“Pak, beli lekker campur.” ujarku sembari duduk di kursi Taman.
Sembari menunggu lekker masak, aku memperhatikan keadaan sekitar. Betapa, sudah banyak yang berubah di alun-alun kota Salatiga. Taman mini yang lebih tertata, masjid yang jauh lebih megah dan indah, dan cuaca yang tak sedingin dulu.
Alun-alun kota adalah tempat favorit jeng-jeng bareng teman-teman. Kami menyebutnya alun-alun Pancasila. Aneka jajanan dengan harga yang ramah tersedia. Saat classmeeting adalah saat-saat yang ditunggu. Kami akan membuat janji dengan teman-teman sekomplotan untuk menghabiskan waktu bersama selepas jam sekolah dengan mengicipi aneka jajanan di Alun-alun Pancasila. Kami menempuhnya dengan jalan kaki beramai-ramai, bercanda ria di trotoar. Khas anak remaja.
“Niki, Mbak.” Penjaja kue lekker memberikan lekker yang kupesan.
Aku tersentak dari lamunan. Lekker ini masih sama dengan lekker sepuluh tahun yang lalu. Gerobak biru, pembakaran arang, wajan hitam mini.
“Makasih, nggih, Pak.” Aku beranjak dan segera menemui suami yang menunggu sembari makan Soto Lamongan di deretan toko samping alun-alun.
Ah, dulu lekker ini adalah jajanan favorit setiap kali pulang sekolah. Masih teringat jelas aneka penjual jajanan yang menjajakan jajanannya di depan sekolah. Lekker, siomay, batagor, cimol, dawet… Biasanya, aku rela kelaparan saat jam sekolah demi bisa mborong aneka jajanan saat pulang. Jajanan yang akan kumakan di angkot menuju rumah sembari bercanda ria dengan teman-teman.