Kenalkan Konsekuensi dan Resiko Sejak Dini

Usai mengikuti pelantikan PC dan PAC GP Ansor kota Salatiga, aku dikabari Ayi bahwa bu Evi sedang ada acara di Surakarta. Aku yang rencana awalnya mau balik lagi ke gedung balaikota mendadak harus mengubah rencana. Aku kemudian ijin pada ketua untuk tidak jadi ikut rapat kerja PC GP Ansor kota Salatiga.

Kesempatan bertemu dengan bu Evi Ghazali adalah kenikmatan yang luar biasa. Seyogianya aku bertemu dengan beliau ingin berkonsultasi masalah pergerakan di organisasi, terutama masalah pendampingan yang kulakukan pada satuan pendidikan di bawah naungan yayasan Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama. Namun apa boleh buat ternyata pembahasannya lebih banyak ke permasalahan keluarga. Agaknya beliau bisa membaca masih ada masalah di keluarga yang tidak kami sadari.

Ditraktir Makan

Kami sampai di Syariah Hotel Solo tempat bu Evi menginap sekitar pukul 16:30. Setelah bercakap-cakap sebentar, bu Evi menawarkan mau ngobrol di mana. Karena kebetulan kami tidak tahu daerah situ, akhirnya cari warung makan saja.

Aku lihat bu Evi beberapa kali mencoba berinteraksi dengan si K. Dari sana, beliau bisa membaca kalau ada yang kurang dari si K. Namun, kami belum ngobrol banyak di warung makan itu. Bu Evi mengajak untuk segera belanja batik. Kami nurut saja 😂.

Usai belanja, sekitar pukul setengah delapan, bu Evi mengajak mampir ke warung sate. Alasannya mau menraktir sopir yang mengantar kami. Kami ngikut saja. Aku hanya pesan air putih karena masih sangat kenyang. Di sana, bu Evi mulai memberikan nasehat mengenai parenting.

Curhat Masalah Keluarga

Sepulang dari jalan-jalan, bu Evi minta ditemani sampai kamar. Kami diajak masuk ke kamar beliau untuk mengobrol. Kesempatan ini kami manfaatkan untuk banyak-banyak curhat masalah rumah tangga. Salah satunya adalah kekurangan kami dalam mengasuh anak.

Bu Evi menilai kalau kami memiliki hutang pengasuhan pada si K. Meskipun banyak waktu yang kami habiskan bersama si K ternyata bu Evi menilai bahwa kehadiran itu belum cukup. “Kalau menurut penilaianku, kalian belum sepenuhnya hadir untuk anak-anak” kata bu Evi.

“Lalu bagaimana, bu? Apa yang harus kami lakukan untuk membayar hutang itu? tanyaku.

Bu Evi kemudian menceritakan pengalaman beliau dalam membersamai anak-anaknya. “Kenalkan Konsekuensi dan resiko pada anak sejak dini” kata bu Evi setelah menceritakan pengalamannya jatuh bangun membersamai anak-anaknya. “Kalau saya tidak setuju dengan konsep reward dan punishment. Adanya ya konsekuensi dan resiko itu.” lanjut beliau.

Si K memiliki PR terkait penguasaan diri. Dia belum bisa mengontrol emosi. Kalau sudah emosi begitu, tidak ada yang mau didengar kecuali aku karena takut 😂. Bahkan gurunya di sekolah pun tidak bisa berbuat apa-apa kalau si K sudah emosi.

Berdasar hal itu, bu Evi berulang kali menekankan untuk mengajarkan konsekuensi dan resiko sejak dini. Ajak anak mengobrol dan menalar potensi konsekuensi dan resiko atas apa yang dilakukannya.

“Kalau Kevin berbuat begini nanti akibatnya apa, nak? Resikonya apa?” Kata bu Evi memberikan contoh dialog pada si K. Biarkan anak memilih sendiri apa yang akan dia lakukan. Tugas orang tua memberitahu opsi-opsi yang bisa dipilih beserta konsekuensi dan resikonya masing-masing.

“Tidak ada teori baku dalam parenting. Tapi menurut pengalaman, itu yang paling cocok menurutku”. Kata bu Evi memberikan disclaimer.

Curhat Masalah Organisasi

“Terakhir, bu” kataku karena melihat waktu sudah agak malam. “Aku punya masalah personal yang belum bisa kuatasi. Ini terkait organisasi.” lanjutku memohon ijin untuk berganti topik pada masalah keorganisasian.

“Aku itu punya masalah terlalu kaku dalam berorganisasi. Kalau ada teman yang tidak biasa kuajak gerak ya langsung kutinggal. Ini seringkali menjadi masalah. Katakanlah ketika kami mengadakan suatu event, lalu ada beberapa teman yang tidak bisa diajak gerak maka aku langsung memutuskan untuk menggantinya. Masalah terjadi ketika teman-teman yang kuganti itu akhirnya tidak bisa cari muka saat event tersebut ternyata sukses. Ini bagaimana baiknya, bu?”

“Itu malah bagus! Punya prinsip itu memang harus dipegang teguh. Masalahnya bukan di prinsipnya tapi di komunikasinya.” Jawab bu Evi. Bu Evi kemudian menceritakan bagaimana pengalaman beliau berpegang teguh pada prinsip saat dipercaya masuk ke dalam suatu organisasi. Kalau memang sudah tidak bisa diajak kerjasama beliau akan memberi dua opsi yaitu beliau yang keluar karena nilai yang dibawa tidak cocok untuk diterapkan di situ atau mereka yang keluar karena tidak mau menerima nilai yang diusung bu Evi.

“Dik Widi jangan berusaha mengubah cak Bud jadi orang lain. Biarkan prinsip itu tetap dipegangnya. Karena yang perlu dibenahi itu hanya masalah komunikasinya. Itu sudah bagus itu”. Pesan bu Evi pada Ayi.

Aku jadi senyum-senyum sendiri. “Kalau bicara dengan konsultan atau motivator itu pasti mendapat banyak pujian” batinku 😂

Leave a Reply