“saiki lagi rame do bahas CPNS maneh” kata Ayi.
“Koe ora melu daftar?” tanyaku santai.
“Ora. Jare kanca-kancaku neng grup ‘sing ora geger mung Widi dewe'” jawabnya menirukan sindiran teman-temannya. “Tak jawab ‘asyemm'” lanjutnya sambil terbahak.
“Mereka tahu alasanmu tidak ikut daftar?” Tanyaku penasaran.
“Ngerti. Wong ono sing ngerti kalo syaratnya nikah dulu tidak boleh jadi PNS. ‘malah enak dong. Gak usah capek kerja’ kata teman-temanku. ‘Iyo. Tinggal ongkang-ongkang nek butuh duwit tinggal jaluk’ jawabku berkelakar”.
Aku menjadi penasaran mengenai perasaannya saat ini apakah dia sebenarnya pengen jadi PNS atau tidak melihat teman-temannya sangat militan untuk menuju ke arah itu.
“Meluo daftar gak popo” Kataku padanya memberikan pernyataan. “Nek pancen kowe pengen melu daftar yo gak popo. Aku saiki gak ngelarang” lanjutku memberikan penegasan kalau aku sekarang sudah tidak melarangnya kalau memang ingin jadi PNS.
“Emoh. Saiki wis ra pengen” jawabnya santai.
“Eh. Mosok?”
“Iyo'” jawabnya singkat.
“Lha ngopo?” Tanyaku penasaran. Aku tahu kalau dia dulu adalah PNS-Minded seperti teman-temannya itu.
“Wis terlalu nyaman… Hahaha” jawabnya sambil terbahak.
“Iyo. Wong biasa iso turu sak wayah-wayah terus kon disiplin yo wegah” tanggapku menyindir.
“Ora e. Mbayangno isuk-isuk masak terus nyiapno anak-anak, siap-siap terus mangkat kerjo. Bar kui bali sik ngurusi omah rasane wes mules sik. Haha…” Katanya.
Memang selama ini, gaya kerja Ayi di rumah fleksibel banget. Dia menjadi bos untuk diri sendiri.
Pendapatannya juga cukup lumayan bagi ibu rumah tangga yang kelihatan nganggur di rumah. Sampai-sampai dia butuh rewang untuk mengurus ‘kenganggurannya’ itu. Dengan itu, dia bisa membantuku membiayai sekolah adik, renovasi rumah orang tua, dan sederet kebutuhan finansial non primer lainnya.
“Kalau seandainya kita milih saving daripada invest mungkin saat ini kita sudah bisa beli rumah cash kali, ya?” Kata Ayi berandai-andai. Aku hanya mengiyakan saja.