Rasanya, baru kali ini, aku benar-benar merasakan libur. Liburan Natal kemarin, aku masih sibuk berkutat dengan serangkaian pekerjaan. Menyusun ini dan itu. Memperbaiki bug ini dan itu. Atau hal-hal remeh temeh seperti input data dummy untuk uji coba.
Ketika kuajukan pertanyaan pada Widut “mau liburan ke mana?” dijawab olehnya dengan gelengan kepala. Memang membingungkan. Dua hari libur jika digunakan untuk menempuh perjalanan ke destinasi wisata yang kami sukai malah cuma akan menambah stress belaka. Selain itu, liburan yang seharusnya bisa menambah stamina saat hari kerja telah tiba malah membuat loyo karena kecapean di jalan. Walhasil diputuskan untuk menyulap rumah menjadi destinasi wisata impian.
Aku sendiri menghabiskan waktu liburan salah satunya dengan memperbanyak membaca Al-Quran. Biar cepat khatam dan bisa pesta-pesta sebagai ungkapan rasa syukur diberi kekuatan menghatamkan Qur’an. Selain membaca Qur’an, aku mengisinya dengan menulis, memperbaiki bonding dengan Kevin dan Widut, dan lain sebagainya. Rasanya tak kalah menyenangkan dibanding liburan kami di pantai waktu itu.
Liburan kali ini kami maknai sebagai waktu untuk memanjakan diri sendiri. Widut bebas menikmati dunianya, begitu pula dengan si kecil, Kevin. Aku semacam jadi wasit untuk melerai keduanya jika salah satu dari mereka terlalu jauh mencampuri dunia masing-masing. “Ini hari libur. Biarkan semuanya berjalan begitu saja.”. Aku mewanti-wanti untuk mengurangi volume “perfeksionis” saat menjalani liburan. Nafs punya hak untuk dituruti agar tidak merasa bosan berlebihan sehingga tumbuh “jiwa pemberontak” padanya. Itulah gunanya hukum mubah diciptakan menurut sang Kyai.
Aku meyakini kalau liburan ke luar kota yang diniati untuk melupakan masalah tidaklah bagus. Benar saja masalah itu akan dilupakan saat bertamasya ria. Akan tetapi, masalah (entah itu berupa kesedihan, duka, kegagalan, dll.) akan kembali menyeruak saat kembali ke habitat asal. Jika sudah begitu, liburan yang seharusnya membawa semangat baru malah akan membuat serba tidak nyaman. Bayang-bayang liburan masih sangat jelas sedangkan realitasnya segudang pekerjaan sedang melotot di depan mata minta segera diselesaikan.
Kalaulah kita percaya bahwa tiada satu pun di dunia ini yang bisa menandingi surga lalu untuk apa kita mencarinya di luar sana? Bukankah kita dulu pernah berikrar akan menjadikan rumah sebagai surga (baitiy jannatiy)? Ataukah jangan-jangan itu hanya pemanis belaka yang diucapkan karena masih pengantin baru? Rumah itu tidak berubah menjadi neraka, bukan?
*pleidoi rakyat miskin gak kuat halan-halan 🤣🤣🤣