Dulu, aku sering melihat orang kerja di kantor itu hanya di TV. Banyak film atau sinetron yang menayangkan adegan sedang berangkat, pulang, atau sedang kerja di kantor. Membayangkan bisa kerja di kantoran yang mejanya disekat-sekat gitu kok rasanya sangat menyenangkan. Akan tetapi waktu itu ya hanya bisa membayangkan saja. Pengen kerja seperti itu tapi bagaimana menuju ke arah sana tidak tahu caranya 😂.
Daftar Isi
Aku Hanya Anak Kampung
Aku terlahir di sebuah kampung yang mayoritas penduduknya adalah petani. Kondisi ekonomi keluargaku waktu itu sangat memprihatikan. Aku bisa nonton film atau sinetron di TV itu karena numpang di rumah tetangga. Saat itu, di lingkungan tempat tinggalku, pemuda seangkatanku atau lebih senior yang mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi kurang dari 5 orang. Itupun kuliah swasta yg bisa ditinggal kerja semaunya. Beberapa diantaranya DO karena banyak alasan.
Seingatku, aku adalah generasi pertama dari lingkunganku yang kuliah di luar kota dan di salah satu PTN Favorit di Jawa Timur. Aku bisa kuliah karena mengikuti program Bidik Misi angkatan pertama yang diselenggarakan oleh pak M. Nuh saat pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat sebagai presiden.
Apakah berkat aku kuliah ini yang kemudian mengantarku menjadi pegawai kantoran di Jakarta? Bukan! Terlalu dini kalau langsung menyimpulkan seperti itu. Aku mendapat ilmu, pengetahuan, dan pengalaman saat kuliah yang menunjang pekerjaanku di Jakarta memang betul. Akan tetapi, aku kerja di Jakarta bukan karena menggunakan perangkat akademik secara langsung. Karena sejujurnya ijazahku masih ada di kampus karena belum ada waktu untuk mengambilnya 😁.
Membangun Startup
Jauh hari sebelum aku ngantor di Jakarta, aku membangun sebuah startup di Semarang bareng pak Suy. Proyek ini dimulai sejak tahun 2019 dan sampai saat ini masih berjalan.
Jatuh bangun mendirikan startup ini begitu kami rasakan. Bayangkan saja waktu kami menyelesaikan proses development aplikasi dan dinyatakan siap launching tanpa diduga virus Covid mewabah di Indonesia. Kami pun terseok-seok. Tim yang kami bangun berantakan karena beberapa ada yang tidak bisa melanjutkan komitmen dikarenakan situasinya memang sangat berat waktu itu. Kami bisa memahami keputusan mereka.
Beberapa orang yang kami percaya juga ada yang mengundurkan diri di saat kami sedang berjuang untuk tetap bertahan. Namun apa boleh buat mereka berhak mengambil keputusan masing-masing. Kami tidak bisa memaksa untuk tetap tinggal karena kami juga tidak bisa menjanjikan apa-apa untuk mereka. Hanya saya, pak Suy memiliki keyakinan bahwa suatu saatnya nanti kami akan menikmati masa panen.
Mengatur Nafas Perjuangan
Kita menggunakan multi strategi untuk mengatur nafas perjuangan agar bisa diperpanjang. Salah satunya adalah melalui pengerjaan proyek kecil-kecilan yang bisa dikerjakan tanpa menggangu proses kerja inernal.
Beberapa kali menangani proyek pendampingan Review di Inspektorat atau sekedar memberikan pelatihan. Intinya terus mencari cara agar startup ini masih terus bisa bernafas panjang.
Tibalah pada suatu hari pak Suy mendapat tawaran proyek menjadi seorang konsultan ahli (expertis) untuk menangani sebuah audit mega proyek migas. Proyek ini yang kemudian membuat kami mau tidak mau harus ngantor di Jakarta.
Gabung ke Jakarta
Aku dan pak Suy awalnya sepakat untuk membagi tugas. Tugasku adalah menjaga startup agar tetap jalan dan pak Suy bertugas memperpanjang nafas melalui proyek yang ditangani itu. Jadi mencari tambahan modal untuk membangun startup yang sedang dibangun itu.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, divisi IT yang membantu pak Suy di Jakarta performanya dirasa kurang padahal budget yang digelontorkan untuk mereka cukup banyak. Aku akhirnya ditarik ke Jakarta untuk membantu divisi IT ini. Waktu itu, kantor sekaligus tempat tinggal divisi IT di apartemen Casablanca Mansion.
Pak Suy berekspektasi proyek ini akan bisa ditampungkan beberapa bulan saja. Namun ternyata banyak penyesuaian-penyesuaian yang perlu dilakukan akhirnya sampai lebih dari setahun belum kelar juga.
Aku meminta pak Suy memangkas SDM divisi IT karena sebetulnya kerjaan mereka tidak begitu banyak dan sederhana. Sedangkan SDM yang direkrut saat itu hampir semuanya sudah bertarif expert. Di sisi lain, modal untuk menggaji mereka sudah minus cukup banyak.
Pindah Kantor
Setelah sewa apartemen habis setahun, kami kemudian pindah ke Gondangdia. Ada gedung bekas kantor partner kami yang ditawarkan untuk digunakan selama mengerjakan proyek ini. Di sinilah, pengalaman kerja di kantor seperti yang pernah kulihat di TV benar-benar terasa.

Aku tinggal di sebuah kos yang tak jauh dari kantor. Biasanya aku berangkat ke kantor dengan jalan kaki. Pulangnya juga jalan kami namun mengambil rute yang agak panjang yaitu mengelilingi gedung MNC Tower biar bisa sambil olahraga.
Proyek ini ternyata belum selesai juga sampai kontrak sewa kantor di Gondangdia itu juga habis. Setelah itu, tim yang kami miliki kerja secara on-call atau remote.
Akhirnya Close-out
Setelah terlibat aktif mengerjakan proyek ini hampir 2 tahun, akhirnya hari ini dinyatakan close-out atau selesai. Tadi pagi, kami meeting terakhir untuk mengkonfirmasi beberapa data yang sebelumnya dianggap ada perbedaan. Setelah semuanya dianggap sesuai dan valid maka pihak klien menyatakan proyek ini siap untuk close-out dan invoice pencairan bisa segera diajukan.
Benar-benar pengalaman yang luar biasa selama mengikuti proyek ini. Disamping menambah pengalaman kerja di kantor yang berada di dalam tower-tower atau gedung tinggi di Jakarta, aku juga bisa melihat dengan sendiri betapa konflik kepentingan terasa begitu kuat di sini.
Pak Suy memberi sinyal bahwa proyek selanjutnya akan dikerjakan di kantor yang berbeda lagi. Salah satu yang disebut adalah di UI Depok. Akankah kita akan bergeser ke sana? Lihat saja nanti 😉