Sore tadi, Ayi memberi kabar kalau si K habis mbanting HPnya mbak Ba. Aku kaget “kok iso?” tanyaku. Lalu dia menceritakan kronologinya secara singkat karena si K belum bisa dimintai keterangan. Aku membalas dengan emot ketawa ngakak 🤣. Hal ini kulakukan untuk meredam emosi Ayi.
Daftar Isi
Aku yakin meskipun Ayi sebetulnya juga kaget tapi bisa menghadapinya dengan bijaksana. Akan tetapi, kalau dia melihat aku emosi maka akan ketularan juga. Itu jelas tidak baik untuk psikologi anak. Maka dari itu, aku lebih memilih membalasnya dengan guyon saja.
Setiap ada masalah seperti ini, aku berusaha memberi ruang untuk Ayi mengambil peran memutuskan langkah apa yang akan diambil. Biasanya, aku hanya memberikan sudut pandang kalau begini dampaknya akan begitu, kalau begitu resikonya akan begini.
Kenapa Tidak Marah?
Jadi begini, adik-adik.
Ketika anak melakukan kesalahan dan selalu mendapati orang tuanya marah-marah akan membuatnya takut. Dari ketakutan itu, dia akan berusaha menyembunyikan kebenaran agar tidak dimarahi. Walhasil kita sebagai orang tua akan kesulitan mengorek keterangan yang valid tentang kejadian perkara yang sebenarnya.
Kita cukup menunjukkan ekspresi ketidaksetujuan atas apa yang dilakukannya itu sudah membuatnya tidak nyaman. Apalagi kalau ditambah marah-marah. Dia bisa mencari tempat perlindungan lain, tempat yang nyaman baginya. Akhirnya kita akan kehilangan kesempatan untuk belajar bersama.
Aku sering bilang pada Ayi “Kamu boleh marah ketika anak melakukan kesalahan. Tapi sewajarnya saja. Orang secara sepontan marah ketika melihat ada kesalahan itu wajar. Manusiawi. Tapi mbok yaoooo…. Ojo sepanjang hari ngomeli anak karena satu kesalahan yang dilakukannya”.
Memperluas Sudut Pandang
Ada baiknya kita mengambil sudut pandang yang lebih luas dari suatu permasalahan. Analoginya begini: ketika kita menggunakan kamera ponsel untuk melihat sekitar, maka sudut pandangnya akan terbatas dan objeknya tampak besar. Namun coba kalau kita melihatnya menggunakan kamera yang disematkan pada drone atau satelit misalnya maka objek pandang kita akan semakin luas objeknya tampak kecil.
Permasalah juga seperti itu. Kalau kita hanya melihat dari beberapa faktor yang terkait secara langsung maka kesimpulan yang didapat biasanya cenderung sempit masalahnya tampak begitu besar. Namun, kalau kita melibatkan banyak unsur lain yang lebih luas maka cara memandang kita terhadap masalah akan berbeda dan permasalahan itu tampak kecil. (Sik bagian iki aku bingung cara menjelaskannya. Pokoke ngono kui lah🤣)
Kita ambil contoh masalah si K mbanting HP tadi. Kalau aku melihat dengan cara yang sempit maka kira-kira yang bakal terjadi adalah: aku menyalahkan si K karena tidak bisa mengontrol emosi dan menyebabkan harus mengeluarkan uang yang seharusnya tidak perlu. Keywordnya ada di si K: tidak bisa ngontrol emosi, angel tuturane, ngambekan, dll. Dampaknya ada di keuangan.
Nah! Kalau aku memilih menarik diri untuk melihat masalah dengan sudut pandang yang lebih luas maka keyword yang ada di si K menjadi tidak ada sama sekali (atau tidak terlihat). Keuangan tidak lagi menjadi dampak melainkan alat. Gimana cara berpikirnya? Kamu harus beli kelas parenting premium bersama Cak Bud.
Salah satu kaidah yang selalu kujadikan pedoman adalah: hidup ini tak lepas dari hukum sebab dan akibat.
Algoritma yang kujalani biasanya begini:
- Mencari tahu apa yang menyebabkan begitu. Kenapa si K mbanting HP? Apakah hanya karena satu faktor atau ada faktor lain. Kenapa ada faktor itu? Daftar pertanyaan turunan pada tahap ini cukup banyak seperti: bagaimana kondisi perasaan sebelum kejadian, apakah ada keinginan atau janji yang belum terpenuhi, bagaimana peran orang tua sebelum kejadian. Apakah dia sempat minta ditemani main tapi diabaikan. Apakah dia sempat menyampaikan sesuatu tapi tidak dihiraukan dll.
- Verifikasi. Tahap kedua mencari keterangan dadi si K dan pihak yang bermasalah dengannya dengan asas praduga tak bersalah.
- Tahap ketiga adalah mencari solusi. Solusi yang dimaksud bukan asalah masalah selesai melainkan bagaimana agar dslam menyelesaikan masalah itu jadi pembelajaran bersama. Tidak hanya anak yang belajar, orang tua juga ikut belajar.
Dari sini, kita belajar bahwa berproses bareng anak itu menyenangkan.