Artikel ini merupakan jawaban dari pertanyaan daily prompt yang dibuat oleh WordPress. Aku akan mengisinya tentang curhatan seputar kehidupan rumah tangga.
Daftar Isi
Aku pernah benar-benar merasa cemas ketika memikirkan masa depan ketika andaisaja aku ditakdirkan Allah mati terlebih dahulu daripada Ayi. Aku cemas bagaimana kehidupannya dengan anak-anak setelah kutinggal. Dengan siapa lagi dia akan berkeluh kesah. Padahal selama ini, dia selalu ingin dimanja, ditemani ngobrol, dan didengarkan curhatannya.
Aku mengalami kecemasan itu sampai berlarut-larut. Apalagi saat GERD parah dulu. Bayang-bayang kematian akibat anxiety selalu menghantui setiap saat. Benar-benar membuatku sedih dan tertekan.
Kilas Balik
Aku mengenal Ayi tanpa sengaja. Waktu itu, entah bagaimana ceritanya, aku mengenal mbah Nyutz seorang penulis buku dari Yogyakarta. Beliau suka membuat status lucu dan gojloki para jomblo di Facebook. Aku sering komentar di sana. Nah! Ayi ternyata juga suka mengomentari statusnya beliau. Akhirnya kami lama-lama saling kenal dan saling gojloki satu sama lain.
Mengetahui Kalau Ayi Tuna Rungu
Aku lupa bagaimana ceritanya kok bisa tahu kalau dia tuna rungu. Yang jelas, hal yang masih kuingat sampai sekarang adalah aku mulai dekat dengan Ayi waktu masih dipasrahi menjadi takmir musholla Syukro Maghfuro, Karah, Surabaya. Aku masih ingat hampir tiap malah WAnan menggunakan Nokia Asha 300.
Saat itu, aku penasaran ingin mengetahui kisahnya lebih lanjut akan tetapi lewat WA sangat terbatas. Akhirnya dia mengaku kalau pernah nulis buku yang membahas mengenai kehidupannya. Akhirnya aku dikirimi soft filenya.
Setelah membaca buku itu, aku merasa iba dan kasihan dengan kondisinya. Dari situlah tragedi percintaan dimulai.
Pertemuan Pertama
Saat itu, aku baru proses membuat skripsi. Tema yang mau kuangkat adalah dampak pemakaian pupuk kimia pada tanaman tebu terhadap pencemaran air tanah. Setelah konsultasi awal dengan pak Bambang selaku dosen Hidrologi, aku memutuskan mau menguji sampel kualitas kimiawi dan fisikawi air tanah di lab UNS Solo. Salah satu faktornya adalah karena pak Bambang ternyata juga mengajar di UNS.
Aku juga sudah konsultasi dengan pak Ketut selaku dosen kartografi yang sekaligus menjadi dosen penasehatku untuk memetakan kontur air tanah guna menentukan pengambilan sampel air. Intinya sudah mendapat lampu hijau. Oleh sebab itu, aku butuh memastikan budget untuk biaya uji lab terjangkau. Aku pun memutuskan pergi ke UNS untuk mencaritahu biaya uji air.
Aku memberitahu Ayi kalau mau ke Solo siapa tahu dia berkenan untuk sekalian ketemu. Ternyata dia mau. Dia menemaniku muter-muter di UNS untuk mencari gedung laboratorium sambil bercerita tentang kehidupan masing-masing. Setelah itu, kutraktir makan di terminal Tirtonadi. Sempat kufoto pakai Nokia Asha 300 tapi sayangnya sudah hilang.
Membangun Komitmen
Sepulang dari Solo, aku langsung bilang pada Ayi kalau memang dia cocok denganku langsung saja bilang pada orang tuanya dan minta pertimbangan guru ngajinya. Mumpung baru kenal kalau tidak direstui keduanya masih mudah untuk melupakan, alasanku.
Dia pun melakukannya dan hasil istikharah guru ngajinya ternyata hasilnya bagus. Malahan diminta untuk segera melangsungkan pernikahan. Kalian tahu siapa guru ngajinya? Yai Nasrudin Al-Hafidz yang sekarang menjadi rois syuriah ranting NU Noborejo.
Belajar dari Pengalaman
Kenapa aku langsung to the point? Karena aku sudah mengalami beberapa kali percobaan pernikahan yang gagal. 😂
Percobaan pertama dengan seorang mahasiswi akbid di poltekkes Majapahit Mojokerto. Kita jarang ketemu. Lebih banyak ngobrol lewat telpon menggunakan paket ngobrol mentari. Hampir tiap hari ngobrol berjam-jam via telpon membahas berbagai hal sambil menemaninya mengerjakan askeb. Eh la kok ndilalah akhir-akhir baru kutahu kalau ternyata bertepuk sebelah tangan 😂.
Namun aku bersyukur karena banyak telponan itu membuatku lancar berbicara. Sehingga ketika ada tugas presentasi aku tidak kehabisan ide. Karena sudah terbiasa mencari-cari topik pembicaraan saat telpon itu. Dulu, rasanya sampai hafal istilah-istilah medis di dunia perbidanan.
Percobaan Kedua dengan mahasiswi Bahasa & Sastra Arab UIN Sunan Ampel Surabaya. Keduanya saling suka menurutku. Hanya saja tidak mendapat restu dari orang tua doi. Ya sudah dengan terpaksa mundur alon-alon. Padahal… ya sudah lah. Gak jadi. Memang tidak jodoh 😂
Percobaan ketiga dengan mahasiswi magister matematika Universitas Negeri Malang. Dia seorang hafidzoh, anak pendiri pondok, menjadi guru teladan di Aliyah di pondok yang didirikan orang tuanya, suaranya sangat indah ketika menjadi vocal sholawat atau melantunkan tilawah qur’an. Wah pokoke ideal banget lah menurutku. Keduanya sama-sama suka menurutku. Hanya saja, dia tidak jujur dari awal kalau ternyata dia adalah janda yang memiliki satu anak. Setelah aku mengetahuinya, dia menjadi sulit dihubungi. Sekali bisa dihubungi selalu menangis. Ketika aku ke rumahnya pun tidak ada kata lain yang terucap selain maaf. Aku mengatakan padanya tidak mempermasalahkan statusnya tapi entahlah dia tidak bisa lagi kembali seperti sebelumnya. Akhirnya aku juga memutuskan untuk mundur alon-alon.
Dia yang sangat berjasa mengajariku bahasa jawa alus. Hampir setiap hari, dia akan menelepon. Dia selalu menggunakan bahasa jawa alus. Benar-benar halus khas pondok. Dari situ aku belajar banyak.
Awal Pernikahan
Menikah dengan Ayi penuh dengan lika-liku. Bayangkan saja, aku menikah di usia 24 tahun lebih 7 bulan. Posisinya saat itu masih kuliah di Unesa Surabaya. Ayi sendiri masih kuliah di IAIN Salatiga. Aku tidak memiliki pekerjaan tetap selain tidur dan tentu saja kelon. Nganten anyar, je! 😂
Kondisi seperti itu membuat kami merasa di titik terendah kehidupan. Aku yang mulai membangun karir sebagai programmer tidak mendapat dukungan dari keluarga. Mereka melihatnya aku tidak bekerja melainkan hanya makan-tidur di rumah saja. Ayi pun tak bisa apa-apa untuk membelaku nyatanya memang penghasilan dari programmer anyaran waktu itu jauh dari kata cukup.
Aku sungguh sangat salut dengan keteguhan hati Ayi mendampingiku di masa-masa sulit. Ya meskipun tetap saja hampir tiap hari bertengkar tapi dia tetap berusaha menjadi istri yang baik.
Menafsir Ulang Perjanjian Nikah
Aku mengajukan 3 syarat waku mau menikah dengan Ayi yaitu: 1) dia harus bersedia hidup miskin, 2) dia harus bersedia ikut aku ke mana saja, dan 3) dia harus bersedia untuk tidak menjadi PNS.
Ternyata dia sangat istiqomah menyanggupi persyaratan itu selama bertahun-tahun menikah. Dia tidak pernah protes meskipun sebetulnya dia punya peluang besar menjadi PNS melalui jalur difabel. Banyak tawaran diterimanya.
Melihat ketulusannya itu, akhirnya membuatku terharu. Walhasil aku memikirkan cara untuk memberikan hak mendapatkan eksistensi diri. Aku membantu dia membangun karir di bidang yang disukainya.
Kondisi Ayi Waktu Itu
Sebagai penyandang disabilitas dengar, Ayi seringkali tidak dilibatkan dalam urusan musyawarah keluarga. Hal itu membuatku merasa kalau Ayi masih dianggap seperti anak kecil yang belum bisa mengambil keputusan sendiri atau mencetuskan gagasan yang dapat dieksekusi orang dewasa. Banyak hal ini dan itu yang didikte. Dia hanya menjadi pesuruh dalam keluarga.
Di lingkungan masyarakat pun, Ayi jarang dilibatkan dalam perancangan event warga. Malahan, gangguan dengarnya masih sering menjadi bahan olok-olok. Ketika mengakses pelayanan publik, Ayi juga seringkali mendapat perlakuan diskriminatif. Bahkan saat membeli sayur di tukang sayur keliling pun Ayi mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan.
Aku yang tidak terima berambisi ingin mengajak Ayi untuk berproses menjadi orang yang memiliki integritas. Aku mulai keras mendidik Ayi dengan keras untuk mengubah banyak hal. Mulai cara berinteraksi, membangun support system, dan lain sebagainya.
Namun apa yang terjadi? Proses yang dilakukan Ayi kurasakan sangat lambat. Ketidakpercayaan diri yang sudah mendarah daging sangat menghambat hal ini. Bahkan untuk membuatnya menerima kondisi diri sendiri (self acceptance) membutuhkan waktu yang sangat lama. Padahal! Itu adalah modal dasar yang sangat dibutuhkan.
Aku sempat putus asa. Maka dari itu, ketika anxiety kambuh, hal yang paling membuatku cemas adalah membayangkan Ayi saat kutinggal mati terlebih dahulu. “Ketika masih ada aku yang menjadi support system pertama dan utama saja cobaannya begitu berat bagiku. Apalagi kalau aku tiada?” batinku waktu itu.
Mengatasi Kecemasan
Aku tersadar kalau apa yang aku pikirkan salah ketika mendengar ceramah gus Baha. Di situ, gus Baha’ ngendikan yang kurang lebih intinya begini. Orang paling mulia di muka bumi ini ditinggal wafat orang tuanya dan orang-orang terdekatnya saja malah jadi sayyidul Ambiya. Ora usah kecangkeman menganggap dunia ini hancur setelah kamu tinggal mati.
Dhawuh gus Baha itu membuatku sadar. Aku merasa bersalah selama ini dengan tidak sadar merasa menjadi Tuhan yang dapat menentukan nasib Ayi dan anak-anak.
Satu dhawuh gus Baha yang benar-benar membuatku terhenyak adalah: boleh jadi ketika kamu mati, istrimu dinikahi orang yang lebih kaya dan lebih gemati. Aku jadi benar-benar malu. Sejak saat itu, aku belajar berdamai dengan pikiran-pikiran yang membuatku cemas.
NU Menjadi Support System
Aku sangat bersyukur ketika Ayi bersedia kuajak belajar khidmah di NU. Di sini, dia banyak mendapat teman baru yang sangat peduli padanya. Bahkan untuk urusan sepele pun banyak yang mau membantunya.
Dari sini, aku semakin percaya kalau dhawuh gus Baha benar adanya. Masih banyak orang-orang yang jauh lebih baik dsriku. Lebih gemati dariku juga.
Aku kadang senyum-senyum sendiri kalau mengingat hal ini. Gusti Allah carane kok unik ketika memberikan pencerahan pada hamba-Nya.