Ada kasih terpurba dalam hati dua ibu. Kasih tanpa syarat yang membuatku tak punya daya untuk sekedar berucap terimakasih secara langsung.. Dua ibu yang rahimnya menjadi tempat persinggahan paling nyaman untukku dan Lelaki Novemberku, ibu dan ibu mertua.
Bu’e, panggilan kesayangan untuk ibu kandungku. Hanya aku satu-satunya yang memanggil beliau Bu’e diantara ketiga anak perempuan Ibu lantaran aku tak mampu membedakan lafadz Ma’e dan Pa’e; panggilan yang lazim digunakan di kampungku. Bu’e, seseorang yang dengan berlembar-lembar tulisan pun aku tak mampu mengurai kisah tentangnya secara menyeluruh. Seorang perempuan yang tabah mendidik anaknya yang mengalami tuna rungu, mengabaikan segala dengungan di sekitar, melakukan apapun yang beliau bisa agar aku bisa mendengar layaknya orang-orang normal.
Emak, ibu mertuaku. Ibu kandung dari lelaki November yang kini menjadi suamiku. Perempuan perkasa yang merelakan putra kesayangannya yang telah beliau didik dua puluh lima tahun lamanya untuk menjadi imam seoarang perempuan deaf di saat tak sedikit perempuan sholikhah dengan pendengaran normal siap menjadi menantunya.
Sungguh, tidak ada sesuatu pun yang mampu mengganti peluh keringatnya. Tidak ada sebaris aksara pun yang mampu mendeskripsikan seperti apa cintanya untuk kami anak-anaknya. Tidak ada imbalan apapun yang mampu mengganti tetes air mata di penghujung doa dan sujudnya. Sungguh, hanya Robbuna yang Mengerti bingkisan terindah untuk beliau berdua. Tetapi, setidaknya, ada ikhtiar yang kami lakukan untuk sekedar menerbitkan lengkungan bulan sabit di wajah beliau berdua.
Bu’e dan Emak, sama-sama perempuan dari rahim kampung yang dididik dengan kerja keras dan kesederhanaan. Beliau berdua tidak menyukai gaya hidup yang glamour dan berlebihan. Sebagai anak dan menantu, aku seringkali kehabisan ide tentang bingkisan apa yang cocok untuk beliau. Suatu ketika, aku pernah memberikan uang cash sekedar untuk membeli barang yang sudah lama beliau impikan. Tetapi, oh, suatu waktu uang itu balik lagi ke anak dan menantunya. Pun, ketika kami membelikan oleh-oleh selepas kami bepergian, justru beliau tidak suka lantaran menganggap uang untuk membeli oleh-oleh itu lebih baik digunakan untuk kebutuhan kami sendiri.
Tetapi, mereka tak pernah berhenti untuk memberi kami, anak-anaknya…
Dua Ibu dan Anak Kambing
Sudah lama aku bermimpi untuk menghadiahkan anak kambing untuk kedua ibuku. Entah, ada gurat ketenangan yang kutemukan di wajah beliau berdua ketika melihat beliau merawat ternak-ternaknya. Ada kebahagiaan tersendiri yang tergambar saat menyaksikan ternak-ternak itu tumbuh berkembang dan beranak-pinak. Seringkali kami dibuat tertawa dengan ceritanya tentang ternak peliharaan.
Ada harap yang telah lama terpendam; Qurban.
Kami berharap beliau bisa mewujudkan harapannya untuk berqurban dari anak kambing ini, sebab, kami tahu persis beliau tak akan mau menerima jika langsung berwujud uang untuk membeli kambing Qurban.
Selain itu, dari ternak kambing ini beliau bisa mendapatkan pupuk kandang yang bisa digunakan untuk berbagai macam sayuran yang ditanam. Kedua Ibuku merupakan petani. Meski tidak sepenuhnya bertani, Bu’e menyempatkan diri menanam sayuran di tegalan di tengah kesibukannya mengelola warung makan. Sementara Emak mengabdikan diri sepenuhnya pada bumi, bertani. Emak memberdayakan pekarangan di belakang rumah untuk menanam sayuran. Sementara tiga petak sawah yang lain ditanami padi dan kacang-kacangan. Banyak rumput yang tersedia, dengan adanya anak kambing ini, rumput-rumput yang biasanya dibuang akan lebih bermanfaat.
Tulisan ini diikutkan dalam Blog Competition Special New Year Gift For Mom yang diselenggarakan oleh
Moxy Mom.
Like this:
Like Loading...
This comment has been removed by a blog administrator.