Daftar Isi
Suami menepuk bahuku, pertanda aku harus memandang wajahnya agar bisa membaca mulutnya.
“A-na a-pa ma-u?” Ada apa tadi? aku membaca mulutnya dengan setengah menahan geram.
“Kok kakak nggak mau angkat telepon? kan Ayi nggak bisa ngangkat telepon…” Aku menumpahkan semua yang kurasakan.
Suami tersenyum.
Ha? Orang lagi marah, malah tersenyum?
Sengaja. Mana ada sahabat yang tidak bisa memahami kekurangan sahabatnya?
Hening.
Suami membiarkan aku tenggelam dalam lamunanku sendiri. Perasaan bersalah menyelimuti. Ternyata prasangkaku terlalu jauh. Ya, mudah saja, jika ada orang yang ngotot telepon padahal sudah tahu tentang kekuranganku, ia tereliminasi dari kategori sahabat.
Apakah ini yang pertama kali?
Tidak. Itu hanya satu chapter dari ratusan bahkan ribuan chapter lain. Kejadian tentang kesalah pahaman berulang kali terulang. Tidak hanya dengan suami. Nyaris dengan semua orang aku pernah tersinggung hal-hal yang menyerempet ke-ketunarunguan.
Orang berbicara keras, aku menduga ia menghina.
Orang berbicara lamban, aku menuduhnya tak paham keadaan.
Orang berbicara sedikit menekan, aku menghakiminya marah karena aku tidak paham dengan apa yang kuucapkan.
Rumit, kan?
Memang. Aku sendiri sedang berlatih agar tidak terlalu mudah untuk berprasangka.
Ada yang pernah bingung dengan perilaku penyandang difable sepertiku?
Tak bisa dipungkiri. Aku yang terlahir difable saat menekuni psikologi anak luar biasa saja garuk-garuk kepala. Semua jenis difable yang kupelajari memiliki ciri psikis yang sama: mudah tersinggung. Maka, tak heran jika sering terjadi kesalahpamahan pada difable. Niatnya baik, tanggapannya na’udzubillah jauhnya. Hahaha.
Kami Perlu Ketekunan Komunikasi
Menjadi penyandang difable bukan perkara mudah. Kami harus menghadapi lingkungan yang seringkali diskriminatif, masih harus menghadapi diri sendiri yang selalu saja bertanya: kenapa aku begini? Apa maksud Tuhan Menciptakan aku lain dengan yang lain?
Maka, jangan tinggalkan kami jika kalian merasa lelah karena tanggapan kami tentang kebaikan kalian sangat berbeda.
Sebab kami harus menang melawan pertanyaan dari diri sendiri sebelum mampu menerjemahkan dan memahami perlakuan kalian kepada kami.
Jelaskan tentang maksud perlakuan tersebut dengan lembut dan empatik. Jika kami masih saja tersinggung, tolong, jangan menyerah.Mungkin waktu yang dipilih kurang tepat. Dont give up, please.
Aih, aku terasa sedang membujuk kalian agar memahami kondisi kami para penyandang difable ketika niat baik kalian diterjemahkan berbeda, bahkan sangat bertolak belakang. Hahahaha.
Dengarkan Saja ketika Kami Bercerita
Hanya orang-orang tertentu yang bisa memahami kami, maka dengarkan saja ketika kami memilihmu sebagai tempat untuk bercerita. Itu artinya kamu adalah orang spesial.
Ejekan, bully-an adalah hal yang biasa dijumpai dalam keseharian. Barangkali penyandang diffable rata-rata terlihat diam dan kuat di luar, tetapi sejatinya kami butuh tempat untuk bercerita lebih banyak. Apalagi penyandang deaf yang hanya bisa berkomunikasi dengan orang-orang tertentu. Pada dasarnya kami membutuhkan tempat untuk mengeluarkan uneg-uneg. Konon, mengeluarkan uneg-uneg adalah salah satu bentuk terapi jiwa yang bisa mengurai tekanan batin. Hanya mendengarkan saja kalian telah membantu kami agar tidak semakin depresi.
Jangan Memberi Saran jika Tidak Diminta
Apatah lagi jika ditambahi komentar-komentar, “Pakai alat bantu dengar dong, blah blah blah… masa alat bantu dengar nggak membantu sih? blah blah blah…“
Sudah, elu coba aja sendiri ini alat bantu dengar yang sudah menghabiskan isi dompet Ibu dan kesabaranku. Hahaha.
Please, jika bukan ahlinya, jangan komentar macam-macam. Barangkali kita belum tahu sejauh mana usaha yang telah dilakukan. Masih mending jika yang dikomentarin adalah WiDut yang sedikit-sedikit curcol di blog, jika orang yang dikomentarin tipikal pemendam perasaan? Alih-alih menambah semangat orang yang bersangkutan, justru semakin menambah depresi. Teman-teman yang sering curhat, rerata depresi karena komentar orang. Bahkan ada yang mencoba meniru adegan sayat-sayat pergelangan tangan dengan silet. Nah, lho… Kalau ada sesuatu, kan serem.
Terimakasih untuk Kalian yang Tak Menyerah
Terimakasih untuk kalian yang tak menyerah dengan berbagai kesalahpahamanku tentang maksud baik kalian. Terus menjalin cerita yang berwarna meski kesalahpahaman seringkali menghiasi. Tetap menyayangi meski aku pernah marah tak karu-karuan karena terlalu jauh berprasangka.
Big hug.
Kalian, punya cerita tentang kebaikan yang disalah artikan? Yuk, cerita tentang βKebaikan Tak Selalu Baik di Mata Orang Lain yang diadakan oleh Mak Noorma. Anyway, Barakallahu fii umrik, Mak. Semoga semakin berkah semuanya, berkah nge-blognya, berkah umurnya, berkah keluarganya.
Big hug untuk mbak Widut. Berbaik sangka pulalah kepada sahabat yang menelepon, mungkin saja bukan dia yg menelepon tapi anaknya yang masih batita karena bermain dengan hp ibunya. ~Balada HP juga sering diutak-atik Han~
Mba Widuuuut, peluuukk…
Ngga tau harus komen apa, Mba.. Sabar, udah pasti Mba Widut sering dengar. Dan kata sabar memang gampang banget diucapkan oleh mereka yang tidak mengalami. Tapi apa lagi, kayaknya cuma sabar aja yang bisa menyelesaikan semuanya. Sabar dan berprasangka baik, seperti yang Mba Rani katakan di atas.
Yang pasti, banyak orang yang sayang Mba Widut lah.. Just the way you are… π :*
sebagai manusia biasa, kita memang harus banyak belajar. gak cuma mba widut yg belajar utk tdk mudah tersinggung, kita pun yg memiliki pendengaran, harus bisa menjaga hati agar tak mudah tersinggung pula
gak tau juga apa niat iklan melayang di mana-mana, suudzon aja … hehehe
Terima kasih mbak, sudah ikutan GA di blog saya.
Terima kasih mbak, sudah ikutan GA di blog saya.
Big hug untukmu mbak widut, terus berpositif thinking..
Hihii, di kasus itu si penelepon sudah ndremimil via sms, mbak Ran. Jadi ya bukan faktor ketidaksengajaan. Tapi tetep positive thinking ajalah. :v
Big Hug.
Peluk mbak ARiiin. Yuk ah kapan kopdar kita?
Iya, mbak Santi. Apalagi jaman baper-an gini, ya. π
Whahaha, iya nih. Kerjaan suami. Eike nggak ngerti gimana ngilanginnya. π
Sama-sama mak Norma. π
Big hug for you too, mbak Enny. π