Suatu ketika, aku pernah janjian ketemu dengan seseorang. Itu adalah kali pertamanya rencana kami bertemu. Aku belum tahu bagaimana orangnya dan seperti apa perangainya. Hanya saja, aku yakin kalau dia adalah orang yang baik. Setelah bersepakat bertemu di suatu tempat, aku pun berangkat ke sana sesuai waktu yang ditentukan. Seperti biasanya, untuk membunuh rasa bosan itu, aku selalu mencari warung kopi. Ketemulah warung kopi di seberang jalan dan langsung kuhampiri warung tersebut kemudian memesan minuman dingin yang tidak ada bahan kopinya sama sekali. Ya! warung kopi hanyalah jadi tempat pelarian untuk beragam masalah meskipun sebetulnya bukanlah kopi tujuannya ke situ. Sungguh malang nasibnya kopi kalau ketemu orang seperti diriku. hik..hik..
Hampir satu jam aku menunggu orang yang berjanji akan bertemu denganku di sekitar tempat itu. Rasanya batas kekuatan warung kopi untuk menahan rasa jenuh sudah habis. Aku pun membidikkan kamera ponselku ke beberapa spot paling bagus di sekitar tempat itu untuk membunuh kebosanan yang melakukan reinkarnasi. Beberapa menit kemudian orang yang aku tunggu datang menghampiriku. Ia datang bersama anak dan istrinya saat itu. Setelah basa-basi, dia dengan nada bercanda bilang “Ayo pindah ke tempat yang lebih memanusiakan manusia”. Aku dengan sedikit terkejut mengiyakan ajakannya. Setelah membayar, aku pun menghampirinya.
Foto ini diambil saat numpang ngeces HP di sebuah warung dekat alun-alun utara Yogyakarta. Hanya sebagai ilustrasi belaka. |
Mengenai urusan tempat nongkrong, aku jarang sekali mempermasalahkannya. Mengajak Widut dan si K di warung-warung pinggir jalan yang tampak kumuh pun biasa. Kalaupun ternyata akibat kekumuhan itu kemudian menghilangkan selera makan ya tidak jadi kumakan. Yang penting pikirku adalah niat infak terpenuhi. Melakukan akad bai’ itu adalah bagian dari infak makanya aku tidak pernah mempermasalahkan harga entah itu terlalu murah atau terlalu mahal. Menawar pun terkadang hanya kujadikan formalitas belaka. Bukan karena aku merasa kaya, bukan! Ini lebih ke urusan melatih hati untuk bisa menerima qodlo’ dan qodar dari Allah. “Semua itu hanya titipan”, pikirku. Kalau semua itu titipan dari Allah kemudian dibelanjakan sesuai jalan yang dibolehkan-Nya kan tidak masalah. Boros? Ah tidak juga bagiku. Boros itu kan kalau belanja melebihi kapasitas. Misalnya aku cuma punya uang Rp 5.000 kemudian masuk ke Cafe kelas elit dan pesan masakan paling favorit di sana. Kalau aku bawa uang Rp.50.000 kemudian mampir di warung pinggir jalan hanya habis Rp. 20.000 kan tidak boros meskipun ujung-ujungnya tidak jadi kumakan apa yang kubeli.
“Apa salahnya sih menjawab tidak bisa atau tidak tahu?”, kalimat itu yang sering aku tekankan pada diri sendiri. Selain dari kelas tempat nongkrong, gengsi juga terkadang muncul agar tidak terlihat bodoh sehingga berusaha menjawab atau mengomentari semua hal yang ditanyakan atau dijumpai pada timeline Facebook. Tulisanku yang berjudul Jadi Programmer Itu Berat, Biar Aku Saja sedikit menguraikan sisi kehidupanku yang sering dianggap serba tahu pada hal-hal yang sebetulnya aku tidak tahu. Disamping urusan itu, aku juga sering kali dianggap lebih tahu mengenai urusan agama. Aku berusaha realistis dan menyampaikan apa adanya. Kalau memang tidak tahu ya kukatakan tidak tahu kalau tahu ya kusampaikan sesuai apa yang aku pahami meskipun terasa menyakitkan. Maka dari itu, ada sebagian yang mengatakan kalau aku terlalu jujur. Tampaknya memang aku butuh kelas privat untuk berbohong atau berdiplomasi, sih. Buktinya dari 15 anak yang nyanggar di sini sekarang tinggal 2 saja. Lainnya sudah pada hijrah ke jalan yang benar.
Sumber: Giphy |
Aku sering merasa senang dihadapkan dengan beragam masalah. Salah satu contoh ketika aku memiliki konflik dengan seseorang kemudian membuatku merasa lebih benar dari dia maka hal itu membuatku senang. Ya! aku merasa memiliki kesempatan untuk mengukur seberapa tingkat kemampuanku dalam hal menundukkan gengsi. Kalau aku merasa benar kemudian sampai mengacuhkan orang tersebut bearti aku gagal akan tetapi kalau aku masih bisa ta’dzim apalagi sampai kuat ngalap berkah darinya maka aku berhasil. Jadi kesombongan yang ada itu bisa dikonversi menjadi alat yang sangat berharga nilainya bagiku.
Menghadapi orang-orang yang menentang apa yang kulakukan disini, misalnya tentang Sanggar Pelangi, tentang keputusanku pindah ke masjid, dan lain sebagainya yang kemudian memunculkan anggapan yang bukan-bukan, hal itu memang sangat menyenangkan bagiku. Banyak hal yang bisa kupelajari dari situ. Aku merasa memiliki banyak bahan untuk belajar menata hati dan pikiran. Belajar menghilangkan gengsi. Aku tidak malu untuk mengakui kalau aku kalah alim, kalah pintar, kalah kuasa, dan lain sebagainya. Paling tidak, aku tahu bagian diriku yang mana yang perlu diperbaiki. Kalau aku masih gengsi dan merasa berhak dan layak untuk dianggap ada dan berarti bagi masyarakat bearti itu tandanya aku gagal. Sudah sepantasnya seorang khodim yang sedang berhidmah tidak dihargai, bukan? Diabaikan adalah hal yang biasa. Banyak yang malu bertemu dan akrab denganku adalah hal yang wajar. Sekali lagi, di sini, aku niat untuk berkhidmah bukan berjuang. Jadi kalau aku diperlakukan layaknya gembel adalah hal yang normal belaka. Camkan itu, Dut.
Sumber: Giphy |