Selepas dilantik sebagai Mendikbud, pak Muhadjir dibully habis-habisan karena pernyataannya tentang full day school. Publik ditarik ke dua kutub, pro dan kontra.
Pihak yang pro beralasan pergaulan anak-anak sekarang yang semakin mengkhawatirkan. Adanya full day school diharapkan bisa menjaga pergaulan anak, mendidik anak untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, mengembangkan bakat anak sedini mungkin. Bagi golongan pro, full day school laksana oase di tengah kekhawatiran minimnya waktu orang tua untuk mendampingi anak. Full Day School adalah solusi tentang segambreng permasalahan orang tua yang tidak memiliki waktu atau kemampuan cukup untuk membersamai anak.
Di sisi lain, pihak yang kontra menganggap bahwa full day school adalah penghalang sosialisasi anak dengan orang tua dan lingkungan, pun menjadi batu ganjalan tentang kegiatan sore anak, dari kesenian, ketrampilan hingga keagamaan. Kegiatan full day school dianggap melebihi batas karena memforsir anak hingga sore hari.
Tak sedikit yang saling menghujat, merasa dirinya paling benar. Aku pun, sempat menolak gagasan ini karena berkaca pada pengalaman pahit dua tahun yang lalu ketika mendampingi seorang adik yang tertekan dengan segambreng target di sekolahnya yang berkonsep full day school. Adik ini belum mampu memahami konsep perkalian paling sederhana, padahal dia sudah 3 bulan menjelang Ujian Akhir Sekolah dan berhasil membuatku merapal Hasbunallah Wa Ni’mal Wakiil saking gregetannya. Gimana nggak gregetan, wong kemampuan kognitifnya di bawah standar kok targetnya teteup menghafal juz 30. Hosh hosh, ngos-ngosan dia… Yang membuatku menegur orang tuanya adalah… Si Adik ini ternyata tidak niat sekolah di full day school sejak awal. Kalau begini, yang repot siapa? Orang tuanya, gurunya, kepala sekolahnya, dan… guru lesnya.
Di lain pihak, ketika aku berdiskusi dengan seorang sahabat yang anaknya saat SD sekolah di full day school dan saat SMP sekolah di sekolah umum, beliau bercerita betapa kentara perbedaan dalam diri anak, baik secara kualitas maupun kuantitas. Saat SD, anak sahabat ini mampu melampaui target hafalan juz 30, kesehariannya lebih tertata, disiplin serta kreatif, terbawa dengan aura lingkungan sekolah full day school. Setelah memasuki SMP, anak ini mengalami penurunan hafalan serta kedisiplinannya mengendor.
Hmmm, daripada terbawa arus gonjang-ganjing pro dan kontra, mending kita minta pendapat ahlinya saja. Psikolog salah satunya, apakah full day school baik untuk anak? Aku pun memanfaatkan momen Arisan Link, kebetulan yang menang adalah mbak Alifia Seftin Oktriwina, seorang (calon) psikolog yang tinggal di Padang, anggota termuda di grup kami, aktivis kampus yang punya kegiatan seabreg-abreg, plus pemilik blog http://alivia-awin.blogspot.co.id/.
Mbak Awin, begitu kami akrab memanggilnya, menyarankan agar menanyakan kepada anak sabelum orang tua memutuskan sekolah untuk anak. Bagaimanapun, kelak yang menjalani semua adalah anak. Lalu, jika anak memilih untuk sekolah di full day school bagaimana? Beritahu semua tentang sekolah kepada anak. Berikut yang perlu dijelaskan kepada anak:
- Kegiatan di Sekolah yang meliputi jam kegiatan, pelajaran, aktivitas sekolah. Sedetail mungkin, sehingga anak memiliki gambaran untuk mempersiapkan diri sebelum sekolah.
- Konsekuensi Sekolah Pilihan, jelaskan kepada anak, apa saja konsekuensi yang harus dijalani oleh anak ketika sekolah di sekolah tersebut. Misalnya, di sebuah SDIT Salatiga, anak ditargetkan hafal 3 juz selama menempuh pendidikan di sekolah tersebut.
- Keadaan Lingkungan Sekolah, ajak anak untuk mengobservasi sendiri lingkungan sekolah. Tanyakan padanya, apakah ia bisa enjoy jika keadaan lingkungan sekolah seperti itu.
Jika ketiga hal pokok tersebut dijawab dengan positif oleh anak, yuk, lanjutkan proses untuk sekolah di full day school dengan men-support penuh kegiatan anak. Jangan lupa untuk memperhatikan kemampuan kognitif anak, lhoh. Selalu diskusikan dengan orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Jangan menanyakan tentang cara menanam padi kepada orang yang profesinya sebagai programmer, salah-salah malah dikasih bahasa pemrograman untuk menjinakkan tanah. Peace.
Belum punya kenalan untuk diajak diskusi tentang seluk-beluk psikologi? Feel free to contact mbak Awin. Beliau orangnya super welcome untuk diajak diskusi, hanya harus sabar karena beliau ini punya kegiatan seabreg-abreg. Heuheuuu. Sembari menunggu diskusi dengan mbak Awin, tengoklah blog beliau yang sudah dibangun sejak tahun 2010.