Aku sudah menulis tentang Hard of Hearing sejak bertahun lalu. Meski tidak sedikit yang menuduh tulisanku tentang Hard of Hearing adalah tulisan yang meminta belas kasihan, tetapi, toh, sangat banyak yang curhat jika teman-teman HOH memilih diam dibanding memberitahukan kepada dunia who i am.
Gimana enggak. Pengen bilang Tuli, tetapi masih bisa ngomong. Pengen bilang Dengar, tetapi enggak bisa menerjemahkan suara. Lalu kami ini termasuk golongan apa? Hahaha, masuk komunitas Tuli pusing sendiri karena bahasa keseharian kami tetep bahasa oral. Masuk di komunitas Dengar, kami plonga-plongo, tertawa paling akhir. HAH.
Kesel?
Pernah. Aku pernah marah saking frustasinya. Sampai-sampai level kemarahanku berada di level menggugat Tuhan. Kenapa begini? Kenapa enggak sekalian saja lah, enggak enak serba nanggung begini.
Bertahun-tahun aku menjalani hari-hari sebagai HOH, dengan segala trauma yang rasa-rasanya akan tetap kuhadapi sepanjang aku hidup. Kelar trauma satu, timbul peristiwa lain. Gitu saja terus, sampai aku merasa akrab dengan peristiwa yang membuat jantung terasa jatuh berdebam.
Bamm!
Jika enggak berdamai dengan segala trauma, mungkin akan membuatku tenggelam dalam trauma. Dikit-dikit trauma. Betapa tidak bahagianya jika hidup penuh dengan trauma. Keahlian untuk menyembuhkan luka harus kukuasai. Aku ingin berdamai, menikmati hidupku, menikmati tantanganku. Menjadikan keterbatasan sebagai kekuatan, menjadikan peristiwa traumatis sebagai pelecut.
Self Healing Berdamai dengan Trauma
Apa sih yang membuat trauma sebagai seorang Tuli atau HOH?
Enggak jauh-jauh dari urusan telinga. Ujian listening, diketawain saat jajan, dipanggil orang, nyaris ketabrak karena enggak denger klakson, tiba-tiba orang sekitar tertawa, ditampar guru karena enggak nyaut saat dipanggil… wis, enggak kehitung.
Kalau enggak mau berdamai, mau apa?
Namanya juga hidup, enggak mungkin menghindari masalah-masalah.
Mengurung diri dari pergaulan? Pernah kulakukan, memang aku aman dari berbagai peristiwa traumatis, tetapi membuat rasa percaya diriku anjlok berantakan. Its not simple as, ‘yawis ben‘. Huhuhuhu.
Aku bersyukur ada suami yang menjadi tempat healing. Cerita tentang apapun. Tentang apa yang kurasakan. Nangis pun nangis saja. Marah juga bilang kalau marah. Tersinggung, bilang kalau tersinggung. Bahkan aku bebas menyampaikan sekalipun itu menyangkut suami atau orang terdekatnya.
Its about my feel.
Obrolan dengan suami menjadi salah satu healing paling canggih. Jika kebetulan abah K tidak sedang berada di rumah, aku akan mengeluarkan rasa sakit ke tulisan. Semakin cepat rasa sakit dikeluarkan, semakin ringan rasanya. Meski ada beberapa peristiwa yang membutuhkan healing lama, tetapi setidaknya tidak membiarkannya bertumpuk-tumpuk.
Ini lah kuncinya, kenapa aku tidak malu mengakui jika aku Tuli atau HOH. Healing dulu. Atasi dulu peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan di masa lalu. Segera. Jangan ditunda. Jangan merasa malu untuk mengakui bahwa kita sedang tidak biasa-bisa saja.Ada banyak cara untuk self healing, ada banyak jalan untuk kembali menemukan diri sendiri dan semangat semakin berlipat meski tantangan hidup mengepung dari segala arah.