Drama Mengatasi Keracunan Ultraflu

17 mei yang lalu, bertepatan dengan hari jum’at, aku ijin pulang ke Salatiga kepada pak bos. Ijin ini berkaitan dengan adanya kabar bahwa ada tetangga yang sudah kuanggap seperti bapak sendiri sedang dirawat di rumah sakit. Aku berencana pulang sehari saja yaitu berangkat jum’at siang dan kembali ke Semarang sabtu siang. Singkat cerita, urusan di Salatiga selesai dan aku pun balik ke Semarang. Hanya saja, rute yang aku lewati berbeda dari biasanya. Kalau biasanya lewat Bergas – Bawen – Ungaran, kali ini malah lewat Banyubiru – Ambarawa – Bawen – Ungaran. Aku sengaja muter-muter sambil ngabuburit.

Sesampainya di Ungaran, tiba-tiba hujan mengguyur dengan derasnya. Aku mencari tempat untuk menepi namun sudah telat. Bajuku sudah basah kuyup. Tanpa pikir panjang aku langsung mengenakan jas hujan. Satu jas hujan dipakai bertiga yaitu aku, si K, dan Widut. Aku melanjutkan perjalanan meskipun terasa sedikit kedinginan. Kalau mau berteduh dulu juga tidak prediksi hujannya akan reda kapan. Kami tersenyum kecut ketika sampai di Banyumanik ternyata cuacanya panas. Tidak hujan sama sekali. Gerimis pun tidak. Namun, aku tetap memakai jas hujan sampai kontrakan.

Pagi hari, aku membangunkan Widut untuk sahur. Seperti biasa, ia akan langsung merebus air untuk digunakan membuat jeniper (jeruk nipis peras), minuman wajib sebelum sahur. Saat itu, aku sudah merasakan ada yang tidak beres pada tubuhku. Sedikit meriang ditandai dengan kedinginan. Tapi, aku belum memberitahu Widut. Jika dibuat skala 1 sampai 5 maka aku akan memberitahu Widut kalau aku sakit jika skalanya sudah 3 atau mendekati 4 alias sudah merasa butuh bantuan. Saat itu skalanya baru 1 jadi aku diam saja.

Usai buka puasa, aku merasakan tubuhku semakin tak nyaman. Gejala demam mulai kurasakan semakin kuat sehingga aku mengurungkan diri untuk mengikuti tadarus sehabis tarawih di Musholla. Aku mulai memberitahu Widut terkait apa yang aku rasakan. Ia membuatkanku sayur sop yang dikasih bumbu merica banyak. Katanya untuk meredakan flu yang menyertai demamku. Aku ikuti saja arahannya. Aku makan sayur itu secukupnya.

Hari ketiga demamku rasanya masih pasang surut. Belum ada tanda-tanda pamit. Widut sudah mulai cemas dan menanyaiku apakah sudah merasa perlu ke dokter dan selalu saja kujawab belum waktunya. Hanya saja, karena aku sungkan dengan pak bos kalau kelamaan absen kerja, aku meminta Widut untuk membelikan obat Bodrex Flu dan Batuk. Obat itu sudah teruji cocok dan aman untuk kukonsumsi. Namun, ternyata di warung tidak ada obat itu, adanya Ultraflu. Tanpa pikir macam-macam, aku langsung meminum sebutir setelah berbuka. Aku mengulanginya minum obat ini setelah sahur dan buka puasa hari berikutnya.

Setelah minum 3 butir ultraflu itu aku merasa demamku tidak beranjak. Masih pasang surut seperti sebelumnya. Malahan! Aku merasa sensasi GERD mulai bermunculan. Aku mulai merasakan nyeri di ulu hati, susah tidur, nafas tersengal, dan anxiety. Tenggorokan seringkali terasa seperti tercekat dan menjadi mudah tersedak. Aku yang awalnya merasa santai saja menghadapi demam malah menjadi berpikiran yang enggak-engak. Membayangkan kematian sudah begitu dekat.

Diperiksa Dokter Umum Di RS Banyumanik

Diperiksa Dokter Umum Di UGD RS Banyumanik

Awalnya aku masih kuat jamah di masjid untuk sholat dzuhur dan asar. Namun, pada hari berikutnya aku hanya kuat ashar saja atau dzuhur saja. Rasanya sempoyongan untuk berjalan ke masjid. Saat itu, aku ataupun Widut belum menyadari kalau aku keracunan obat. Aku pikir ya masih lanjutan dari efek demam itu. Akan tetapi, setelah konsultasi dengan para pakar dan ahli gizi, termasuk pengasuh grup Sehat Dengan Food Combining, bu Anung Nur Rachmi, disimpulkan aku keracunan parasetamol yang terkandung pada ultraflu. Gejala-gejala keracunan yang kurasakan sama persis dengan gejala yang dirasakan anggota SDFC yang pernah mengalami hal sama atau berdasar kisah dokter dan ahli gizi yang dicurhati Widut.

Gejala yang kurasakan saat itu antara lain nyeri pada ulu hati sepanjang hari. Padahal biasanya nyeri ini hanya terjadi saat refluks saja. Tubuh seperti melayang-layang. Air kencing berwarna kuning dan sangat sedikit. Sering terbawa halusinasi (rasanya seperti setengah sadar). Sulit fokus dan sulit memahami pembicaraan seseorang. Dan yang paling mengganggu saat itu, tentu saja, anxiety. Aku jadi sangat melo dan sensitif. Apalagi kalau anxiety itu berkunjung malam hari yang menyebabkan aku sulit tidur (insomnia). Rasanya bayang-bayang kematian semakin mendekat saja.

Pernah suatu malam, setelah bapak-bapak yang tadarusan di musholla pulang, aku pergi ke luar rumah untuk duduk-duduk di depan musholla. Membayangkan belum lama aku tinggal di kontrakan ini membuatku melo karena merasa seakan akan segera meninggalkannya. Pikiranku kemudian melayang jauh ke masa kecil atau masa sebelum terkena GERD dulu. Keindahan masa-masa itu membuat batinku semakin tersiksa. Aku merasa seperti sudah sangat rapuh dan tinggal menunggu detik saja untuk berpulang kepada yang Maha Kuasa.

Widut Selalu Menguatkanku

Aku sering bilang pada Widut bahwa aku sudah jenuh dengan apa yang aku rasakan. Sakit selama seminggu yang telah kurasakan membuat emosiku banyak terkuras. Aku merasa serba terbatas. Tidak boleh makan ini itu, tidak boleh kecapean, tidak boleh ini itu. Aku merasa terkekang dan tidak sebebas dulu yang bisa makan apa saja tanpa perlu cemas akan timbulnya sensasi GERD.

Widut berusaha keras memahamiku meskipun masih saja sering emosi, jengkel, dan marah-marah akibat emosiku yang menjadi sangat labil. 

Di tengah keheningan malam, saat Widut dan si K terlelap tidur, biasanya sensasi anxiety akan menyerangku secara ugal-ugalan. Pikiranku dipaksa takhluk kepada ketakutan akan bayang-bayang kematian. Kalau sudah tidak kuat menahannya, aku akan membangunkan Widut untuk meminta ditemani mengobrol. Aku butuh pengalih perhatian dengan mengobrol agar tidak dirundung kecemasan sepanjang malam. Widut biasanya akan menemaniku sampai aku benar-benar berani ditinggal tidur lagi. Ya meskipun ia menahan kantuk dan lelah luar biasa.

Widut tak henti-hentinya mencari informasi terkait apa yang aku rasakan. Ia bertanya kepada dokter-dokter kenalannya, ahli gizi, atau siapa pun yang dianggapnya mampu memberi rekomendasi terpercaya untuk mengatasi apa yang aku derita itu.

Aku sendiri masih trauma diajak ke rumah sakit karena pernah (tidak hanya sekali) dilayani dokter yang mendiagnosa secara serampangan. Walhasil obat yang diberikan padaku malah membuatku aritmia berkepanjangan. Aku belum menemukan dokter yang cocok untuk menjadi konsultan pribadi. Untuk itu, aku malah jadi trauma jika diajak periksa ke dokter.

Perhatian Bu Anung

Salah satu ibu yang menjadi tempat curhat Widut terkait penyakitku adalah ibu Anung Nur Rachmi, pendiri grup FB Sehat Dengan Food Combining. Widut menceritakan apa saja yang aku rasakan dan tindakan-tindakan apa saja yang sudah dilakukan.

Ibu Anung tampak begitu telaten menjelaskan pada Widut melalui inbox di Facebook terkait apa saja yang perlu dilakukannya padaku. Apa saja yang sebaiknya aku konsumsi, minuman apa yang dapat membantu meredakan efek keracunan itu, dan lain sebagainya disampaikan dengan detail. Widut selalu takjub dengan bu Anung yang telaten menjawab pertanyaan anggota-anggotanya meskipun mereka membandel. Padahal anggota itu jumlahnya ribuan namun bisa dilayani bu Anunh dengan penuh kesabaran.

Tidak hanya penjelasan dan dukungan secara psikis ataupun kasih sayang. Bu Anung mengirimkan minyak Varash untuk membantuku menyembuhkan diri dari penyakit yang sedang kuderita.

Benar saja. Setelah dua hari rutin menggunakan minyak itu nyeri pada ulu hati sudah hilang sama sekali sejak tadi malam. Sebelum tidur, aku meminta Widut untuk membalurkan minyak itu ke sekujur tubuh sambil memijatnya pelan. Dan aku merasakan keajaiban itu tadi malam. Tiba-tiba saja nyeri ulu hati hilang dan berganti perut kembung. Aku selalu bilang pada Widut urutan refluks dari yang paling gawat berdasar pengalamanku adalah Anxiety (darurat) > Aritmia (gawat) > Nyeri Ulu Hati (awas) > Kembung (siaga). Dan status siaga tadi malam sudah turun mejadi normal siang ini. Aku merasa sangat bersyukur.

Catatan Pribadi

Keracunan parasetamol itu menurut bu Anung bisa diatasi dengan menjalankan FC ketat sampai 1 bulan an. Keracunan yang dimaksud di sini merupakan keracunan ringan yang tidak sampai membuat disfungsi organ. Tapi Alhamdulillah aku belum sampai sebulan sudah merasakan efek parasetamol itu tinggal beberapa persen saja. Sepertinya dibawah 5%.

Beberapa hal yang aku lakukan mengatasi keracunan itu berdasarkan arahan bu Anung adalah sebagai berikut:

  • Pola makan FC non protein hewani
  • Banyak minum jus sayur. Utamanya wortel.
  • Minum madu + kencur
  • Perbanyak minum air putih
  • Teh rempah dan kudapan

Ditambah menggunakan minyak Varash untuk membantu menenengkan pikiran. Membantu melawan kecemasan atau anxiety.

Terimakasih Widut, terimakasih bu Anung, terimakasih bu Kezia, terimakasih bang Zia, terimakasih semua teman-kenalan, kawan-kerabat, dan semuanya saja yang telah mendukung dan menyemangatiku selama berjuang melawan anxiety yang kembali menyerang. Hari ini rasanya seperti meraih sebuah kemerdekaan.

*Ini merupakan pengalaman pribadi. Tidak dimaksudkan untuk tendensi atau menyerang pada pihak manapun. Dan juga tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai acuan pengganti resep dokter atau tatalaksana yang dianjurkan oleh petugas medis lainnya

Leave a Reply