Artikel ini aku tulis berdasarkan pengalamanku menggantikan peran orang tua memondokkan anak jauh di luar kota dengan dalih demi kebaikan si anak. Demi masa depan yang cerah untuknya.
Tujuh tahun yang lalu, aku menanyai adikku apakah dia mau mondok setelah lulus dari kelas 6 Madrasah Ibtidaiyyah (MI). Saat itu, dia hendak menjalani ujian nasional. Singkat cerita, dia memilih mondok sesuai provokasi arahan yang aku berikan. Pertentangan muncul justeru dari ibu yang tidak ingin terpisah jauh dari anaknya. Beliau mengatakan boleh mondok asal tempatnya yang dekat-dekat saja. Sedangkan aku bersikeras mempertahankan pondok pilihanku dengan alasan kualitas. Walhasil ibu luluh juga setelah lelah berdebat denganku.
Adikku adalah anak yang manja. Seingatku, sampai kelas 6 itu dia belum mau mencuci bajunya sendiri. Urusan makan pun harus dibujuk rayu sedemikian rupa agar tidak telat. Demikian pula halnya dengan bangun tidur. Andai saja bisa copot itu bibir punya emak, pasti sudah copot dari dulu-dulu karena sangking seringnya digunakan untuk ngomel saat membangunkan adikku. Padahal adikku itu perempuan, lo.
Ketika aku dan emak mengantarkan adik ke pondok untuk pertama kalinya, adik menangis sejadi-jadinya sambil memeluk emak sekuat tenaganya. Emak yang merasa kasihan lantas menanyainya “lha piye, nduk? ora sido mondok po piye? melok balik neh mumpung aku ijek nang kene? (gimana, nak? gak jadi mondok? ikut pulang lagi mumpung aku masih di sini)”. Jawaban adikku gemesi “ora, mak. Aku ra pengin balik. Tapi embuh luhku kok ndrodos dewe (tidak, bu. Aku tidak ingin balik tapi entahlah airmataku kok mengalir dengan sendirinya)”.
Dia semakin mempererat pelukannya pada ibu. Setelah dikondisikan dan dihibur agak lama, akhirnya dia mau melepaskan pelukannya. Sejak saat itu, dia akhirnya menjadi santri putri Al-Huda di Ngadirejo kota Kediri sampai lulus SMP di sana.
Setelah lulus dari Al-Huda, dia melanjutkan mondok di Mambaussholihin Gresik atau lebih dikenal dengan nama pondok Suci. Namun adikku tidak bertahan lama di sana, hanya sekitar dua bulan-an. Aku tidak tahu pasti apa penyebabnya ingin pindah. Setiap kali ditanyai alasan ingin pindah, jawabnya tidak jelas “pokoke kudu pindah ae, cak.”. Dia pun kemudian dipindahkan ke pondok Miftahul Huda, Purworejo, Padangan, kabupaten Bojonegoro. Dia di sana sampai lulus SMA.
Lulus dari Miftahul Huda, adikku kemudian mondok di Nur Al-Anwar, Parengan, Maduran, kabupaten Lamongan. Di sana dia langsung diterima pada kelas 3 tsanawi. Alhamdulillah sudah lulus awal sya’ban lalu. Kali ini dia full mondok. Tidak nyambi sekolah seperti sebelumnya. Awal syawal nanti, dia akan masuk kelas satu aliyah di sana.
Rasanya sudah cukup ndobosnya tentang adikku. Saatnya sekarang aku berkisah tentang pengalaman-pengalamanku yang mungkin saja bisa dijadikan pembelajaran orang lain dalam memondokkan anak, adik, atau sanak-saudaranya.
|
Si K belajar membaca hijaiyyah menggunakan metode An-Nahdliyah |
Pertama, tidak boleh asal milih pondok. Seringkali pemilihan pondok itu mengacu pada asal kelihatan mondok terjangkau atau asal bonafide tergantung kelas sosial masing-masing yang bersangkutan. Unsur apakah pondoknya cocok dengan karakter belajar anak diabaikan. Apalagi jika memiliki pandangan “semua pondok itu sama saja”. Padahal kenyataannya tidak demikian. Nyatanya adikku tidak betah di Suci dan betah di Miftahul Huda, to? Padahal sama-sama pondoknya, lo.
Kedua, dengarkan anak/adik bercerita. Dulu, aku sering berceramah ngalor ngidul untuk adik ketika telpon atau bertemu langsung dengannya. Intinya aku mendominasi pembicaraan sehingga tidak memberinya kesempatan bernafas menceritakan pengalamannya atau mencurahkan perasaannya. Sekarang aku sadar bahwa itu adalah kesalahan yang HQQ.
Menjadi pendengar yang baik untuk setiap kisah, keluh kesah, atau curhatannya akan membatu dia melenyapkan kejenuhan dan rindu akan kampung halaman. Memancing adik untuk bercerita mengenai kenakalan-kenakalan yang dilakukan tanpa menghakiminya akan membuatnya merasa memiliki teman untuk berbagi. Walhasil hal itu akan semakin membuat akrab. Dia di pondok sudah kenyang nasehat atau ceramah masak mau kita tambah-tambahi lagi? Tega banget.
Ketiga, beri kebebasan untuk menentukan pilihan. Dulu, waktu awal-awal mondok di Al-Huda, aku cenderung mengarahkan adik untuk mengikuti program hafalan Al-Qur’an. Sekarang hal itu tidak berlaku lagi. Aku memberikan dia kebebasan untuk memilih mana yang dikehendakinya. Mana yang ingin digarapnya dengan serius.
Ketika dia beberapa bulan yang lalu meminta izin untuk mengikuti
pildacil program hafalan Al-Qur’an di pondok Nur Al-Anwar, aku tidak buru-buru mengiyakan. Aku menyarankan dia untuk sholat istikhoroh terlebih dahulu. Walhasil dia bermimpi diberi sesuatu (aku lupa apa yang diberikan itu) bergambar terompah Rasulullah yang membuatnya menjadi yakin untuk mengikuti program hafalan Qur’an. Alhamdulillah.
Keempat, penuhi haknya sebelum dia minta. Adikku sering merasa tidak enak padaku. “Cak, aku wis ngentekno duwit akih. Cak Bud nek ra duwe duwit ngomong, ya. Aku mondoke wis gak popo (Cak, aku sudah banyak mengabiskan uang. Cak Bud kalau tidak punya uang bilang saja, ya. Aku mondoknya cukup sampai sini tidak apa-apa)” katanya. Setiap dia bilang begitu maka aku juga akan bilang rejeki sudah ada yang mengatur. Sekarang ini, kamu diposisikan pada makom tajrid sedangkan aku pada makom asbab ya dinikmati saja. Kalau kamu pengen pindah makom menjadi asbab karena tidak enak padaku berarti kamu tidak menyukuri qodlo/qodar Allah. Sebaliknya jika aku iri padamu yang dapat kiriman tanpa bekerja kemudian membuatku ingin pindah makom jadi tajrid juga tak bagus. Biasanya aku akan membahas Al-Hikam untuk menghiburnya kalau sudah pada titik ini. Untuk itu, setiap bulan, aku selalu berusaha transfer uang sebelum adik meminta atau memberi kabar kalau sudah krisis.
Kelima, ikut tirakat. Aku masih ingat nasehat yang disampaikan oleh kyai “wong sing mondokno anake mergo pengen anake pinter ngaji tapi ora gelem tirakat ora bakal hasil (orang yang memondokkan anak karena pengen anaknya pinter ngaji tapi gak mau tirakat maka tidak akan berhasil)”. Tirakat di situ tentu saja tidak melulu diartikan dengan puasa. Paling tidak ya menunjukkan keseriusan ketertarikan pada ilmu agama, lah.
Kyai pernah berkisah bahwa kyai Arwani Kudus bisa menjadi ulama kondang karena barokah ayah ibunya yang memperhatikan dan memulyakan santri-santri di lingkungannya. Seorang pedagang kitab melahirkan anak yang menjadi ulama’ ahli Qur’an merupakan anugerah yang luar biasa. Petuah dari kyai lainnya “nek kepingin duwe anak pinter ngaji yo sregepo ngaji (kalau ingin memiliki anak pinter ngaji ya rajin-rajinlah mengaji)”.
Orang tua tidak boleh lepas tangan merasa anaknya sudah ada yang mengurus kemudian mengabaikan kewajibannya untuk mendidik. Ketika anak dan gurunya berjibaku menjalani laku tirakat untuk transfer ilmu malah orang tuanya leha-leha di rumah main facebookan atau bergosip ria sungguh tak ada pantas-pantasnya sama sekali. Kalau tidak bisa mendidik anak sendiri ya perhatian orang yang mendidiknya, dekati keluarganya, hormati anak turunnya dengan harapan mendapat barokah dari mereka semua.
Keenam, bangun silaturruhiyah (ikatan batin) yang kuat. Kerinduan yang begitu mendalam antara anak dan orang tua yang terpisah oleh jarak karena mondok akan bisa teratasi manakala ikatan batin antara mereka cukup kuat. Ikatan batin ini bisa dibangun dengan cara yang bermacam-macam. Salah satunya dengan cara saling memanjatkan doa meminta hal itu (jawa: dungo dinungo).
Ketujuh, memberikan apresiasi. Anak yang berkenan mondok dan tak bisa menikmati kesenangan-kesenangan duniawi sebagaimana anak yang tidak mondok perlu diapresiasi. Caranya bisa bermacam-macam antara lain: melalui pujian-pujian, hadiah, kejutan, atau hal lainnya. Apresiasi ini akan membuatnya merasa diperhatikan, dihargai, dan dipedulikan. Dapat mempererat silaturruhiyah juga.
Kedelapan, tata niat baik-baik. Jangan memondokkan anak karena gengsi. Misal karena memiliki mantan tetangga yang menjadi saingan sehinggan memunculkan niat memondokkan anak agar bisa mengungguli saingannya itu. Anak dikorbankan untuk ambisi orang tua. Jangan pula memondokkan anak agar bisa tenang menikmati hidup. Merasa anaknya susah diatur akhirnya dipaksa untuk mondok juga kurang bagus kalau niatnya salah. Wis ta lah pokoke niat sing apik-apik tur dipadukan dengan niat anak yang bagus-bagus pula. Insya Allah barokah dan hasil. Itu menurutku, sih. Jika salah, mohon dikoreksi.
Demikian panduan dasar memondokkan anak untuk para orang tua yang belum memiliki pengalaman mondok dan memondokkan anak. Aku pernah bingung bagaimana caranya sowan kyai, lo. 🤣 Namun, seiring berjalannya waktu, sambil tanya-tanya pada adik bagaimana umumnya orang-orang sowan kyai akhirnya ngerti juga caranya. 😍
Like this:
Like Loading...