Drama Rambut Lepek, Begini Rasanya jadi Ibu Anak Dua

Jadi ibu anak dua memang enggak seperti saat menjadi ibu anak satu alias Mahmud abas, mamah muda anak baru satu. Saking randomnya, sampai-sampai rambut lepek pun kadang enggak peduli, waras is number one. Apalagi jika selisih anaknya kurang dari 5 tahun, teriak mulu kali, ya. Hahaha

Drama Rambut Lepek Setelah Lahiran

Setelah lahiran, rambutku cenderung lepek. Padahal aku sudah rajin keramas dua hari sekali. Setelah kuusut, rambut lepek juga dibarengi dengan rambut rontok parah. Rasanya, wah… sudah rontok, rambut menipis, lepek lagi.

Aku memutuskan untuk memperbanyak konsumsi buah-sayur yang mengandung vitamin E. Jus alpukat kugetolin hampir setiap hari, selang-seling dengan sari kacang hijau. Alhamdulillah, enggak cuma rambut lepek dan rambut rontok yang teratasi, namun produksi ASI juga melimpah.

Mengatur Jarak Kelahiran dan Kewarasan Ibu Anak Dua

Kami memutuskan untuk mengatur jarak kelahiran karena aku merasa tidak sanggup untuk mengasuh dua balita di waktu yang sama. Satu balita saja sudah membuatku sempat burnout, apalagi mengasuh dua anak balita, aku khawatir tidak bisa mengendalikan emosi karena merasa terlalu lelah.

Enggak hanya faktor Ibu, kami juga mempertimbangkan faktor anak, apakah ia sudah siap menjadi kakak dan berbagi dengan adiknya. Kami memutuskan untuk memulai promil ketika si K sudah berusia 4 tahun, sehingga ketika adiknya lahir ia sudah cukup mengerti di usianya yang 5 tahun.

Ikhtiar sudah dilakukan, kami berusaha agar tidak terlihat terlalu sayang dengan adik bayi dan mengabaikan kakaknya. Awalnya memang terasa berat karena si K senang lompat-lompat di kasur, lama-lama ia mulai paham jika bermain dengan adik harus dengan lemah lembut.

Ikhtiar untuk Menjadi Ibu yang Baik tanpa Kehilangan Nilai Diri

Menjadi ibu rumah tangga memang sangat mulia, dengan tugas yang segambreng-gambreng. Tetapi, tidak bisa kupungkiri jika aku juga membutuhkan ruang untuk menunjukkan eksistensi diri. Lain dengan saat anak pertama yang masih bisa menyempatkan untuk mengisi ruang eksistensi ketika anak tidur, di anak kedua ini aku tidak bisa melakukannya ketika si bungsu tidur.

Apalagi, aku masih harus membangun bonding dengan kakaknya agar ia tetap merasa bahwa ibunya masih ada untuk dia dan tidak kehilangan sosok ibu gara-gara punya adik. Membayangkan mengasuh bayi, momong si K dan membangun ruang eksistensi sekaligus sudah membuatku merasa lelah. Maka, aku harus mencari solusi lain dan mendiskusikannya dengan Kakak.

Kakak memutuskan untuk mencari asisten urusan laundry dan mengasuh Hada selama setengah hari agar aku tetap punya waktu untuk mengembangkan diri tanpa kehilangan bonding dengan anak-anak. Toh, aku kerja di rumah sehingga jika Hada rewel bisa kuambil alih dengan cepat.

Beda Masa Bayi Anak Pertama dan Anak Kedua

Meskipun kami sudah mempekerjakan asisten untuk urusan laundry dan mengasuh anak setengah hari, tetap saja kerasa perbedaaannya. Salah satu perbedaan yang sangat terasa di awal-awal anak kedua lahir adalah jam istirahat Ibu. Dulu, setiap anak bayi tidur, aku ikutan tidur. Pada anak kedua, ketika si bayi tidur, ada Kevin yang menunggu dibelai. Hahaha

Makanya, aku enggak kuat lagi bangun malam untuk mengerjakan pekerjaan. Tubuh rasanya sudah ngantuk banget menemani anak-anak dan beraktivitas dalam keluarga. Aku bukan orang yang merelakan jam tidur hilang, sih, karena kalau kurang tidur aku bisa berubah jadi singa yang sedang kelaparan. Auuum!

Setelah melahirkan anak kedua, frekuensi rambut rontok juga lebih banyak dibandingkan pasca melahirkan anak pertama. Belum lagi minus yang nambah. Meskipun abah K bilang kalau minus nambah karena tatapan layar yang lebih banyak dari biasanya, aku tetap kekeuh ada pengaruh lahiran pervaginam dalam pertambahnya minus mataku. Hahaha

Leave a Reply