Jujur saja, aku merasa kasihan melihat anak-anak kecil yang dipaksa orang tuanya untuk mengikuti program hafalan Al-Qur’an meskipun sebetulnya daya hafalnya sangat rendah. Terkadang sampai berontak dan menangis karena merasa tertekan tapi tetap saja dipaksa untuk hafalan. Alasan mereka selalu klise yaitu demi kebaikan anaknya itu.
Aku meyakini bahwa setiap anak terlahir dengan karakter yang berbeda. Mereka memiliki kapasitas, kapabilitas, dan spesialisasi yang berbeda antara anak yang satu dengan lainnya. Tidak semua anak kuat hafalannya. Tidak semua anak kuat kognitifnya. Tidak semua anak kuat penalarannya.
Semua anak yang terlahir ke dunia ini memiliki kodratnya masing-masing. Mereka akan menjalani peran sesuai yang dititahkan oleh Allah SWT. Allah sengaja menjadikan mereka berbeda-beda agar bisa saling mengenal satu sama lain dan bantu-membantu dalam beragam urusan.
Bayangkan saja kalau semua anak di dunia ini hanya ahli dalam bidang ilmu Qur’an semua lalu yang akan mengatasi masalah pangan siapa? Belum lagi kalau urusan kesehatan, kebencanaan, dan lain sebagainya.
Mereka berkilah “ulama jaman dulu selain ahli dalam ilmu agama juga ahli dalam ilmu umum. Ada yang ahli astronomi, kedokteran, metalurgi, dan lain sebagainya”.
Memangnya anak-anak kita akan kuat mencontoh mereka? Seberapa kuat tirakat kita sebagai orang tua? Seimbangkah dengan tirakat orang tua yang melahirkan para ulama itu? Kalau hal itu memang baik lantas kenapa tidak kamu saja yang melakukannya agar bisa meniru para ulama itu? Kenapa malah anak-anak yang dipaksa untuk hal itu? Seandainya anak-anak itu bisa mengajukan pendapat apakah kamu yakin mereka akan sependapat denganmu mengikuti paksaan-paksaan itu? Yakinkah mereka nanti tidak akan menuntutmu di persidangan akhirat?
Aku meyakini tidak semua hal yang baik itu lantas baik pula dikenakan oleh kita. Contoh saja seorang laki-laki gagah perkasa menggunakan ginju dan daster terbaik apa jadinya? Contoh lainnya: meskipun kandunagn gizinya tinggi, daging kambing tidak baik dikonsumsi penderita darah tinggi. Banyak ibadah belum tentu baik bagi orang yang memiliki penyakit riya’ dan sombong di hatinya. Tidak semua obat di apotik dapat dikonsumsi oleh orang sakit.
Dulu, dulu banget. Aku juga berambisi ingin menjadi kyai dan menjadikan anak-anakku menjadi kyai atau ustadz pula. Ingin bisa berdakwah ke sana kemari. Aku merasa kyai adalah orang yang paling bagus kedudukannya. Paling banyak amalnya. Namun, aku berubah pikiran setelah sekian lama menyimak pengajian dari kyai Ahmad Asrori Al Ishaqi (Allah yarham). Beliau banyak mempengaruhi pemikiranku. Salah satunya adalah amal dan kebermanfaat itu tidak dibatasi oleh jubah atau pangkat kyai.
Beliau pernah bercerita tentang seorang tukang becak yang perilakunya membuat kagum karena qonaahnya yang luar biasa. Ketika kyai Asrori hendak membayar dengan uang lebih, tukang becak itu menolak dengan alasan rejeki itu sudah diatur. Kalau menerima pemberian lebih itu takut akan mengganggu hatinya menjadi bergantung pada manusia. Padahal selama ini sudah berusaha sekuat tenaga menjaga hatinya hanya bergantung kepada Allah. Dia tidak ingin kepleset menjadi bergantung pada manusia hanya karena hal sepele belaka.
“Siapa pun bisa menjadi wali apapun profesinya” itulah secarik hikmah yang kupetik dari apa yang disampaikan kyai Asrori selama ini.
Tugas kita adalah menjalankan peran kita sebaik-baiknya. Kalau seorang kyai bisa bermanfaat bagi orang lain karena ilmunya maka kita juga bisa bermanfaat melalui peran yang kita lakukan. Peran kita akan saling dibutuhkan satu sama lain.
Misalnya saja seorang kyai yang ingin meminum segelas air putih maka butuh bantuan pembuat gelas, pembuat gelas butuh bahan untuk membuat gelas, penjual bahan pembuat gelas butuh alat untuk mengumpulkan bahan. Selain gelas, air yang hendak diminum juga perlu diambil dari sumbernya membutuhkan alat semisal pompa air, komponen pompa air itu butuh beberapa orang yang mengerjakannya, belum lagi tenaga untuk listrik, transportasi, dll. Jadi untuk minum segelas air butuh bantuan berapa banyak orang? Apakah mereka itu tidak dihitung ibadah karena mengerjakannya bermotif provit? Apakah orang bekerja yang berharap mendapat gaji itu sudah pasti tidak ihlas?
Apakah sayyidatina Khadijah lebih rendah derajatnya dibanding sayyidatina Aisyah karena beliau tidak menjadi perowi hadits sebagaimana sayyidatina Aisyah? Apakah sayyidina Ali lebih tinggi derajatnya dibanding sayyidina Abu Bakar karena beliau lebih tinggi ilmunya sampai-sampai disebut sebagai kuci dari pintu ilmu oleh baginda Nabi? Tentu saja kita tidak tahu akan hal itu. Hanya Allah lah yang berhak menilai derajat hamba-hambanya.
Sekali lagi legowo berbagi peran itu penting.
Saat ini, aku tidak ingin memaksa anak-anakku untuk menghafal Al-Qur’an. Aku hanya ingin membekalinya ilmu agama dasar sebagaimana yang kumiliki. Kalau ilmu agama dasar itu tidak dapat kuberikan padanya maka aku akan ikut dia mencari ilmu itu. Bukan malah memaksanya mencari ilmu sebagai upaya “balas dendam” sedangkan membiarkan diriku sendiri menikmati kebodohan.
Sadar kalau diri kita bodoh itu ya diobati. Bukan malah menjadikan anak sebagai pelampias ambisi.
Kelak, kalau anakku dewasa, aku ingin membiarkan mereka bebas memilih peran apa yang ingin dijalankannya. Misi yang aku jalankan adalah menjadi manusia yang memiliki manfaat sebanyak-banyaknya dengan akhlak sebagus-bagusnya. Kalau bisa hafal Qur’an, pintar tafsir, ahli mantiq, dan ilmu kanuragan lainnya itu adalah bonus.
Apapun profesinya, apapun perannya, ridho pada taqdir Allah adalah kunci untuk mendekat pada-Nya. Semoga dengan begitu, kita bisa dianggap sebagai kekasih-Nya.
Apakah ada derajat yang lebih tinggi dibanding kekasih?