan atau konflik yang tercipta di luar frekuensi itu adalah hal yang kami anggap wajar dan tidak akan menjadi masalah besar. Bahkan! Seringkali didiamkan saja akan luruh dengan sendirinya. Namun kalau ada pelanggaran frekuensi akibatnya bisa fatal. Itu yang menjadi dasar bagi kami pentingnya membangun frekuensi bersama.

Ngobrolin Hal Gak Penting itu Penting

Aku memiliki kebiasaan yang tidak semua pasangan suami istri memilikinya yaitu ngobrolin hal-hal receh yang kami lihat atau temui. Seringkali kami akan sampai memperdebatkan hal receh itu dengan argumen masing-masing dengan sekuat tenaga sampai-sampai orang yang kurang mengenal akan menganggap kami sedang bertengkar.

Misal terkait menaruh tempat sampah, panci, bahkan centelan baju kami obrolin. Biasanya Ayi lebih cenderung berargumen dari kaca estetika sedangkan aku lebih cenderung memilih ke efektif dan efisien tata letaknya. Saat ngobrol di teras lalu melihat orang lewat juga kadang dighibahi apa yang kurang, apa yang sebaiknya diperbaiki, apa yang bisa dipelajari, dll. Intinya ada saja hal-hal receh yang dibicarakan.

Kebiasaan ngobrol bareng ini membuat kami tidak hanya jago ngomong di luar tapi pelit omong sama pasangan. Karena sudah menjadi kebiasaan, rasanya ada yang kurang kalau tidak dilakukan. Berbeda kalau ngomong sama pasangan hanya dan hanya jika ada maunya saja. Kebiasaan komunikasi yang transaksional itu menurutku kurang menyenangkan.

Misalnya hanya ngomong kalau mau dibuatin kopi, makan, minta uang belanja, anaknya ada masalah, duit kurang, butuh nyumbang, butuh uang untuk bayar arisan, dll. Tandanya kurang ngobrol bareng pasangan biasanya adalah: momen ngobrol bersama meskipun kadang hanya lewat WA menjadi semacam kejadian yang luar biasa dan berusaha dipamerkan pada orang lain.

Menakar Kapasitas Diri itu Penting

Sadar terhadap kekurangan dan kelebihan masing-masing itu penting hanya saja terkadang proses menuju ke sini butuh usaha yang tidak mudah. Dulu, Ayi sering protes dan menganggapku otoriter karena pendapatnya pada suatu hal tidak dihargai.

Akhir-akhir ini, aku mencoba meminta konfirmasi ulang pada Ayi seandainya dia kubiarkan mengikuti pendapatnya dan aku tidak kekeh pada pendapatku kira-kira bagaimana? Dia mengaku bahwa pendapatku yang dipaksakan itu ternyata menguntungkannya. Dia tidak lagi menjadi katak dalam tempurung karena secara radikal kupaksa mengikuti pendapatku.

Aku merasa memiliki lebih banyak pengalaman dibanding Ayi. Disamping itu, aku memiliki kesempatan belajar lebih banyak dibanding dengannya karena memiliki pendengaran normal. Aku memiliki referensi kehidupan lebih banyak darinya melalui belajar khidmah sejak remaja.

Namun di sisi lain, aku menyadari kekuranganku dan secara terus terang aku meminta bantuan Ayi untuk menambalnya. Dia adalah pembelajar yang cepat. Setelah 10 tahun hidup bersama, dia menjadi orang yang pandai berideasi. Itu sebabnya di dalam organisasi atau lainnya sering kumintai pendapat pada suatu permasalahan.

Sebaliknya, Ayi juga sering meminta pendapatku pada suatu hal namun kalau aku merasa tidak memiliki pendapat ya aku jawab saja tidak punya pendapat. Misal ketika ada tawaran kerjasama yang aku ragu hukumnya biasanya kuminta tanya pada Ning Aub,  ndan Shidiq, atau orang alim lainnya yang aku rasa memiliki kompetensi di bidangnya.

Sabar Pada Proses

Kita atau mungkin aku sendiri sering terjebak pada keinginan mendapat hasil yang instan. Katakanlah ketika mendapati anak melakukan “kesalahan” cukup memarahinya dengan harapan anak yang awalnya dianggap “nakal” seketika bisa jadi baik karena takut dimarahi lagi. Kita seringkali lupa mengajari langkah-angkah menjadi anak baik menurut versi kita. Kita sering memaksa atau memarahi anak agar rajin belajar tapi lupa mengajari caranya belajar itu bagaimana.

Contohnya dalam konteks ini begini. Karakter istri yang sangunis secara tiba-tiba diminta jadi wanita “sholihah” yang hanya berada di rumah saja tanpa dikasih kesempatan untuk aktualisasi di luar ya mana betah. Pelan-pelan lah kalau mau mengajak orang berubah (aku sengaja tidak memakai diksi mengubah orang agar proses terkesan  dilakukan bersama). Berikan langkah-langkah menuju ke sana tanpa mengesampingkan haknya sebagai manusia. Sebaliknya kalau istri pemalu lalu tiba-tiba diminta aktif di luar melalui kerja atau aktivitas sosial ya akan keberatan.

Istri yang meminta suaminya berhenti merokok atau nongkrong di warung kopi  pun tidak bisa langsung begitu saja kalau tidak mau terjadi pertengkaran. Ada proses-proses yang harus dilalui bersama.

Apresiasi itu Penting

Aku bukanlah orang yang pandai memuji. Namun selama aku menjalani pernikahan ini, aku banyak belajar untuk mengapresiasi. Paling tidak memberi jempol saat menyantap masakan istri adalah bentuk apresiasi paling dasar. Memfoto masakannya lalu mengunggahnya menjadi story juga merupakan bagian dari apresiasi.

Aku memahami bahwa mengapresiasi itu tidak melulu harus dengan pujian. Misalnya mengucapkan terimakasih setelah ritual “kelon” dilakukan adalah bagian dari apresiasi, menggunakan atau memakan apa yang dipilihkan pasangan juga bisa menjadi  bentuk dari apresiasi.

Setiap orang tentu saja memiliki cara masing-masing untuk mengapresiasi. Entah secara verbal atau menggunakan tindakan nyata seperti memeluk, mencium, memberi kejutan, atau lainnya.

Memiliki Visi Bersama

Aku sering bilang bahwa pernikahan ini ibarat dua orang yang tidak saling mengenal tiba-tiba tanpa sengaja bertemu di tengah jalan. Setelah itu, mereka tahu kalau tujuannya sama ke suatu tempat. Mereka akhirnya sepakat untuk saling membantu selama perjalanan. Namun pada akhirnya nanti, ketika sudah sampai pada tujuan,  meskipun memiliki tujuan yang sama tapi urusannya yang berbeda dan di saat itu tidak bisa saling membantu lagi.

Misalnya kita ketemu dengan orang di jalan yang sama-sama akan mengurus paspor. Selama perjalanan, mungkin, kita bisa saling berbagi makanan, minuman, rokok, dan lain sebagainya. Namun ketika sampai di tempatnya, kita mungkin akan dilayani di loket yang berbeda sehingga tidak bisa saling membantu satu sama lain.

Kita menikah juga begitu. Selama masih bersama, kita bisa saling membantu satu sama lain. Saling memenuhi kebutuhan biologis, psikis, maupun lainnya. Namun pada saatnya nanti kita akan dimintai pertanggungjawaban masing-masing.

Lalu apa visi bersamanya? Apakah sekedar ingin punya rumah mewah dan memiliki tabungan banyak? Anak yang berhasil lulus di perguruan tinggi bonafit? Memiliki jabatan tinggi? Setiap orang tentu saja memiliki pandangan masing-masing.

Visi bersama ini berguna untuk mendamaikan pasangan saat bertengkar jika terjadi permasalahan. Coba lihat lagi deh apakah pertengkarannya itu sesuatu yang akan membuat visi bersama berantakan? Kalau tidak ya terusin aja bertengkarnya sampai puas. Toh nanti bakal baikan lagi kalau sudah waktunya 😂. Tapi kalau berantemnya dirasa akan membahayakan visi perlu segera distop. Bahaya kalau dilanjutkan.


By the way! Ini adalah artikel versiku dalam merefleksikan pernikahan selama 10 tahun. Kalau ada sanggahan atau pendapat lain dari Ayi ya biarkan ditulis sendiri. Kalau doi mau minta merevisi bagian tertentu ya harus bayar secara profesional. 🤑

Istilah menyamakan frekuensi di sini mungkin bisa diganti dengan padanan kata semisal membangun kesepemahaman, menemukan titik temu, menyelaraskan hati dan pikiran, menyamakan persepsi, dll. Aku sengaja memilih diksi menyamakan frekuensi.

جاكرتا، ١٩ مايو ٢٠٢٥
ترب الاقدام
احمد بدير
Petunjuk Sitasi
Budairi, Ahmad. (2025). Menyesuaikan Frekuensi dengan Pasangan Butuh Waktu & Kesabaran. Blogger Sejoli. https://bloggersejoli.com/menyesuaikan-frekuensi-dengan-pasangan-butuh-waktu-kesabaran/ (diakses pada 22 July 2025 23:10)

Discover more from Blogger Sejoli

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading