Aku sering melarang si K belajar pada saat-saat tertentu. Terutama saat dia sudah tampak sangat menggebu-gebu ingin menguasai sesuatu. “Kevin! Belajarnya udah dulu. Dilanjut besok lagi” kataku memberikan perintah.
Sebetulnya aku sangat suka melihatnya sangat gemar belajar. Hanya saja, aku berusaha untuk memenuhi sisi manusiawinya. Aku ingin dia tidak lupa untuk bermain, jajan, atau ngegame. Aku sering mengingatkan dia kalau sudah waktunya ngegame atau jajan. Waktu di sini bukan bearti fixed-hour atau ritual daily-based-activity melainkan dilihat dari situasi dan kondisi. Psikologis terutama.
Di sisi lain, aku menggembleng si K untuk belajar masalah rasa. “Kevin! Aku mau mengajarimu rasa kecewa” kataku pada suatu hari.”Kecewa itu apa?” tanyanya.
“Kecewa itu perasaan gak uenak yang dirasakan saat tidak jadi beli sepeda” kataku sambil tertawa. “Aku ingin mengajarimu mengelola rasa kecewa.” Lanjutku.
Beberapa kali, aku mengondisikan situasi agar si K kecewa kemudian menjelaskannya tentang perasaan itu. Mengajarinya apa yang sebaiknya dilakukan saat kecewa. “Boleh menangis, kok” kataku. Akan tetapi, dia malah tertawa terbahak-bahak.