Menjadi guru ngaji itu sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Sungguh! Jika aku mau menuruti logika kemanusiaanku maka aku akan sangat sering merasa kecewa dengan perlakuan-perlakuan yang kurasa tidak menyenangkan itu. Oleh karena itu, ketika sedang tidak kuasa untuk menahan diri, aku sering memilih menertawakan mereka. Daripada sakit hati berlarut-larut kan mendingan memilih untuk mengobati hati dengan cara itu sehingga bisa kembali berpikir wajar dan melanjutkan ngajar ngaji.
Murojaah di Sanggar Pelangi |
Kemarin, aku benar-benar marah dengan penyanggar yang mengaji di Sanggar Pelangi. Satu hal yang membuatku marah adalah mereka tidak bisa menghargai Al-Qur’an. Aku katakan pada mereka dengan tegas, “Aku sangat cinta dengan Al-Qur’an. Jika aku membaca Al-Qur’an dan kamu malah ramai sendiri maka bisa saja aku menendangmu. Setelah aku tendang kemudian kamu lapor kepada orang tuamu dan orang tuamu datang ke sini untuk protes maka aku akan balik memarahi mereka. Duel pun tak masalah”.
Aku sangat tegas dalam mengajar ngaji Al-Qur’an. Jika tidak mau mengikuti aturan yang aku buat maka lebih baik tidak usah belajar denganku. Sebelumnya, aku telah menerapkan metode belajar dengan teori konditioning dan memberikan mereka kebebasan sepenuhnya untuk menentukan waktu belajar dan apa yang ingin dipelajari. Aku meminta mereka untuk membuat jadwal sendiri. Akan tetapi, ternyata mereka masih belum mampu sepenuhnya untuk menjalankan hal itu. Akhirnya aku memilih mengubah metode dengan pengetatan.
Aku sering mendengar orang tua mereka berusaha membuat surat ijin atau datang ke sekolah langsung untuk memberitahu guru atau wali murid ketika anaknya tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Akan tetapi dalam urusan ngaji tampaknya mbolos adalah hal yang lumrah. Guru ngaji tidak perlu tahu kenapa mereka tidak datang. Seakan-akan waktu yang disediakan guru ngaji tidaklah dihargai.
Ada juga orang tua yang datang ke sini untuk meminta waktu mendampingi anaknya belajar (privat/les) tapi untuk urusan ngaji anaknya disuruh datang ke sini sendiri. Jujur saja, aku sering tertawa melihat kenyataan itu.
Aku sering mengamati perilaku-perilaku sosial yang sebetulnya tampak biasa saja akan tetapi menurutku sangat unik. Ada sebagian orang yang ketika diundang kendurian atau acara-acara yang berbentuk ritual keagamaan memilih tempat duduk di ujung belakang atau jika acaranya di rumah maka memilih tempat duduk di teras atau dekat pintu. Namun jika acara itu berupa hiburan, mereka memilih tempat di depan panggung. Hal itu akan sangat lumrah bagi sebagian orang tapi dianggap kurang ajar bagi sebagian yang lain.
Melihat perilaku-perilaku unik itu, aku sering tertawa. Ini caraku menjaga kepercayaan diri bahwa memiliki Al-Qur’an harus bangga meskipun dianggap tidak memiliki taring di mata mereka. Dan aku tahu bahwa aku memiliki hak untuk bersikap tegas bagi siapa saja yang tidak menghargai Al-Qur’an. Aturan yang berlaku saat ini adalah “Lakukan apa yang kalian sukai dan aku akan melakukan apa yang aku sukai”. Jadi jangan heran jika aku jarang menghadiri undangan untuk acara-acara yang hanya mengedepankan hiburan belaka sebagaimana aku tidak heran dengan kalian yang sulit untuk diajak menghadiri acara keagamaan,