Politisasi Khutbah Idul Adha

Hari ini benar-benar terasa sangat aneh. Sepertinya aku telah dikuasai setan sampai-sampai sangat sulit untuk mengendalikan diri. Padahal! Biasanya aku bisa mengendalikan diri dalam situasi segenting apapun. Setiap ada masalah, aku bisa berpikir santai. Namun kali ini tidak. Sungguh! Aku tidak mengenali diriku sendiri saat ini. Perasaanku benar-benar tidak karuan bercampur jengkel, marah, dan serba ingin mengumpat. Sampai-sampai si K yang tengah bubuk manja di pangkuanku tiba-tiba menangis dengan sendirinya dan ia tidak menjawab sama sekali pertanyaan mengenai kenapa ia menangis. Ketika kuajak jalan-jalan naik sepeda motor, ia memelukku sambil berdiri dan bersandar dengan penuh kepasrahan. Disuruh duduk sama ibuknya tidak mau. Ada sesuatu yang aneh padanya. Apa karena ia tertular keanehanku hari ini?

Politisasi Khutbah Idul Adha

Jujur saja, baru kali ini, aku mendengar khutbah tapi malah membuatku marah dan ingin mengumpat. Andai saja aku tidak khawatir membuat jamaah bubar, aku akan melakukan walkout karena sudah merasa malas berada di situ. Aku berusaha mati-matian mencerna isi khutbah yang disampaikan akan tetapi aku gagal memahaminya kecuali mengenai pemimpin dzolim, politikus busuk, kafir, musuh islam, pendusta, bencana alam, krisis, dan istilah-istilah politis khas lainnya yang disampaikan dengan tendensius.

Khotib mengatakan bahwa nabi Ibrahim adalah contoh pemimpin yang ideal. Cara penyampaiannya seakan-akan menggiring jamaah untuk berpikir bahwa Indonesia sedang dipimpin orang dzolim dan butuh sosok seperti nabi Ibrahim untuk menggulingkan kekuasaan itu dan menggantikannya. Jujur saja, saat ia menyampaikan hal itu, aku sudah tidak tahan lagi. Aku melihat ke belakang, ada banyak jamaah yang harus dilalui untuk walkout. Aku kemudian memilih menghidupkan HP (biasanya tak pernah bawa HP untuk sholat Ied. Pagi ini entah kenapa aku ingin membawanya meskipun sesmpainya di masjid kumatikan) dan menulis status di Facebook.

Di awal-awal doa, ia berdoa “berikan kami kemenangan…”. Aku tidak tahu yang dimaksud kami itu siapa dan kemenangan dari apa. Aku tidak berani mengamini doa itu.

Gara-gara mendengar khutbah itu, aku mencoba berbagai cara untuk menenangkan diri. Hanya saja sampai aku menulis artikel ini, aku belum bisa menguasi perasanku lagi. Aku berencana untuk sowan Abah untuk minta tolong diobati penyakit hatiku ini. Semoga ketidaksukaan ini tidak semakin berlarut-larut. Aku butuh obat.

Semoga Allah mengampuniku meskipun seandainya sholat Iedku tadi tidak diterima. Semoga rahmat dan kasih sayang-Nya selalu meliputiku. Tanpa itu, aku bukan apa-apa dan bukan pula siapa-siapa.

Leave a Reply